The real thing dyed in a lie - Tatiana Salarasa.
Di pusat perbelanjaan yang jaraknya hanya 5 km dari SMA Merah Putih, terlihat Tiana berjalan dengan laki-laki dewasa yang mungkin seusia ayahnya. Gadis itu membawa beberapa tas belanja di kedua tangan, tampaknya dia sedang menghabiskan waktu dengan berjalan-jalan di hari libur ini.
"Nggak usah deh, Om. Ini udah banyak banget belanjaannya." Tiana menolak halus ketika ditawari barang apa lagi yang ingin dibelinya. "Tangan Tiana aja udah sampe penuh gini," katanya mengangkat kedua tangan yang memang sudah tidak mampu membawa belanjaan lagi.
"Yakin nggak ada lagi yang mau dibeli?" tanya laki-laki itu. "Jarang-jarang loh kita pergi keluar begini." Karena intensitas pertemuan yang jarang, laki-laki itu merasa perlu memenuhi keperluan Tiana selagi mereka ada waktu untuk jalan bersama.
"Ini udah lebih dari cukup kok, Om," balas Tiana meyakinkan. Sebenarnya, dia sendiri sudah sangat lelah berkeliling dan ingin segera pulang. "Kalau ditambah lagi, yang ada nanti tangan Tiana makin panjang karena kebanyakan bawaan."
Lelucon ringan yang Tiana lontarkan membuat laki-laki di depannya tertawa kecil.
"Kalau gitu, pergi makan aja, ya. Kamu pasti belum makan, 'kan?" Laki-laki itu memberikan alternatif lain karena Tiana tidak ingin berbelanja lagi. "Setelah makan, baru saya antar kamu pulang."
Lagi, Tiana menolak dengan gelengan pelan. "Tiana makan di rumah aja. Ibu pasti udah masak makan siang buat Tiana sama ayah."
Laki-laki itu kembali merespons dengan tawa, tapi kali ini ditunjukkan untuk kebodohannya sendiri. "Maaf, saya lupa kalau ibu kamu punya rumah makan."
Tiana membalas dengan senyum kecil. "Lupa itu wajar, Om, 'kan manusia, bukan malaikat."
Eh, tanpa sadar Tiana baru saja mengutip kalimat yang pernah Ega katakan padanya. Apa ini, kenapa tiba-tiba Ega menyusup ke dalam pikirannya? Apa karena sudah kenal selama seminggu dan tidak pernah ada satu hari pun tanpa diganggu Ega, Tiana jadi terbiasa dengan kehadirannya? Bahkan sampai mengutip kata-katanya segala?
"Berarti langsung pulang aja?" tanya laki-laki itu, yang Tiana balas dengan anggukan.
Keduanya tidak jadi masuk ke toko jam tangan dan berbalik arah menuju parkiran.
Sepertinya, keyakinan Safana dan Erika yang menduga kalau Tiana adalah simpanan om-om atau bahasa kerennya sekarang menjadi Sugar Baby memang benar adanya. Buktinya saja, gadis itu pergi berbelanja dengan laki-laki dewasa yang memang lebih pantas menjadi ayahnya.
Saat menuruni eskalator, handphone laki-laki itu berdering, yang langsung diangkat oleh sang empunya.
"Iya, Ma, kenapa?" Laki-laki itu menyapa si penelepon yang bisa dipastikan adalah istrinya. "Sekarang Papa lagi di luar."
KAMU SEDANG MEMBACA
Dua Dunia Tiana [ END]
Teen FictionPernah menjadi korban perundangan membuat Tiana terpaksa membagi dunianya, antara kehidupan sehari-hari dan kehidupan di sekolahnya. Menjaga kehidupan dua dunianya untuk tetap seimbang sudah cukup sulit dan kehadiran seorang Erlangga Auditama yang m...