BAB 5. KEBODOHAN

526 18 0
                                    

     Di tengah deraian hujan malam ini, seluruh jalanan ibu kota terbasahi air Tuhan. Lelaki bernama Arfisa Haris itu tak berniat untuk berteduh. Ia melajukan motornya tak tahu arah, padahal waktu sudah menunjukkan pukul setengah duabelas malam.

      Bayangan akan Olivia terus menghantui fikirannya. Apa benar yang di katakan gadis kecil itu? Jika dirinya begitu bejat? Ya kalau di fikir-fikir memang itu adalah tindakan bejat bahkan kriminal.

     Arfi bahkan belum lupa, bagaimana miliknya merobek bagian inti tubuh gadis itu dengan kejam, di lihat teman temannya dengan gelak tawa puas. Memalukan, memang sangat memalukan apa yang ia lakukan terhadap gadis itu. Lebih lebih, sedikit penyiksaan yang ia lakukan di tubuh mulus Olivia, payudara yang baru saja mulai tumbuh ranum, membuat tubuh Arfi meremang terselimuti basahnya air hujan yang mengguyur.

     Rasa perih di punggung akibat terbasahi air hujan membuat Arfi kembali teringat, jika Olivia juga memberi luka padanya. Cakaran keras hingga membuat punggungnya berdarah. Arfi tahu, Olivia pasti tak sengaja karena saking menahan sakitnya apa yang sudah ia lakukan.

     Setelah puas berkeliaran di bawah guyuran hujan ibu kota, Arfi kembali ke markas. Markas tempatnya melakukan segala kebrutalan bersama teman-teman genk-nya.

    "Ngapa lo hujan-hujanan? Kayak bocah aja". Ucapan sambutan itu lolos dari mulut Kevin sahabat Arfi yang sekaligus pencetus taruhan konyol minggu lalu.

     "Otak lo dimana sih? Kenapa bisa tercetus ide taruhan konyol itu?!". Gerutunya sembari membuka jaket levis basahnya lalu menaruhnya di tempat gantungan jaket.

     "Kenapa? Lo takut ketangkep? Bukannya tuh bocah udah lo kasih anceman buat nggak buka suara?".

    Arfi terdiam, ia menjatuhkan dirinya di sofa, sembari menenggak anggur yang sudah tertuang di gelas kecil.

     "Pake lagi aja, biar dia tambah takut buat buka suara. Biar dia tahu juga, kalau anceman lo nggak main-main".

    Arfi menoleh ke arah Kevin dengan tatapan serius. "Lo fikir anak orang bisa di pake seenaknya? Bejat boleh, tapi jangan sampai ngerugiin orang!". Ujarnya mulai naik pitam. Ia merasa di rugikan di sini, Kevin yang membuat game konyol ini, namun dirinya yang menjadi korban.

     "Santai Fi, jangan emosi lah, ayo minum minum, biar nggak tegang". Ujar Kevin menenangkan lalu menuangkan lagi anggur merah itu ke gelas Arfi. Arfi tak menolak, ia kembali menenggak anggur itu dengan enteng.

      "Ngomong-ngomong, waktu itu, lo keluarin di luar apa di dalem?".

     Satu kalimat pertanyaan Kevin membuat Arfi menghentikan aktifitasnya. Ia mematung, kembali mengingat kejadian keji itu. Dirinya saat itu mabuk berat, lupa lupa ingat bagaimana ia menyetubuhi gadis itu dengan kejam, tapi seingatnya, setelah sampai puncak, Arfi tak lantas menjauhkan badannya dari tubuh Olivia, ia limbung menindih tubuh mungil itu agak lama.

Degh!

    "Jangan bilang lo keluar di dalem ya sat! Mampus kalau sampai tu bocah hamil!". Ujar Kevin mulai panik.

    "Gobloknya emang keluar di dalem". Jawab Arfi lirih, sedikit lemas dengan ingatan yang kembali pulih tentang malam itu.

     "Tolol! Bener-bener tolol lo! Kan udah gue bilang, nidurin seribu gadis pun nggak masalah, asal jangan sampai lo ninggal benih di rahimnya!". Omel Kevin sembari mondar-mandir di depan Arfi.

     "Itu bakal jadi masalah besar bego! Sama aja lo ninggalin jejak! Coba aja kalau lo nggak keluar di dalem, bakal beres urusan! Nggak ada bukti buat di mintain pertanggung jawaban!". Tambahnya lagi.

    Arfi terdiam, merutuki dirinya sendiri atas kebodohannya. Menodai gadis itu saja sudah tindakan bodoh, apalagi meninggalkan benihnya di dalam tubuh gadis itu?

    "Gue nggak ikut campur kalau lo kena masalah. Intinya, taruhan cuma sampai lo merkosa orang nggak di kenal, abis itu buang!".

    Arfi mengangguk lemas sembari menghela nafas panjang. Ia bangkit dari duduknya, berniat ingin pulang.

    "Mau kemana lo? Lemes amat perasaan? Di sini aja, nggak usah pulang, toh di rumah lo juga cuma ada Kakak lo doang kan".

    "Bukan masalah itu, lo tahu? Bocah itu nggak se enteng yang gue kira, dan sekarang gue mulai di buat campur aduk sama tuh bocah".

*

    Di sisi lain, Olivia tengah berdiam mematung menunggu Kak Almi masuk ke dalam ruangan. Gadis itu tak berniat memanggil Kakaknya, biar Kak Almi bangun dengan sendirinya. Sedangkan luka di tangannya, sudah mengeluarkan darah yang berceceran di selimut.

     Mengapa ia bisa seberani itu ya tadi? Padahal, saat di rumah, mengingat wajahnya saja sudah membuat dirinya merasa gila. Lantas mengapa tadi ia bisa se lugas itu menyatakan semua hal yang ada di otaknya pada lelaki bejat itu?

    Sampai sekarang, Oliv tak tahu siapa lelaki itu dan bagaimana bisa lelaki menemukan dirinya di sini.

    Kembali mengingat kejadian itu, Olivia termenung. Setiap detik kejadiannya terasa terekam jelas di kepalanya. Bagaimana mobil hitam berhenti mendadak, lalu turun dua orang lelaki yang mengangkat tubuhnya paksa dan memasukkannya kedalam mobil. Olivia ingat betul, ia di bawa ke sebuah tempat seperti markas yang di dalamnya terdapat banyak minuman keras dan beberapa peralatan musik.

     Ia juga ingat, jalan menuju tempat itu. Lelaki itu menggendongnya dan memasukannya ke sebuah ruangan dengan tempat tidur kecil beralaskan kasur empuk. Syukurnya, hanya satu orang yang menyetubuhinnya, sedangkan yang lain hanya melihatnya sembari tertawa keras.

    Tapi tetap saja, Olivia merasa meremang ketika melihat bagaimana mata para lelaki itu melihati tubuhnya yang sedang di guncang hebat oleh lelaki yang datang tadi.

    "Tubuh lo kecil, tapi menggoda ya?".

    Ucapan itu masih terngiang di telinga Oliv.

     "Sumpah ini cewek masih prawan! Gimana bisa?! HAHAHA!".

    Lalu berakhir, dirinya di buang di tepi jalan, yang tak jauh pada saat ia di bawa.

     Olivia menggeleng-gelengkan kepalanya hebat, berharap semua ingatan itu cepat hilang dari kepala dan hidupnya. Tapi rasanya susah sekali. Rasanya setiap detiknya ingatan itu berputar otomatis di kepalanya.

    Tiba tiba suara gemuruh memenuhi ruangan, Kak Almi bersama dokter dan dua suster memasuki ruangannya dengan panik. Membuat Olivia tersentak kaget di buatnya.

    "Ini Dok, Kenapa bisa lukanya kayak gini!". Tanya Almira cemas, sembari memperlihatkan bagaimana mengenaskannya luka Olivia.

    Dokter tak menjawab, beliau segera meminta suster membuka perban luka Oliv dan merekap kembali jahitan yang ada di pergelangan tangan gadis itu.

    "Jahitannya nggak lepas ya, cuma ada tekanan yang membuat pembulu darah berhenti dan akhirnya darahnya rembes keluar". Jelas Dokter setelah mengamati luka Olivia.

    "Kamu apain sih lukanya Liv?". Tanya Kak Almi cemas.

    "Aku remes sendiri, karena sakit". Jawabnya bohong.

    "Terus dengan kamu remes gitu, sakitnya bakal ilang? Makin parah iya!". Tukas Almira kesal.

   Olivia terdiam, ia merasa sudah agak membaik setelah mengutarakan segala uneg-unegnya pada lelaki tadi. Ya walau belum sepenuhnya, tapi satu tamparan tadi, sudah mengurangi satu luka di dalam batinnya.

    Mungkin, jika di beri kesempatan untuk menampar lelaki itu, Olivia akan melakukan seribu tamparan untuk membuang semua luka di hatinya.




*

OLIVIA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang