6

2.6K 254 3
                                    

Adel menatap takut kakak kelas di hadapannya ini. Seseorang yang selalu membayang-bayangi hari buruknya di sekolah. Seseorang yang sedang membalaskan dendamnya yang entah sampai kapan akan ia akhiri.

Adel juga tak pernah berniat untuk membalas karna ia sadar bahwa ia turut andil dalam menciptakan kesedihan orang di depannya ini.

Lagi pula Adel pikir ia tidak akan bertemu dengan mimpi buruknya ini di luar sekolah.

"Ah, pertemuan yang tak terduga ya."

"Y-yaa." Bahkan rasanya Adel sulit bernafas melihat seringaian yang termpampang jelas di bibir kakak kelasnya tersebut.

"Ayolah, kenapa kamu gugup seperti ini, huh? Jangan khawatir aku ngga mungkin berbuat nekat dikeramaian."

"Adel!"

Adel menoleh kearah sumber suara yang berada beberapa meter di depannya, sehingga membuat kakak kelasnya tersebut reflek membalikkan badannya mengikuti arah pandang Adel, meski perempuan itu hapal betul suara itu milik siapa.

"Wah, hai Shani, lama ngga ngobrol bareng kamu." Orang tersebut tersenyum manis sembari mengulurkan tangannya ketika orang yang memanggil Adel tadi sampai di depan mereka.

"Iya ya, seneng akhirnya kita bisa ketemu lagi, padahal satu sekolah tapi sama-sama ngga pernah papasan sama ngobrol lagi kalau dipikir-pikir. Dan aku turut berduka cita ya, Gre." Shani membalas uluran tangan itu dengan erat. Benar-benar menunjukkan bahwa ia juga dapat merasakan apa yang terjadi pada Gracia yang dipanggil Gre barusan.

Adel semakin merasakan kegundahan yang mendalam ketika melihat tatapan Gracia yang sedikit berubah di akhir ucapan Shani, entah Shani merasakan itu atau tidak, Adel tidak tau.

"Kak, kayaknya kita harus cepet-cepet pulang, di luar kelihatannya udah mendung banget, kayaknya mau turun hujan." Ucap Adel spontan karna ia merasa udara disekitarnya semakin menipis. Ia tak menyangka sehebat ini pengaruh Gracia di sekitarnya.

Shani mengangguk, seperti mengerti ketidaknyamanan yang dirasakan oleh Adel yang jelas terlihat di padangannya.

"Iya, sebentar. Gre, kami pamit ya? Soalnya cuma bawa motor tadi, takut kehujanan nanti, aku ngga mau kalau Adel sakit karna kehujanan."

Gracia hanya mengangguk mendengar perkataan Shani, ada rasa sakit dan iri yang menghantamnya.

"Tentu, kamu memang harus jaga adik kamu baik-baik." 

"Pasti kok. Kalau gitu kami duluan ya?"
Gracia mengangguk, Shani pun melangkah menjauh tak lupa melambaikan tangannya pada teman sekolahnya itu.
.
.

Di dalam perjalanan pulang Adel tidak banyak mengeluarkan suara seperti biasanya. Ia hanya memeluk Shani erat, Shani juga hanya diam saja membiarkan adiknya itu terus memeluknya meski sedikit sesak karna pelukannya itu terasa sedikit kuat.

"Kamu baik aja-aja kan?" Adel menghentikan langkahnya setelah turun dari motor milik kakak sulungnya tersebut lalu menatap kakak tertuanya itu dengan lembut.

"Aku baik-baik aja kak," tak lupa si bungsu juga melemparkan tatapan hangat serta senyumnya yang menandakan bahwa ia baik-baik saja.

"Tapi di mata Kakak, kamu keliatan ngga baik. Habis ketemu Gracia tadi kamu mendadak murung. Ada hal yang menganggumu, hm?" Shani maju selangkah dan manarik tangan Adel yang bebas dari kantung belanja mereka tadi. Digenggamnya erat.

Adel merasa begitu bersalah, namun ia juga tidak punya pilihan lain untuk terus bersembunyi.

"Ngga ada kok, eum sebenarnya cuma dikit rindu Kakak.  Apa lagi akhir-akhir ini Kakak makin sibuk sama urusan sekolah."

Shani menatap Adel dengan perasaan bersalah. Ia merutuki kegiatannya yang luar biasa padat mendekati ujian kelulusan, tidak sadar sampai mengabaikan adik-adiknya.

"Tapi ... Tenang aja, sekarang semuanya udah terobati sama pelukan tadi." Adel tersenyum lembut, mengusap lembut tangan Shani  yang masih menggenggamnya dengan ibu jarinya.

"Maaf Kakak belum-"

"Kakak udah jadi kakak yang sangat terbaik buat kami. Maaf kalau kata-kata Adel tadi buat Kak Shani merasa bersalah."

Shani berjanji bahwa setelah ujian nanti ia akan menebus semua rasa bersalahnya.


.

.



Jinan mengamati gerakan Zee yang begitu bersatu dengan musik yang mengalun. Badannya yang bergerak mengikuti hentakan musik, serta ekspresinya yang menyatu dengan gerakannnya menunjukkan bahwa ia memang terlahir sebagai penari. Ada rasa bangga dihatinya ketika Zee banyak memenangkan berbagai lomba dan penghargaan, karna ia tau adiknya itu pantas menerimanya dengan kerja kerasnya selama ini.

"Nungguin Zee selesai latihan?" Jinan mendongakkan kepalanya, lalu mengangguk setelah mengetahui siapa yang mengajaknya bicara barusan.

"Jam latihan sebenarnya sudah habis," Sambung orang tersebut.

"Aku tau kok, cuma ngga mau ganggu Zee yang lagu fokus banget." Jinan lagi-lagi mengangguk, ia sangat tau bagaimana Zee yang begitu mencintai gerakan tubuh tersebut.

"Okay deh, tapi tolong bilangin ya ke Zee kalo dia juga sekarang itu butuhnya istirahat yang lebih banyak bukan latihan. Kamu tau kan dia bakal gila-gilaan pas kompetisi dimulai? Aku tau latihan itu penting tapi juga jangan terlalu keras sama diri sendiri. Aku udah sering ingetin dia tapi dianya iya iya doang, Zee ... anak itu benar-benar keras kepala banget." Keluh Jeci yang merupakan ketua dance sekolah mereka.

"Aku baru tau loh kalo ketua klub dance sekolah kita ini ternyata sangat secerewet ini." Jinan menatap tak percaya gadis di depannya ini, sedikit heran karna Jeci di sekolahnya terkenanl selalu memasang wajah dinginnya.

"Tsk! Kalian adik kakak kadar nyebelinnya sama banget! Aiish."

"Hahaha bercanda, Jes, sorry"

"Tapi soal menyebalkan seperti adikmu itu aku ngga bercanda, Ji." Jeci ketua dance club yang seangkatan dengan Jinan bahkan mereka lumayan berteman baik itu terlihat menherucutkan bibirnya pertanda kesal.

"Yahh jangan ngambek gitu, beneran bercandaaa. Tapi ya, Jes, aku aja yang kakaknya sendiri jarang didengarin kalau udah bersangkutan sama menari." Jinan menghela nafasnya berat ia sangat paham watak Zee yang keras kepala jika meyangkut hal ini.

"Kompetisinya 3 minggu lagi kan?" Jeci mengangguk membenarkan pertanyaan Jinan.

Jinan mengagguk paham dan bangkit berdiri setelah membaca pesan dari ponselnya yang masuk dan sempat terabaikan karna mengobrol dengan Jeci.

"Eh mau kemana? Pulang? Tapi itu keliatannya Zee belum pengen udahan." Jeci menatapnya heran.

"Mau apa lagi emang Jes selain mau pulang nurutin apa yang dibilang sama ketuanya sendiri. Tenang aja aku tau gimana caranya biar  itu anak berhenti. Btw makasih ya udah ngingetin."

Jeci menganggukkan kepalanya dan tersenyum, turut senang ada Jinan yang mengawasi Zee agar tak terlalu kelelahan.

Zee yang melihat pantulan Jinan yang mendekat kearahnya segera berhenti dan menghentikan musik yang terputar.

"Ada apa, Kak? Mau pulang duluan ya? Ngga apa-apa kok,  nanti aku bisa naik taksi atau minta diantar Kak Jeci." Ujar Zee yang tengah menyeka peluh yang bersarang di wajahnya.

"Adel barusan ngirimin chat buat dibeliin makanan. Adel kelaparan, ngga ada orang di rumah, ada sih bahan makanan tapi kan dia ngga bisa masak. Jadi kamu mau tetap latihan atau ikut pulang?"

"Hadeh si Adel ada ajak kelakuannya, giliran tadi diajak makan sebelum pulang malah nolak." Zee mengerang pelan, ada nada marah serta khwatir di dalamnya.

"Yaudah ayok pulang, Kak." Tentu saja saudaranya itu lebih penting bagi Zee.

Jeci yang masih bisa mendengar semuanya hanya bisa tersenyum tipis. Ya, ia lupa cuma saudara kembarnya itu yang bisa menghentikan kebringasan Zee dalam menari.

.
.

✌️

Don't Go, Don't LeaveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang