(17) Kumohon, Jangan Buat Aku Khawatir

127 17 1
                                    

Setelah kejadian tidak menyenangkan yang terjadi antara Hendery dan Xiaojun tadi sore, Hendery terus menghela nafas gusar dan raut wajahnya mengkerut memikirkan Xiaojunnya. Dia menyalahkan dirinya sendiri, dia seharusnya tidak begitu cerewet pada Xiaojun kala itu, seharusnya dia lebih baik mengawasi Xiaojun yang ingin bermain skateboard. Bukan memberikan segala larangan. Hendery sadar jika dirinya tidak suka di atur oleh orang lain, jadi dia tidak marah dengan Xiaojun sama sekali.

"Aku yang bodoh," gumam Hendery pada ponsel ditangannya. Layar itu menampilkan pesan WeChat terakhir dirinya dengan Xiaojun. Dia ingin meminta maaf tetapi mengingat tempramen dinosaur kecilnya, Hendery mengundurkan niatnya.

"Mungkin aku harus menunggu besok saat berangkat sekolah, pasti suasana hati A-Jun sudah membaik. Atau sekarang saja bujuk dia sampai luluh? Aaaaarh, dilema." Hendery merosot kekasurnya, hatinya yang bertarung menentukan pilihan membuatnya malas belajar. Buku-buku juga masih berserakan di mejanya.

Hendery tiba-tiba bangun dan dengan tatapan berapi-api dia mengetik di ponselnya, berseru "Lebih baik sekarang saja!"

Belum ketikan pesan selesai, sebuah panggilan suara masuk. Hendery terkejut melihat nama yang tertera, lalu dengan enggan menekan dial. Dia men-loudspeaker panggilan itu.

"Kun-er, Kun-er!" Suara Ibu Hendery terdengar panik dari seberang telepon.

Mendengar itu, raut wajah Hendery terlihat curiga. "Iya, bu. Ada apa?"

"Kakakmu . . . kakakmu, Crystal, dia kecelakaan. Dia sekarang ada di rumah sakit-"

Hendery tidak lagi mendengar suara histeris ibunya, dia melompat dari kasurnya dan berlari keluar kamar. Berteriak memanggil supir pribadi untuk mengantarnya kerumah sakit tempat kakaknya dirawat. Dia cemas, jantungnya seperti menembus sampai perut bawah sampai terasa sesak nafas.

Dia sangat sangat khawatir. Kumohon, Kumohon, jangan pikirkan seburuk itu dasar diriku yang bodoh! Kumohon, jangan-

Hendery lari ke ICU, pandanganya mengedar keseluruh area dengan tatapan bergetar. Nafasnya berat membuat detak jantungnya berdetak tidak beraturan dibalik sikapnya yang terlihat tenang. Setelah mendengar kabar kakaknya dari Ibunya, Hendery sudah tidak memikirkan apapun lagi. Dia khawatir, sangat malah. Meskipun hubungan keduanya tidak baik, tetap saja dia sedikit takut jika terjadi hal buruk pada keluarganya.

Hendery yang melihat sosok Ibunya yang masih menangis di sebelah bangsal dimana kakaknya terbaring tak sadarkan diri segera menghampiri.

"Ibu," Nyonya Wong melihat Hendery ada disana, langsung memeluk putranya. "Bagaimana bisa. . ." Hendery menatap kondisi kakaknya yang terbalut perban dan beberapa luka kecil dan memar yang menyedihkan.

Suara nyonya Wong seolah ditekan dengan kemarahan saat menjawab. "Ini semua karena dia. . ."

Pikiran Hendery seketika kosong. Nafasnya memburu dan perasaan marah menggerogoti hatinya saat mendengar jawaban Ibunya.

"Saat Ibu bertanya pada pelayan di kediaman Wong, kakak sempat bertengkar dengan Ayahmu. Lalu Crystal pergi dari rumah, mungkin karena marah dan konsentrasinya terganggu, dia. . ." Suara nyonya Wong tidak terdengar berwibawa seperti biasanya, air mata tidak berhenti mengalir dari pelupuk matanya tetapi suaranya bergetar seolah amarah bergemuruh.

Pikiran Hendery juga berkecamuk. Disisi lain, dia merasa asing melihat sosok Ibunya seperti ini. Sebelumnya di pandangannya, nyonya Wong ini menunjukkan sisi yang berbeda dari sosok ibu lainnya. Tidak ada kasih sayang atau kelembutan, hanya kedispilan dan peraturan yang ada dibenak anak-anaknya.

Tapi tetap saja nyonya Wong ini masih jauh lebih baik daripada tuan Wong. Pei! Aku bahkan tidak sudi mengingat wajah Ayah sekarang! Pei! Pei!

Setelah dokter yang menangani Crystal mengatakan kalau kondisi kakaknya baik-baik saja, hanya mengalami memar dibeberapa tempat dan perlu menunggu beberapa waktu agar dia siuman, Hendery bisa sedikit rileks.

Bad romance. [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang