2 - Afanasyi Siera

151 5 2
                                    

Ini udah hari ke 6 gua di SMA Adi Jaya, artinya gua gak punya banyak waktu lagi sebelum gua pindah dari tempat ini. Setelah sekian lama rasanya berat banget untuk balik ke kota ini, rasanya sesak banget buat gua. Rasanya gak betah kalau harus lama-lama disini, padahal gua lahir dan besar disini.

"Oy, Siera! Lo ngapain disini?!"
Akhirnya orang ini pulang juga, capek gua nungguin dia di luar rumahnya dari tadi.

"Jualan sayur—udah, cepetan bukain pintunya. Capek Gua nungguin lo pulang,"

Abin ngomel-ngomel gak jelas. Lagian sekolah dia aneh banget, sabtu masih aja masuk sekolah. Padahal di sekolah gua libur—walaupun ada kelas tambahan sih tapi gua gak ikut.

Langsung aja gua ngekor Abin ke kamarnya dan segera rebahan. Sialan, hari ini gua capek banget. Kayaknya kurang tidur atau badan gua masih beradaptasi sama kelas unggulan yang konyol itu.

"Kalau kesini cuma numpang tidur, mending lo ke kolong jembatan aja sana. Rumah gua bukan hotel," kata Abin jutek.

Gua duduk senderan di kasur Abin. Memang cara bicara Abin pedes, tapi gua tau dia gak bermaksud seperti itu. Dulu gua sering nginep di rumahnya ini dan dia gak mempermasalahkan sama sekali, bahkan Abin rela tidur di ruang tamu karena kasurnya gua pakai. Serius, kasur Abin seenak itu!

"Gimana orang tua lo? Ada kabar?"

Tangan Abin yang lagi menulis tiba-tiba berhenti. Pelan-pelan dia tutup buku coklatnya itu dan menggeleng. Terhitung 9 bulan Abin ditinggal kedua orang tuanya tanpa ada kabar dan cuma transfer uang bulanan. Seenggaknya dengan transferan itu Abin bisa tau orang tuanya masih hidup di luar negeri.

"Lo udah ketemu sama mantan ketua Left Head?" Tanya Abin mengalihkan pembicaraan.

"2 hari mana cukup buat cari dia, Bin. Ibaratnya nyari jarum ditumpukan jerami, capek gua. Disana ada 24 kelas, mana mungkin selesai dalam waktu singkat?"

Di dahi Abin muncul kerutan, "jangan bilang lo nyari satu-satu di tiap kelas?" Gua cuma mengangguk, karena memang begitu cara gua cari mantan ketua Left Head Cerberus. Memangnya salah ya?

Secara otomatis Abin nepuk dahinya cukup keras, gak lupa ngedumel sambil acak-acak rambutnya sendiri.

"Kayak gitu mah kelamaan, Jamilah! Panggil aja lewat TU langsung!"

"Gua gak tahu namanya, Bambang! Lo aja gak kasih tau!"

Rasanya gua pengin gebuk kepala Abin pakai satu toples penuh permen jeli simpanannya. Yang bener aja, masa gua ke TU sambil ngomong "Untuk mantan ketua Left Head Cerberus, tolong datang ke ruang TU." Anjirlah, sama aja kek bunuh diri kan?!

"Kalaupun gua berhasil nemuin dia, belum tentu orang sinting itu mau kerjasama dengan kita kan?"

Mendengar pertanyaan gua, Abin langsung kasih sebuah surat. Dia minta gua buat baca pelan-pelan isi surat itu. Gak perlu gua jelasin panjang panjang, intinya surat ini dikirim oleh orang yang bertahun-tahun lalu hilang begitu aja dengan ajakan untuk kerjasama—lebih tepatnya ajakan bergabung ke kelompok Cerberus. Gua lempar surat itu gitu aja, buang-buang waktu. Memangnya dia gak capek bolak-balik kirimin surat ginian dari dulu? Gua aja enek bacanya.

"Ra, kita bisa kerja sama dengan mantan ketua Left Head buat selesaikan ini semua. Paling gak kita bisa unggul dalam jumlah,"

Gua lihat Abin sebentar, dia lagi serius dengan apa yang baru keluar dari mulutnya. Tapi sayangnya gua gak bisa terima sarannya kali ini.

"Gua gak mau kalau kita dianggap curang karena pakai 'orang kedua' terkuat di Cerberus. Kita gak bisa ambil keputusan dengan satu sudut pandang aja," jelas Gua. Cara licik kayak gitu bukan cara gua banget.

Lakuna - 00 lineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang