I can't endure this pain — ErlanggaAuditama.
Tiana merasa kalau hari ini kekosongan di sebelahnya jauh lebih terasa dari yang kemarin dia rasakan. Gadis itu menatap nanar kursi Ega yang tidak berpenghuni lagi hari ini, membuatnya mengembuskan napas kasar sebelum kembali fokus pada pelajaran.
Di sela-sela jam istirahat, Tiana memeriksa kembali ruang obrolannya dan Ega. Tidak adan balasan.
"Sebenarnya, lo pergi ke mana sih, Ga?" bisik Tiana seraya menatap lesu kursi kosong Ega.
Sekarang, Tiana tidak bisa menyembunyikan rasa khawatirnya lagi. Menyingkir ke halaman taman sekolah untuk sekadar menghindari orang-orang, Tiana memutuskan untuk menelepon Ega. Ini adalah panggilan pertamanya untuk laki-laki itu.
"Please, please, please, angkat, Ga." Tiana memohon seraya berjalan bolak-balik mengikuti nada sambungnya. "Argh!" geramnya seraya melepaskan handphone-nya dari telinga ketika yang menjawab adalah operator wanita.
Tiana kembali menelepon seseorang, tetapi bukan Ega, melainkan Bara.
"Masih belum ada kabar dari Ega?" Tiana bertanya dengan nada menuntut yang tidak sabaran. Tampaknya gadis itu lebih mengkhawatirkan Ega dari yang dimaksudkannya saat ini.
"Belum ada sama sekali." Suara Bara terdengar lelah tanpa harapan. "Kalau sampe nanti malam Ega belum juga balik ke rumah, bokapnya bakalan bikin laporan ke polisi untuk orang hilang."
"Terus nanti lo bakalan nyari Ega lagi hari ini?" tanya Tiana harap-harap cemas. Ujung bibirnya digigit untuk menahan rasa khawatir.
"Sekarang gue sama anak-anak juga masih keliling nyari Ega."
"Nanti pulang sekolah bisa jemput gue nggak? Gue juga pengen bantu cari Ega." Dengan segenap ketulusan di dalam hatinya, Tiana berdoa agar permintaannya ini dikabulkan oleh Bara.
"Oke, nanti gue jemput. Kabarin gue aja kalau lo udah pulang."
Sungguh, Tiana tidak tahu kalau Bara akan dengan begitu mudah menyanggupi permintaannya, bahkan menanyakan alasannya ingin ikut juga tidak laki-laki itu lakukan. Entah kenapa, dia bersyukur karena Ega memiliki teman seperti Bara dan yang lainnya.
Meski terkadang Tiana menunggu jam pulang sekolah dengan perasaan yang menggebu, tetapi tidak pernah gadis itu mengecek jam per 10 menit sekali untuk memastikan berapa lama lagi jam pelajaran terakhir ini akan selesai.
Dua puluh menit sebelum bel berbunyi, Tiana sudah mengirimkan pesan pada Bara. Gadis itu seperti tidak ingin menunggu barang sedetik pun. Jadi, biarlah Bara dan yang lain—kalau mereka semua memang ikut menjemputnya—yang menunggunya.
Dan benar saja, kelima sahabat Ega datang untuk menjemput Tiana. Padahal Tiana hanya memerlukan satu orang saja.
"Lo serius mau ikut nyari Ega?" Ibra memastikan seraya melirik langit yang begitu terik. "Panas banget loh ini."
KAMU SEDANG MEMBACA
Dua Dunia Tiana [ END]
Teen FictionPernah menjadi korban perundangan membuat Tiana terpaksa membagi dunianya, antara kehidupan sehari-hari dan kehidupan di sekolahnya. Menjaga kehidupan dua dunianya untuk tetap seimbang sudah cukup sulit dan kehadiran seorang Erlangga Auditama yang m...