(flashback start, beberapa waktu sebelum pertemuan dengan Sabda)Dua insan yang pernah saling jatuh cinta dan berjalan bersama di hamparan tanah yang luas, kini saling menapakkan hati dan kakinya di jalan mereka masing-masing. Jalan yang yang alurnya berubah secara mendadak, tak terduga, tanpa ada persiapan. Jalan yang dipenuhi oleh kerikil dan terpaksa harus mereka lewati, sendirian. Jalan yang tak pernah mereka ketahui di mana ujungnya dan seperti apa ke depannya. Karena, semuanya terlalu mendadak untuk diterima oleh akal sehat.
Kandasnya hubungan Ecan dan Arin tidak hanya mengubah hidup keduanya. Kerenggangan juga terjadi di hubungan Ecan dengan empat orang tetua di lingkar pertemanannya dengan Arin, yang sebelumnya sudah ia anggap sebagai kakaknya sendiri. Semenjak kejadian Raka memaki Ecan tepat di depan wajahnya tempo hari, rasanya Ecan hanya ingin menghilang dari lingkaran pertemanan yang terus-menerus menyudutkan posisinya. Ecan bukan pribadi yang mudah dibuat sakit hati dengan perilaku seseorang, namun ketika posisi dan harga dirinya sudah diinjak-injak, meski dengan orang terdekat sekali pun, Ecan tak segan untuk mengambil tindakan tegas. Setidaknya menurut pikirannya sendiri.
Raka kian memberi jarak setelah kejadian tersebut. Ecan tidak ambil pusing karena ia merasa tidak ada gunanya juga terus menerus memberi penjelasan pada Raka bahwasanya di sini yang menjadi korban bukan hanya Arin, tapi dirinya juga. Ecan mencoba berusaha profesional ketika harus mengerjakan tugasnya di kantor sebagai content specialist dan mencoba mengesampingkan masalah pribadinya dengan Raka. Meskipun terkadang ada rasa kesal yang mencuat di dalam dirinya tatkala ia melihat batang hidung Raka di hadapannya.
Siang yang tenang ketika Ecan tengah menemani Dinar ke dokter THT di salah satu rumah sakit di Kota Bandung. Enggan menemani Dinar masuk ke ruang pemeriksaan, Ecan memilih untuk menunggu di kafetaria rumah sakit saja. Suasana yang cukup lengang membuat Ecan leluasa berjalan sembari memainkan ponselnya. Beberapa kali ia berpapasan dengan pasien maupun pekerja kesehatan yang hilir mudik, hingga matanya bertemu dengan satu kemungkinan yang lupa ia hindari. Perempuan dengan rambut dikuncir kuda, kemeja biru langit dipadukan dengan celana kain hitam, lengkap dengan snelli dan lanyard warna senada berdiri di ujung yang berbeda dengan dirinya saat ini.
"Candika!" Panggilan yang membuatnya berharap punya kekuatan super untuk menghilang secepatnya. Sayangnya, tidak ada kekuatan super apa pun. Satu-satunya yang bisa Ecan lakukan hanya tersenyum dan mau tidak mau menghampiri perempuan itu.
Ecan tersenyum canggung, "Eh, Teh.." katanya sambil membungkukan tubuhnya setelah keduanya high five terlebih dahulu.
"Apaan sih, Can! Kayak baru kenal aja. Mau ngopi, ya? Pas banget, dong. Sekalian aja Teteh yang bayarin."
Ada rasa ingin menolak ajakan perempuan ramah itu, karena entah mengapa Ecan merasa canggung. Namun di sisi lain pun Ecan merasa tidak memiliki masalah yang berarti dengan perempuan yang tingginya tidak jauh dari mantan kekasihnya itu. Maka dari itu, Ecan akhirnya menyetujui tawaran tersebut.
Keduanya memesan es kopi susu dan duduk di dekat jendela. Tidak ada yang memulai pembicaraan untuk beberapa menit pertama. Keduanya asyik menyesap minuman masing-masing, sampai akhirnya Ayi menggunting keheningan terlebih dahulu, "Ngapain, Can? Sakit?"
Ecan menggelengkan kepalanya, "Nganterin Dinar, Teh. Ke dokter THT katanya kupingnya gak bisa denger sebelah. Congean kayaknya," jawabannya membuat Ayi terkekeh.
"Kamu mah sehat ya berarti?"
Ecan mengangguk-angguk kecil, berusaha menghalau canggung. Pertanyaan semacam ini jarang terjadi di antara mereka sebelumnya. "Alhamdulillah sehat, teh. Ya , gini-gini aja, sih. Teh Ayi gimana? Aman koasnya, Teh?"
KAMU SEDANG MEMBACA
CANDIKA (Bejana Puspawarna) - Haechan & Ryujin
FanfictionTentang semua yang tidak terduga. Tentang makna kata "akhirnya". Tentang dua insan yang bertemu di tempat yang tak pernah mereka duga dan siap mengarungi asa bersama. **Cerita ini mengandung percakapan dalam Bahasa Indonesia dan Bahasa Sunda**