29 - Kean Saka Revan

20 3 0
                                    

Sejak kemarin malam setelah Kiran diculik, chat terakhir gua cuma dibaca doang

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sejak kemarin malam setelah Kiran diculik, chat terakhir gua cuma dibaca doang. Lagi-lagi gua ke rumah sakit bangsat ini. Dokter yang tanganin patah tulang gua sebelumnya ngomelin gua—lagi—karena gak bisa sabar nunggu kaki gua sembuh total baru main motor. Ya, gua alibi kecelakaan motor dan berakhir kaki gua patah lagi.

Dokter Erik menghela nafas, "asal kamu tau saja, ini nantinya bisa mempengaruhi fisik kamu kedepannya. Makanya jangan keras kepala, Saka," lagi-lagi Dokter Erik ngomelin gua.

Sebelumnya gua sempet lihat Nevano dan papanya ngobrol dengan Dokter Erik, setelah itu Dokter Erik makin santai ngomelin gua. Walaupun sebelumnya juga beliau ngomelin gua, memang dasarnya aja cerewet. "Saya tinggal, istirahat yang banyak," final Dokter Erik setelah pengecekan gua selesai.

Gua yang duduk di ranjang rumah sakit lihatin kaki gua yang lagi-lagi dibalut benda putih—gips—persis waktu itu. Bahkan rasa nyeri dan dinginnya ruangan bikin gua ingat perang dengan GDO. Perang dimana gua hampir kehilangan Cindaku dan semua yang gua punya.

"Umpan baik itu harus pasrah mau dijadiin pakan buat apapun kan?"

Pintu kamar inap dibuka, orang yang sempat gua sebut sebagai papa Nevano—Pak Cakra masuk ke ruangan gua setelah ngobrol dengan Dokter Erik tepat didepan pintu kamar rawat inap. Beliau duduk di kursi pengunjung sebelah kasur. Sebelum ini gua pernah ketemu Pak Cakra di panti asuhan, di ruang main panti asuhan waktu gua ngejagain anak-anak di panti. Tatapan pak Cakra waktu itu dan sekarang sama—kelihatan tenang dan lembut.

"Administrasi kamu sudah saya urus, Dokter Erik bilang kemungkinan kedepannya ada perubahan dengan fisik kamu," kata Pak Cakra.

"Saya tau, sekarang saya jadi anak yatim—menuju piatu juga—yang cacat seumur hidup," tambah gua. Benar, Pak Revan meninggal semalam.

Hidup gua kurang sial apa lagi? Yatim, punya ibu yang otaknya cuma penuh sama duit, adik perempuan gua mau ngebunuh gua—abangnya sendiri. Memang gak ada yang berubah, cuma seorang Saka yang hidup sebatang kara. Bedanya sekarang cacat permanen aja.

Pak Cakra menelan ludahnya, "urusan Bapak di panti sudah selesai?" Tanya gua basa basi, masa iya gua diemin orang yang udah bantuin gua ini? Rasanya kurang etis, kalau kata Kiran. Sejenak Pak Cakra diam dan lihatin tangan kanan gua yang di infus, jangan tanya, gua gak paham soal bagian tubuh yang jelas suster bilang kalau pembuluh darah gua di tangan kiri susah dicari.

"Kurang satu langkah lagi selesai. Setelah ini Nevan akan senang, katanya dia kesepian di rumah sendirian. Dia mau punya saudara," jelas Pak Cakra.

Dengar nama Nevano disebut rasanya mulut gua mau maki-maki, tapi gak mungkin juga gua maki-maki anaknya didepan bapaknya sendiri? Berbanding terbalik dengan gua, hidup Nevano penuh dengan keberuntungan. Mungkin waktu pembagian keberuntungan dia antri paling depan dan jatah gua diambil sama curut satu itu.

"Nevan mau saudara laki-laki supaya tidak canggung," Pak Cakra senyum tipis. Ah, mukanya juga mirip banget sama Nevano. Kalau bukan karena rasa sakit di kaki gua, kayaknya gua udah gak sadar ngata-ngatain Pak Cakra. Anak culun itu dengan seenak jidatnya minta saudara ke papanya, kayak minta anak kucing aja.

Lakuna - 00 lineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang