Seperti langit yang diambil alih paksa oleh mendung. Sinar yang cerah dipaksa hilang, dan digantikan oleh kegelapan. Begitu juga dengan tawa Jilan yang telah lenyap, dan hanya tersisa kemuraman. Wajah yang dulunya selalu memperlihatkan kebinaran bahagia, kini yang ada hanyalah wajah datar Jilan.
Seharian ini Daniel menemani Jilan di rumah sakit. Tak beranjak sejengkal pun meninggalkan anak bungsunya. Saat mendengar jika Jilan sempat mengamuk dan pingsan, Daniel langsung melesat ke rumah sakit. Mental anaknya sedang tak baik-baik saja, dan Daniel harus berusaha keras untuk mengambil kepercayaan Jilan lagi. Agar anaknya bisa tertawa kembali.
Daniel mengusap kepala Jilan, ia pandangi wajah damai Jilan jika tertidur seperti saat ini. Daniel menghentikan usapannya, saat Jilan melenguh. Anaknya masih dibawah alam sadar, karena efek obat yang tadi dokter suntikan.
"Cepet sembuh dek, Papa sedih lihat keadaan kamu kayak gini. Ayo balik lagi jadi Jilan yang super bawel dan matre kalau sama Papa. Jangan jadi pendiam, Papa gak suka."
Jevans menghembuskan nafas panjang. Akhirnya pekerjaannya telah beres semua. Ia lepas jas praktik nya, lalu menggulung lengan kemeja nya sesiku. Ia berjalan keluar, menuju ruangan sang adek tercinta, Jilan. Dirinya sedari tadi tidak bisa tenang sama sekali, memikirkan bagaimana keadaan adiknya saat ini.
Kriet
"Gimana Pa udah sadar anaknya?" tanya Jevans saat memasuki kamar rawat Jilan.
"Udah Kak, sekarang tidur anaknya," jawabnya.
"Papa gak akan diam bukan dengan apa yang dilakukan tante Adera ke adek?" tanyanya melangkah ke sofa, lalu duduk di sana.
Mata yang tadinya menunduk, kini menatap datar kedepan. "Sudah cukup Papa diam selama ini Kak, Papa kira diam nya Papa membuatnya dia sadar. Papa salah kira." Setelah mengatakan itu, Daniel pergi keluar, entah mau kemana.
Jevans mengangguk paham, ia percaya dengan apa yang dilakukan Papa nya adalah yang terbaik.
Daniel menyisir rambut Jilan yang sedikit berminyak. Posisi Jilan saat ini duduk di pinggiran ranjang, dengan kaki yang menjuntai ke bawah. Pandangannya kosong, menatap luar jendela. Yang langsung menjuru ke taman rumah sakit.
"Adek mau ke sana?" tanya Daniel melihat arah pandang anaknya.
Arah mata Jilan beralih melihat ke Daniel, papa nya. Setelahnya ia mengangguk.
Daniel tersenyum, ia senang akhirnya putranya mau keluar dari ruangan. Daniel membantu Jilan duduk di kursi roda, lalu mendorongnya keluar, dengan penuh semangat. Sampai di taman, Daniel duduk di bangku yang masih kosong, dengan Jilan di depannya.
"Papa, Jilan mau tinggal sama Papa lagi, boleh?" tanya Jilan sembari meremas kedua tangannya.
Daniel menyunggingkan senyumnya, lalu ia raih tangan putranya.
"Boleh dong nak, lagi pula sedari awal 'kan emang Papa maunya adek tinggal sama Papa, kakak dan abang."
"Kita sembuhin trauma adek bareng-bareng ya, Papa siap bantu adek," lanjutnya.
Jilan tersenyum, lalu beranjak memeluk sang Papa. Harum wangi tubuh sang Papa menyeruak di indra penciuman nya. Dan Jilan rindu itu.
Daniel menangkap tubuh putranya yang sedikit oleng. Lalu membalas pelukan hangat putranya.
Menjelang sore hari, Jevans dan Jean yang menjaga Jilan di kamar rawatnya. Sedangkan Daniel, sang papa pergi ke kantin untuk membeli beberapa camilan serta kebutuhan Jilan untuk beberapa hari ke depan selama di sini.
"Kak Jeje tadi sebelum ke sini mampir dulu ke restoran untuk beli puding. Jilan mau?" tanya Jevans menawari Jilan.
"Mau! mau! rasa apa kak? melon ada?"
Jevans dan Jean di buat terkekeh oleh sikap Jilan. Mereka berdua bersyukur, Jilan sudah bisa kembali ceria lagi.
"Ada, kakak suapin ya." Jilan mengangguk antusias.
"Kalau tahu di sini ada banyak makanan, gua rela nungguin lo terus Ji, karena disini gua gak akan ngerasain kelaperan." Celoteh Chenle yang asik memakan pizza Jilan.
Jilan memutar bola matanya malas. Punya teman satu, mau nya yang gratisan mulu. Tapi gak apa, Jilan senang Chenle selalu ada di sampingnya.
"Itu mah mau lo."
"Gimana keadaan lo Ji? cepet sehat deh, biar bisa sekolah lagi. Kan gue sedih gak ada yang traktir gue, jadi gak makan deh gue kalau istirahat," keluhnya pada Jilan.
Jilan menghembuskan nafas kasar. "Lo tuh ya, temen lagi sakit bukannya di tawarin mau apa, malah curhat kangen gue traktir. Gue pecat lo jadi sahabat gue mampus."
"CK. Baperan," balasnya mencibir.
Ya itulah mereka, kalau ketemu pasti ribut terus. Tapi kalau satu gak ada, pasti saling merindukan. Contohnya Jilan yang sering sakit dan sering tidak masuk sekolah membuat mereka tidak bertemu. Alhasil Chenle selalu merasa kesepian saat berada disekolah. Dan sedih melihat sahabatnya itu kerap sekali merasakan sakit. Namun dibalik itu semua, mereka saling menyayangi dan melengkapi.
"Le pusing banget kepala gue," keluh Jilan memijit pelipisnya.
Chenle yang sedang fokus makan seketika terhenti, dan melihat keadaan Jilan.
"Buat baringan aja coba Ji," dengan cekatan membantu Jilan berbaring. Lalu ia membersihkan tangannya.
"Gue pijit ya kepala lo," Jilan hanya mengangguk pasrah. Dia tidak tahu mengapa kepalanya tiba-tiba merasa sangat pusing, dan penglihatannya berputar-putar.
Chenle memijat kepala Jilan dengan telaten. Tak lama kemudian, Chenle mendengar dengkuran halus yang berasal dari Jilan. Ia pun menaikkan selimut Jilan sampai dada.
"Cepet sembuh Ji, gue sedih lihat lo kek gini. Ya Allah angkat semua penyakit Jilan, hamba mohon." Ucapnya dengan tulus.
TBC
Halooooo semua akhirnya Jilan up jugaaaa.
Maaf semua kalau Jilan up nya lama yaaa. Soalnya asli Cici sibuk banget kerja, dan ini juga lagi sakit. Mohon doa nya ya, supaya Cici cepat sembuh.
Sekian dulu ya, terima kasih.
Kudus, 25 Agustus 2022.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jilan Xavier [Triple J Ft Nct Dream]
Random"Kata papa, Jilan ngga boleh pergi harus tetap bertahan. Tapi semakin Jilan berusaha, Jilan semakin sakit." ~ Jilan Xavier Erlando Luois. "Berjuanglah!. Abang akan selalu ada untuk mu." ~ Jean Xavier Jeammes Luois. "Jilan harus bertahan apapun yang...