Minum

302 77 26
                                    

"Gue pergi dulu ya. Sukses terus buat bisnis lo!" Samuel melambaikan tangan, lalu berjalan masuk ke mobilnya.

Zayyan yang masih menggunakan celemeknya ikut melambaikan tangan. "Yoi, thanks juga udah dateng!"

Samuel pun mulai melajukan mobilnya meninggalkan tempat parkir di pinggir kafe Zayyan. Pemuda tersebut melirik arloji di tangannya, sudah pukul setengah tujuh malam. Jam tujuh nanti ia ada jadwal menyanyi di kafe yang tak jauh dari lokasinya sekarang.

"Napa cemberut muka lo?" tanya Samuel begitu mendapati Gege tengah menekuk wajahnya.

"Gege laper."

Mata minimalis Samuel sedikit melotot. "Masih laper?"

Sembari mengusapi perut keroncongannya, Gege mengangguk. "Tadi makannya sedikit doang di sana."

Padahal selama satu setengah jam di sana, Gege sudah memakan setidaknya sepotong keik red velvet dan segelas americano. Samuel bingung. Apa mitos 'kalau nggak makan nasi belum kenyang' itu berlaku pada anjing juga, bukan hanya pada manusia?

"Entar makan lagi."

Senyum cerah pun kembali terbit di wajah Gege. "Tapi Gege mau permen cokelat sama es krim sama kerupuk seblak, ya?"

Samuel membatin, 'Yang ada lo kena tipes kalo seharian makan begituan doang.'

*****

"Sapa nih? Pacar?" tanya Tara—sesama penyanyi kafe, rekan Samuel. Pemuda bermata belo tersebut bermaksud menanyakan Gege yang berjalan di belakang Samuel.

"Sepupu." Samuel menjawab asal.

"Oala, mau diajak duet juga kah?" tanya Tara lagi berbasa basi, sembari mengeluarkan gitar miliknya dari tas.

"Nggak. Dia bosen sendiran di rumah makanya gue ajak ke sini." Samuel akui, kemampuannya mencari alasan kini mulai meningkat. Sedikit bangga sih, hehe.

"Hei, Sam, Tara, sini!"

Panggilan pria berusia 30an dari mini bar mengalihkan atensi Samuel dan Tara. Setelah sadar yang memanggil mereka adalah Pak Bos, kedua pemuda tersebut pun segera mendekat. Begitu pula dengan Gege yang terus membuntuti Samuel.

"Akhirnya kita punya penyanyi wong wedok iki, bakal langsung nyanyi malam ini juga." Setelah Pak Bos mengatakan itu dengan dialek medoknya, sesosok gadis berambut pendek dengan senyum cerianya datang dari balik pintu kafe. Lonceng di atas pintu tersebut pun berbunyi.

"Maaf, Bos, saya agak telat, tadi macet soalnya," ujar gadis tersebut sembari sedikit membungkukkan kepalanya, merasa bersalah. Meski begitu, senyum cerahnya yang menghangatkan hati siapa saja tersebut tak lekas luntur.

"Loh, rapopo toh. Orang telat gak sampe sepuluh menit kok. Santai ae, Nduk," ujar Pak Bos sembari terkekeh kecil. Diikuti oleh Tara.

Sementara Samuel, pemuda tersebut sedaritadi membatu begitu menyadari siapa gadis yang barusan datang. Ia adalah Lila, mantan kekasihnya yang bahkan belum bisa ia lupakan sampai sekarang. Bahkan kalaupun sekarang juga Lila mengajaknya balikan, Samuel dengan senang hati akan menerimanya tanpa pikir panjang.

Tak hanya Samuel, senyum cerah Lila juga perlahan luntur saat menyadari eksistensi pemuda yang pernah mengisi hatinya tersebut. Namun Lila lebih pandai meguasai keterkejutannya dibanding Samuel. Jadi ia pun segera membuang muka, beralih menatap Tara dan menunjukkan senyumnya kembali pada pemuda tersebut.

"Saya Lila, nice to meet you."  Lila mengulurkan tangannya.

Tara terkekeh kecil. "Gausah formal-formal. Lo-gue aja kayaknya lebih santai sih."

My Puppy GirlTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang