Ega tidak langsung mengantar Tiana pulang, melainkan mampir dulu ke toko buku atas permintaan gadis itu.
Mengikuti Tiana di belakang, Ega tampak sedang memikirkan sesuatu dengan begitu serius. Kadang dia bertanya-tanya, seperti apa sosok gadis yang sangat dia sukai ini.
Apa makanan kesukaannya, apa buku kesukaannya, hal-hal apa yang membuatnya bahagia atau sedih atau sesuatu seperti bagaimana kehidupan gadis itu di sekolah sebelumnya.
Ega ingin mengetahui semua itu. Apa ini adalah hal yang wajar?
"Ta." Ega memanggil ketika Tiana sibuk mencari buku untuk persiapan ujian yang tersusun rapi di meja.
"Hmm?" Tiana menoleh. Wajahnya tampak ceria tanpa alasan.
"Gue minta maaf."
Tiba-tiba saja kata itu keluar dari mulut Ega tanpa ada pembicaraan apa pun, membuat Tiana bingung sesaat hingga alisnya berkerut.
"Maaf buat apa?"
Ega menarik napas dalam dan menutup sebentar matanya. Laki-laki itu sebenarnya tidak ingin mengungkit hal ini lagi, tetapi dia sadar kalau belum ada kata maaf yang terucap darinya sejak malam itu.
"Maaf atas kata-kata kasar gue malam itu." Ega terlihat tidak bahagia saat mengatakannya. Padahal setiap detik yang dihabiskannya bersama Tiana selalu menjadi detik-detik terbaik di dalam hidupnya, kecuali malam itu.
Tiana menjilat bibirnya saat ingatan itu menghantamnya tanpa sengaja. Jujur saja, kata-kata itu memang sangat menyakitkan untuk Tiana, terlebih lagi yang mengatakannya adalah Ega. Namun, gadis itu pun sadar kalau tidak sedikit luka yang dia berikan pada Ega selama ini.
Jadi, daripada menyimpannya sebagai dendam, Tiana lebih memilih untuk melupakan dan menganggapnya sebagai balasan atas setiap kata-kata menyakitkan yang dulu pernah dia katakan pada Ega.
"Gue nggak bermaksud untuk ngomong sekasar itu sama lo, Ta." Ega masih terdengar menyesal, bahkan ketika hubungan mereka sudah membaik. "Malam itu rasanya gue bener-bener kayak dirasuki setan, makanya sampai bisa ngomong kayak gitu sama lo. Padahal kan lo tau kalau gue bucin banget sama lo sampai ke tulang rusuk."
Mendengar celotehan terakhir Ega membuat Tiana tersenyum dengan sudut bibirnya. Entah kenapa, sekarang semuanya malah terasa agak lucu saat dibicarakan lagi. Padahal malam itu dia benar-benar sangat hancur.
"Please, maafin gue, Ta." Ega menyatukan kedua tangannya dengan wajah yang seperti ingin menangis. Sungguh, masalah ini masih menjadi kesalahan yang paling disesalinya di sepanjang hidup.
Tiana menatap Ega dalam diam. Jika dipikir-pikir lagi, sosok yang berdiri di depannya ini sungguh unik dengan cara tidak biasa, yang mampu membuat Tiana jatuh hati tanpa disadarinya.
Sebenarnya, Tiana masih ingin menatap Ega, tetapi gadis itu hampir tersentak mundur saat laki-laki di depannya menjatuhkan lulutnya ke lantai.
Ya, Ega baru saja berlutut di depan Tiana, di dalam toko buku, dengan beberapa pasang mata yang mulai melihat ke arahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dua Dunia Tiana [ END]
Teen FictionPernah menjadi korban perundangan membuat Tiana terpaksa membagi dunianya, antara kehidupan sehari-hari dan kehidupan di sekolahnya. Menjaga kehidupan dua dunianya untuk tetap seimbang sudah cukup sulit dan kehadiran seorang Erlangga Auditama yang m...