Life is like a piano. Black keys are pain and white keys are happiness.
But you need them both to play the music — Unknown
Ini sudah hari kelima sejak Ega mengetahui kalau dia bukanlah anak kandung papanya. Dan selama itu pula dia bolos sekolah dan menumpang di rumah Gio. Namun, sore ini, Ega memutuskan untuk pulang ke rumah.
Laki-laki itu harus menghadapi kenyataan pahit akan jati dirinya jika ingin melanjutkan hidup. Dia jelas tidak bisa kabur dari kenyataan ini sampai akhir hidupnya. Jadi, laki-laki itu memutuskan untuk menyudahi kemarahannya.
Ditemani Tiana di sampingnya, Ega melangkahkan kakinya memasuki rumah, yang langsung disambut dengan pelukan erat oleh papanya.
Tangan Ega menggantung di kedua sisi tubuhnya. Sementara itu, Tiana memilih mengambil langkah menjauh agar tidak mengganggu dan menghampiri Demian yang berada dalam gendongan mama Sandrina.
"Tiana, boleh ajak Demian main di kamarnya sama Sandy?" Mama Sandrina meminta dengan setengah bisikan.
Tiana menyanggupi dan segera mengajak bocah laki-laki berumur empat tahun itu, serta Sandrina untuk main di tempat lain. Sementara Ega dan sang papa melanjutkan sisa obrolan yang terputus malam itu.
Ega diam dan membiarkan tubuhnya dipeluk, juga membiarkan air matanya jatuh. Sungguh, laki-laki itu tidak pernah menyangka kalau dia akan merindukan pelukan sang papa.
"Maafin Papa, Ga. Maaf karena Papa nyakitin kamu lagi." Papa Ega berbisik dengan suara paraunya. Laki-laki itu menangis karena bisa memeluk putranya lagi setelah sekian tahun tidak pernah memeluknya. "Apa pun yang Papa bilang malam itu, tolong lupain semuanya. Anggap kamu nggak pernah dengar semua itu karena Papa lebih suka ngeliat kamu berontak di rumah daripada nggak liat kamu sama sekali.
Kamu anak Papa, Ga. Darah apa pun yang mengalir di dalam tubuh kamu, kamu tetap anak Papa dan nggak akan ada yang bisa mengubah hal itu."
Setelah sebelas tahun menarik diri untuk menjauh, akhirnya Ega kembali pada pelukan sang papa. Laki-laki itu memeluk papanya dengan kedua tangan. Hal yang tidak pernah dia pikirkan, bahkan untuk sedetik sekali pun sejak dia memutuskan untuk membenci papanya.
Tidak ada kata yang keluar dari mulut Ega, tetapi sang papa tahu kalau tangisan yang didengarnya saat ini adalah bentuk penyesalan yang tidak bisa Ega ungkapkan dengan kata.
Jujur saja, Ega terlalu malu untuk mengatakan kalau dia menyesal karena telah bersikap kurang ajar selama ini. Terlalu malu untuk mengatakan kalau dia merindukan sang papa. Juga terlalu malu untuk mengatakan kalau dia membutuhkan sang papa.
Melihat Ega membalas pelukan papanya, membuat mama Sandrina tersenyum dan mengambil langkah untuk menjauh. Wanita itu pikir, dia perlu memberikan suami dan putra sambungnya ruang untuk berbicara secara pribadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dua Dunia Tiana [ END]
Teen FictionPernah menjadi korban perundangan membuat Tiana terpaksa membagi dunianya, antara kehidupan sehari-hari dan kehidupan di sekolahnya. Menjaga kehidupan dua dunianya untuk tetap seimbang sudah cukup sulit dan kehadiran seorang Erlangga Auditama yang m...