0.1 Midnight Conversation

3.1K 144 12
                                    

Seharian ini Alana merasa hampa, meski sudut bibirnya terus tercetak senyuman. Setelah semua runtutan prosesi selesai, ia merasa lebih hampa lagi. Benar-benar tidak menyangka bahwa hari ini adalah takdirnya, ia pernah membayangkan akan menikah tapi yang terjadi hari ini tidak pernah ada dalam bayangannya.

Tidak ada yang salah dari pernikahan hari ini, acara ijab kabul berjalan dengan penuh syukur atas setiap orang yang menyaksikan, acara prosesi pernikahan juga berjalan hangat dengan kebahagiaan terpancar dari sudut manapun.

Tapi tetap saja ia belum bisa mencerna semuanya dengan benar, rasanya masih ada yang membuatnya gelisah. Maka yang ia lakukan usai acara seharian ini adalah berdiam diri sambil memandang Jakarta dari lantai gedung hotel yang kini mereka tempati.

Satu-satunya cara yang bisa ia lakukan adalah berdamai dengan kegelisahan, menenangkan diri dengan secangkir cokelat hangat dan lagu-lagu Taylor Swift di album yang terputar.

"Na, are you oke?"

Alana menoleh ke belakang, ada Arsen di sana. Suaminya. Untuk menyebut pria tersebut adalah suaminya saja Alana merasa asing, namun lagi-lagi ini semua bukan sepenuhnya salah Arsen, ada dirinya yang turut ambil kesalahan.

Maka dari itu, marah dengan Arsen tidak ada gunanya. Memangnya kejadian di Cambridge dua bulan lalu hanyalah keinginan Arsen? Tidak, Alana juga ingin. Jadi resiko dari apa yang telah dilakukan adalah tanggung jawab bersama.

Maka dari itu jika berhadapan dengan Arsen, Alana harus bisa mengatur dirinya, tidak boleh terlihat melimpahkan segala kesalahan pada pria itu. Alana sudah 24 tahun, ia harus bisa bersikap sebagaimana orang dewasa seharusnya.

Arsen kemudian berjalan mendekati Alana, duduk di sebelahnya. "Kamu capek banget ya hari ini?"

Alana mengangguk.

"Maaf ya, Na?"

Suara Arsen meminta maaf sangat dalam sekali, Alana tahu itu penuh ketulusan. Apalagi ketika mata Arsen menatapnya, Alana seakan ikut tenggelam dalam rasa bersalah yang Arsen miliki.

"Aku boleh peluk Kak Arsen nggak?" tanya Alana, dari semua opsi malah itu yang keluar dari mulutnya.

Pertanyaan tersebut tentu saja membuat Arsen kaget, namun kemudian ia langsung mendekap Alana ke dalam pelukan, mengusap-usap punggung istrinya.

"Kamu nangis?" tanya Arsen saat mendengar suara pelan tangisan dari Alana, ia kemudian melepaskan pelukan. Takut kalau Alana menangis karena ia peluk walaupun yang meminta terlebih dahulu bukan dirinya.

"Aku kalau capek suka nangis Kak," ujar Alana, eskpresi Alana bukan menangis seperti istri-istri Indosiar yang diselingkuhi suaminya, ekspresi menangis Alana lebih seperti ekspresi anak-anak yang sedang mengadu diisengi temannya.

Rasanya Arsen ingin tersenyum, tapi ia simpan saja senyumannya takut Alana tersinggung.

"Kak kan aku minta dipeluk, kok dilepas?"

Arsen lalu kembali memeluk Alana, "maaf ya Na kalau acara hari ini bikin kamu capek," ujarnya sambil mengusap punggung Alana.

"Kaki aku pegal banget Kak, aku seharian pake high heels." Alana kembali berkata, seperti sedang mengadu.

"Iya nanti aku pijitin ya?"

Alana mengangguk, "kak Arsen nggak capek?"

"Capek sih, tapi lumayan seru."

Alana lalu melepaskan pelukan mereka, "kok lumayan? Kak Arsen nggak suka sama konsepnya ya?"

Arsen hanya bisa menggaruk tengkuknya, apakah ia salah lagi?

Plot Twist Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang