6

3.1K 152 2
                                    

Kondisi Amorei tidak ada kemajuan. Bahkan suhu tubuhnya pun sama sekali tidak menurun. Abim menatap Amorei miris, tubuh yang dipasang beberapa alat medis. Wajah yang biasanya selalu berseri-seri kini pucat pasi.

Mata Amorei terpejam seperti tidak ada tanda akan bangun dari tidurnya. Sepertinya Amorei memang senang sekali tertidur. Abim memegang tangan Amorei yang begitu hangat akibat suhu tubuhnya.

"Rei, lo serius suka tidur ya? Tapi katanya lebih suka gue." Ujar Abim sambil memainkan jari tangan Amorei.

Walaupun Amorei tidak akan membalas ucapannya, Abim terus menagajak Amorei mengobrol. "Lo selalu cantik. Lebih cantik lagi kalo bangun."

Abim terus menjaga Amorei bahkan sampai izin dengan papa dan mamanya. Kedua orang tuanya juga akan datang kesini dan mungkin sebentar lagi akan sampai. Sementara Rio sedang pulang ke rumah untuk mengambil beberapa dokumen penting yang akan dia kerjakan di rumah sakit sambal menemani putrinya disana.

Rio tidak ingin gagal untuk yang kedua kalinya. Amorei begitu berharga baginya. Dan Rio ingin selalu berada disamping putrinya.

"Rei... Gue takut." Lirih Abim memandang Amorei sendu. "Bangun Rei, please." Abim menelungkupkan kepalanya dengan tangan yang masih setia menggenggam tangan Amorei.

Setelahnya suasana kembali hening hanya ada suara-suara dari alat yang ada. Abim hampir memejamkan matanya jika saja bunyi pintu dibuka tidak membangunkannya.

Dani dan Riska masuk ke dalam ruangan itu. Kedua orang tua Abim menatap Abim dengan senyuman menenangkan. Abim berdiri memeluk mamanya saat Riska merentangkan tangannya.

"Rei, ma. Abim takut." Adu Abim. Sekuat-kuatnya Abim, dia juga memiliki sisi rapuh. Keadaanya sekarang tidak bisa dikatakan baik-baik saja.

Riska mengusap punggung Abim dengan sayang. "Abim dengerin mama, Rei cuman istirahat sebentar. Dia gak mungkin biarin semua orang terlalu lama sedih. Rei pasti sebentar lagi bangun."

Abim menggeleng lemah. "Rei sering sakit. Tapi gak pernah sampai kayak gini."

"Menantu cantik papa ini kuat. Kamu harus percaya itu Abim." Ucap Dani yang sudah berdiri tepat disamping brangkar Amorei. Dani mengelus rambut Amorei, gadis didepannya ini juga putrinya.

Riska bergantian dengan Dani. Dia menyuruh Abim untuk makan terlebih dahulu dengan papanya. Walau perlu beberapa waktu untuk membujuk Abim karena cowok itu sangat keras kepala.

Abim ingin terus disisi Amorei tanpa memikirkan dirinya sendiri. Setelah diberi beberapa pengertian pada akhirnya Abim mengalah dan segera keluar mengikuti langkah papanya.

Riska memilih duduk di kursi tempat Abim sedari tadi dan menariknya untuk lebih mendekat. Wanita itu tidak tega melihat wajah Amorei yang begitu pucat. Keadaan Amorei sekarang sangat jauh dari Amorei yang seperti biasanya. Amorei yang selalu bisa membuat semua orang tersenyum.

Riska mengambil tangan Amorei dan dipegannya. "Padahal mama udah bilang kalo Rei bisa cerita semua dengan mama. Mama pasti bakal jadi pendengar setia buat Rei. Ada mama disini sayang." Riska tidak sadar air matanya sudah membasahi pipinya. Ia menangis mengingat Gina yang menitipkan Amorei padahal walaupun Gina tidak bilang, Riska pasti akan selalu ikut menjaga Amorei.

"Rei gak anggep mama ya?" Tanya Riska sendu. Tangannya terangkat mengusap rambut Amorei perlahan. "Mama sedih gak bisa jadi tempat Rei cerita."

"Rei juga putri mama." Riska mencium kening Amorei. Sungguh Amorei sedari dulu sudah dia anggap sebagai anaknya juga.

Maaf Gina, aku belum bisa jadi tempat Rei cerita.

TBC

Follow Instagram 💙
@cutyusi_

Abim'sTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang