April, 2018
Gerimis turun sejak siang, tumpah ruah membasahi bumi, aromanya begitu lembab, dan menyengat. Keadaan malam juga terasa lebih sepi, lampu-lampu jalanan bersinar redup dari biasanya. Dan udara yang berdesir terasa lebih dingin saat itu, membuat seorang gadis merapatkan kembali jaket berwarna biru itu pada tubuhnya, melindungi sepasang seragam putih abu-abu yang melekat sempurna di sana.
Ia berjalan, mengendap. Berjingkat kecil melintasi gedung-gedung tua yang tak berpenghuni sejak beberapa tahun terakhir. Matanya yang kecil menatap waspada, memindai keadaan dengan sorot matanya yang ketakutan.
Sedangkan rok abu-abunya telah terangkat dengan sobekan setinggi paha. Kemudian, ia menutupinya dengan sebelah tangan, dan tangan satunya ia gunakan untuk melepas tali yang masih melingkar pada tubuhnya itu.
Namun seseorang masih berada di dalam sana.Terikat lemah dibalik satu-satunya kursi reot yang terletak di tengah-tengah ruangan.
Jantungnya bertalu, dan semakin kencang ketika suara derap langkah kaki terdengar beriringan dari arah yang berlawanan.
Azalea menunduk, menenggelamkan tubuh mungilnya dibalik ilalang yang menjulang tinggi di antaranya. Menahan rasa gatal ketika daun itu bersinggungan dengan permukaan kulitnya itu.
Ia membekap mulut, menahan gemeretuk gigi yang saling beradu. Napasnya tersengal, saling memburu. Lalu, tepat ketika kawanan preman-preman itu melintasinya, ia kembali merendahkan tubuhnya menjadi tengkurap penuh di atas tanah yang basah.
Hingga...
Entah bagaimana, semuanya terjadi begitu cepat. Suara teriakan terdengar sangat nyaring, rintihan-rintihan kesakitan bergema di udara. Membuat detak jantungnya bertalu lebih keras. Bibirnya yang bergetar kemudian membisik, "Maafkan aku karena sudah egois kali ini."
Dan kejadian itu berlangsung sangat lama. Suara teriakan, rintihan, serta tangisan gadis itu seolah melebur dalam dengung pilu pada sebuah hujan deras di malam itu.
“Di-Dinara-a...” panggilnya terbata-bata. Ia telah menyaksikan semuanya, tentang bagaimana nyawa temannya terenggut tragis di depan sana. Di dalam sebuah gedung terbengkalai yang berada di pinggiran kota.
Dari balik persembunyian itu, Azalea masih saja membekap mulutnya, isakannya masih tertahan. Napasnya semakin tersengal. Lalu, suara-suara itu semakin nyaring.
Hingga pada puncaknya, ketika sebuah tembakan terdengar kencang membelah kesunyian, terdengar teriakan paling panjang dari gadis itu di dalam sana, namun teriakan itu justru menjadi teriakan terakhir yang terjadi pada malam itu.
Rasa bersalah yang mendekapnya, kini mengikatnya di setiap helaan napas. Bayang-bayang mengerikan tentang malam itu telah melekat kuat di dalam ingatan kepalanya. Suara-suara dan rintihan-rintihan, seolah menghukumnya di dalam balutan rasa bersalah yang membelenggunya hingga sekarang ini, meskipun empat tahun itu telah berlalu.
KAMU SEDANG MEMBACA
HIRAETH : Rain In Paradise (END)
Fiksi UmumIni tentang Azalea yang harus menjalani pernikahan semu bersama Hagantara. Seorang gadis yang masih memendam trauma masa lalu dan harus terjebak dalam hubungan mengerikan bersama Hagantara. Atau ini tentang Hagantara Kalandra yang telah kembali. Hag...