Feelings of Envy?

83.8K 6.7K 230
                                    

Untuk part ini dibaca santai aja okee.

Ringan-ringan aja kok ini:))

Jadi...
.
.

HAPPY READING
____


"Kusut amat muka lo." Tegur Elliot menatap arah samping, tepat dimana Bhita berjalan disampingnya.

Dengusan Bhita keluarkan. Bagaimana wajah Bhita tak kusut, jika malam ini berakhir tak sesuai ekspektasi.

Bhita sudah kepalang senang ketika Eros menolak pertunangan. Itu sebabnya Bhita ikut membantu dengan menyerukan suara nya.

Tapi malah berujung penyesalan yang tertinggal di dada. Amat menyayangi sikap sok nya.

Andai saja Bhita tak bertingkah begitu heroik, hingga melontarkan perbait kata yang mampu menarik jelmaan iblis seperti Eros, mungkin akhir makan malam tidak akan seperti ini.

Niat hati ingin membantu, malah Bhita berakhir buntu.

"Tenang aja, kalau lo masih gak nyaman sama kehadiran Eros. Dan pendekatan yang mereka bilang gak berakhir baik, lo gak usah cemas, karena pertunangan gak akan terjadi." Ujar Eric menenangkan.

Bhita hampir saja melepaskan tawa nya. Ingin menertawai seberapa sempit mereka menilai karakter Eros.

Tapi Bhita hanya bisa mengelus dada, berusaha memaklumi seberapa ulung Eros menyembunyikan sisi gelap yang disimpan dengan rapat.

Eric dan Elliot belum memahami sepak terjang Eros mengenai seberapa absolut dan kompleks perangai Eros jika menginginkan sesuatu.

Bak seorang raja yang mengeluarkan titah kepemilikan pada seorang gadis yang hanya bisa pasrah tak bisa melawan, menyerahkan diri, tak ada kuasa untuk menentang.

Bhita berdecih. Seperti Aira, yang pasrah menyerahkan diri, karena tak ada keberanian untuk menolak kepemilikan Eros.

Menyedihkan.

Ego Bhita akan tergores, jika berakhir sama seperti Aira.

Jika ada pilihan berada pada pihak menyakiti dan di sakiti, maka Bhita akan berseru mantap, memilih menjadi pihak yang menyakiti.

Karena meskipun dipandang jahat, setidaknya bukan pihak Bhita yang merasakan sakit.

Menghela napas. Eric menepuk punggung Bhita lembut, saat melihat keterdiaman gadis itu.

"Lo tidur aja. Istirahatin diri lo. Lo belum pernah keluar jalan-jalan kan? Besok gimana kalo kita keluar? Jakarta udah banyak berubah, lo pasti gak bosan."

Bhita berpikir sejenak. Menimang tawaran Eric, hingga akhirnya gerakan kepala Bhita yang naik turun, Eric dapatkan.

Eric tersenyum tipis. Dengan alami Eric kalungkan lengan nya pada bahu Bhita. Entah kenapa sejak tadi siang, Eric merasa semakin dekat dan tidak kaku lagi dalam bertindak.

"Ayo, gue anter ke kamar lo." Tarik Eric dengan lengan nya, hingga mau tak mau Bhita menurut.

Elliot disisi lain berdecak jengkel. Tangan remaja laki-laki itu mengepal, menatap penuh permusuhan dua punggung yang berjalan semakin jauh.

Kenapa rasanya Bhita tak berlaku adil? Elliot bahkan seringkali diabaikan oleh gadis itu. Sering kali pula niat mengobrol nya tidak digubris.

Lalu kenapa nasib nya berbeda dengan Eric?

Dada Elliot kini sudah dipasoki oleh rasa iri. Berulang kali mulut remaja laki-laki itu mengumamkan kalimat 'Tak adil'

Awas saja jika sampai besok dia tidak diajak. Elliot berjanji tidak akan berbicara lagi pada kembaran nya itu.

Overdoses BhitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang