2J : Bab 9

2.8K 342 11
                                    

9. Juandra dan Balap Liar

***

Tidak banyak orang yang mengerti tentang arti kehidupan itu sebenarnya seperti apa, karena beberapa orang hanya sibuk memikirkan bagaimana ia menjalani hari-harinya esok. Pernah tidak, kalian merasa bahwa hidup kalian ini terasa sia-sia, karena kalian bingung ujungnya akan dibawa kemana. Tuhan emang udah menentukan takdir setiap orang, tapi semua bisa dirubah dengan doa dan usaha yang maksimal.

Sama hal nya dengan Jerdian yang terus mencoba menekuni seni nya, meski sang ayah tak pernah suka. Kadang-kadang Jerdian berpikir, membantah keinginan sang ayah mungkin bukanlah suatu kebaikan, tapi kemudian ia sadar, kehidupannya itu dia yang jalani, dia sudah cukup besar untuk menentukan bagaimana jalan hidupnya sendiri.

Setelah kepergian sang bunda, Jerdian belajar banyak. Bagaimana cara ikhlas, bagaimana cara mengerti kemauan dirinya sendiri, bagaimana caranya untuk tidak memaksakan kehendak kita yang tak semua orang mampu untuk menuruti.

Cara ia melampiaskan kesedihan lewat lukisan, tanpa perlu membebani orang lain. Cara ia melampiaskan amarah lewat tulisan, tanpa perlu menyakiti perasaan orang lain. Cara ia melampiaskan keluh kesah lewat bait lagu yang ia buat. Apa lagi yang Jerdian cari, jika cara itu sudah cukup membuat dirinya lega, tanpa harus melibatkan orang lain. Ya meskipun ia akui, dia hanya makhluk sosial pada umumnya, yang sewaktu-waktu masih membutuhkan pertolongan orang lain.

Jerdian menatap sebuah figura berukuran 3R yang terpajang di atas mejanya. Itu foto Juandra dengan dirinya yang diambil secara tak sengaja, beberapa tahun silam. Dua laki-laki di dalam foto itu tampak bahagia, yang satu mengulum senyum, sedangkan satunya lagi tertawa lepas tanpa beban.

Tak sadar, waktu berjalan berjalan begitu cepat. Dua manusia dengan pahatan wajah yang sempurna, mulai tumbuh dewasa tanpa seorang ibu. Terperangkap dalam jeratan ekspetasi ayahnya, tanpa bisa menemukan jalan keluar.

Jerdian menitikkan air matanya. Bundanya pernah berkata, cowok yang menangis itu bukan berarti cengeng atau lemah. Ada rasa bangga di benak Jerdian, ketika melihat kembarannya yang tumbuh dengan baik. Cerdas, tampan, baik hati, punya banyak teman, ya meskipun cowok itu kadang terlihat sedikit tengil. Setidaknya, Juandra selalu melakukan yang terbaik untuk sang ayah, tidak seperti dirinya yang terlihat hanya bersenang-senang saja dengan hobinya.

"Kita udah gede, tapi gue masih ngerasa kalo lo anak kecil yang suka ngisengin gue," gumam Jerdian seraya tertawa kecil. Tangan besar Jerdian mengusap sisa air mata yang masih menempel di pipi nya.

Berbanding dengan Juandra yang tak menyukai malam, cowok dengan tahi lalat di dekat mata itu, justru lebih menyukai malam. Menurut Jerdian, cuma saat malam hari, ia bisa beri unjuk pada dunia, bahwa dirinya sedang tidak baik-baik saja.

Tiba-tiba, Jerdian mendengar suara mobil dari luar. Dia langsung menyibak gorden di kamarnya untuk melihat, apakah ada maling atau memang itu kembarannya yang berniat ingin pergi. Ternyata, Juandra memang berniat untuk keluar. Jerdian melirik ke arah jam dinding, malam-malam begini memangnya Juandra ingin pergi kemana, pikirnya. Jerdian beralih mengambil ponselnya, berniat mengirimkan pesan ke kembarannya itu.

Lama menunggu, Jerdian masih tak dapat balasan apa-apa. Entah Juandra yang tengah fokus menyetir atau malas membalas pesannya. Jerdian beralih ke aplikasi berlogo burung. Ia iseng membuka akun base sekolahnya. Matanya membulat kala melihat foto Juandra yang terpampang disana.

 Matanya membulat kala melihat foto Juandra yang terpampang disana

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Dua Sisi (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang