Suara televisi menyala, mengiringi derap langkah kaki yang terdengar nyaring melewati ruang utama. Keadaan terasa senyap, seperti tak ada suara yang tercipta selain berita tengah malam yang menggema dari sebuah benda pipih itu.
Hagantara menghentikan langkahnya kemudian. Netranya memindai sekitar. Tidak seperti biasa Bi Suri meninggalkan televisi dalam keadaan menyala.
Dengan sisa tenaga yang tersimpan di balik tubuh tegap itu, ia berjalan lambat ke depan. Hendak mematikannya.
Namun, gerakan itu mendadak berhenti. Ketika ia merasakan sebuah sapuan lembut menyentuh pori-pori pada tubuhnya. Hawa dingin yang tiba-tiba saja menyergap, mengalihkan atensinya untuk sejenak.
Pada sebuah pintu penghubung yang terlihat terbuka, ia melangkahkan kakinya kemudian. Bergerak maju, untuk menembus hawa dingin yang semakin pekat menyentuh permukaan kulit.
Degup jantung itu tiba-tiba terasa memburu menjadi lebih cepat. Menimbulkan satu pemikiran buruk yang mungkin saja telah terjadi sesuatu pada malam ini. Namun, langkah tegas itu tak juga surut ketika tubuhnya telah berada satu langkah di depan pintu.
Sekali lagi Hagantara menarik napasnya yang terasa tercekat. Menghitung waktu menjadi lebih lambat hanya untuk menyingkirkan pemikiran-pemikiran buruk yang sejak tadi bersarang dalam kepalanya.
Lalu, ketika sepasang netra itu telah selesai mengintip pada sebuah objek yang berada di luar ruangan. Satu hembusan penuh kelegaan tercipta seiring retina matanya yang menangkap satu sosok yang tengah terduduk seorang diri pada kursi yang berada di taman samping rumah mereka.
Azalea menoleh sejenak ketika radarnya telah menangkap kehadiran seseorang dari balik tubuhnya. Senyum tipis terkuntum manis pada bibir mungil itu. Menyapa kepada seorang pria yang sekarang ini masih berdiri diam pada pintu penghubung di belakang.
"Hai, sudah pulang?" Kalimat sapaan itu berasal dari Azalea. Untuk pertama kalinya perempuan itu melontarkan kalimat basa-basi terlebih dahulu kepadanya.
Senyum kikuk terbit sebagai balasan. Ada rasa sesak yang menyeruak naik mengisi ruang-ruang kosong pada sebagian dadanya. Menyaksikan Azalea dengan senyuman indah itu seketika mengingatkan dirinya tentang kejadian bejat itu pada empat tahun yang lalu.
Kesucian diri yang terjaga telah terenggut dalam satu malam penuh kebencian pada malam itu. Meskipun mahkota utama masih tetap berada dalam takhta tertinggi hingga kini, namun perlakuan hina yang ia berikan tetap akan menggoreskan luka kepada sesosok yang sangat ia cintai itu.
Hagantara menghentikan semuanya pada malam itu. Ketika teriakan dan permohonan ampun menggema dalam ruang-ruang sepi bangunan tua. Ketika rasa takut meraung-raung mengisi jiwa yang haus miliknya kala itu, satu sisi dirinya yang lain seperti menolak untuk melakukan semuanya.
Ia tersentak kemudian. Tersadar dalam perangkap hitam yang menyelimuti dirinya dibalik kata-kata dendam.
Melepaskan cengkeraman tangannya dari baju Azalea yang telah terkoyak kusut, ia menemukan sosok Azalea yang tengah meringkuk ketakutan di bawah tubuhnya. Sepasang putih abu-abu telah robek tak berbentuk, menampilkan sebagian tubuh putih pucat itu dengan lebam yang terpampang di hadapannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
HIRAETH : Rain In Paradise (END)
General FictionIni tentang Azalea yang harus menjalani pernikahan semu bersama Hagantara. Seorang gadis yang masih memendam trauma masa lalu dan harus terjebak dalam hubungan mengerikan bersama Hagantara. Atau ini tentang Hagantara Kalandra yang telah kembali. Hag...