Teh

227 58 21
                                    

Pagi yang lain menyapa kehidupan Samuel. Seperti biasa, pemuda tersebut segera bangkit mencari penyegar tenggorokan begitu terbangun dari tidur paginya.

"Morning, Sweetie."

Baru saja keluar membuka pintu kamarnya, Samuel segera terkejut begitu menangkap kehadiran seorang wanita paruh baya yang kini tengah mengikuti instruksi meditasi di televisi.

"Bunda ngapain di sini? Bukannya urusan di Jepangnya masih lama?" tanya pemuda tersebut pada sang wanita paruh baya yang tak lain adalah ibundanya, Monik.

Wanita tersebut kini sudah keluar dari posisi meditasinya, beralih tersenyum pada sang putra. "Ada yang ketinggalan."

Samuel menaikkan satu alisnya. "Kenapa nggak minta suruh sekretaris Ayah buat ngambil?"

"Nggak sembarang orang boleh pegang barang yang ketinggalan ini, Sammy," alibi Monik. Sebenarnya bukan itu tujuan utama wanita berwajah dingin tersebut.

"Terus kenapa Bunda mampir ke sini? Bukannya lagi buru-buru?"

Mendengar pertanyaan yang tak hentinya keluar dari mulut Samuel, Monik terkekeh kecil. "Kenapa? Bunda nggak boleh mampir sini?"

"Bukan gitu sih maksud Sammy," jawab Samuel agak canggung. Pemuda tersebut pun memilih melanjutkan tujuannya—minum air putih. Setelahnya Samuel kembali menemui sang Bunda di ruang tamu—tentu sudah cuci muka kali ini.

"Gimana kabar kamu?" tanya Monik basa basi, sementara manik matanya fokus menatap layar tivi yang masih menayangkan acara meditasi pagi.

"Seperti yang Bunda lihat tuh, baik aja." Samuel menjawab enteng.

"Kalau kabar Ghea gimana?"

Pertanyaan itu membuat Samuel tertegun sesaat. Seharusnya ia tidak terlalu kejut begitu Monik menanyakan kabar 'kekasihnya'. Sebab saat masih berkencan dengan Lila pun Bundanya memang sering menanyakan kabar gadis itu. Bisa dibilang Monik cukup strict dalam urusan asmara putranya.

"Kurang tau, Sammy sama dia udah putus." Akhirnya kalimat itu yang bisa Samuel katakan. Kini malah gantian Monik yang tertegun. Meski begitu, air mukanya tetap terlihat tenang.

"Putus kapan?"

"Semalem."

Monik mengangguk-angguk kecil mendengar jawaban singkat Samuel. Untuk sesaat hatinya merasa lega. Ternyata ini tidak serumit yang dibayangkan. Bahkan Monik belum menjentikan jarinya untuk mengusir gadis itu, namun ternyata gadis tersebut sudah pergi dengan sendirinya. Sungguh kooperatif. Diam-diam Monik tersenyum tipis.

"Kalau gitu, harus nunggu dua tahun lagi sampe kamu move on dong. Sama kayak pas move on dari Lila ke Ghea," celetuk Monik bercanda.

'Move on dari Lila aja belum,' batin Samuel.

"Khem. Iya, mungkin." Pemuda tersebut mengusap belakang lehernya.

*****

----------------------
Warning ⚠️
Terdapat kata-kata kasar, abuse, etc.
Tidak untuk ditiru!
----------------------

30 tahun silam. Saat matahari sudah terjun seutuhnya ke ujung barat. Sedang langit malam tengah bergemuruh dicambuk kilatan guntur. Petang sejauh mata memandang, hanya kilatan-kilatan yang kian lama kian terlihat seperti sulur-sulur iblis yang tengah mengamuk. Menakutkan.

Sungguh menakutkan bagi seorang gadis kecil yang baru saja memasuki usia ke-limanya tahun ini. Gadis tersebut semakin ketakutan saat suara gluduk bersahutan di langit memasuki telinganya. Baginya terdengar seperti gong dari neraka—yang ia yakini sebagai tempat untuk anak-anak nakal.

My Puppy GirlTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang