Vote dulu yuks
.
."Liburan udah di depan mata." Sisca menatap orang di depannya yang sedang memandang lurus kaca besar tembus pandang di hadapanya.
"Kalau Kak Sisca mau pulang, pulang aja. Aku bisa kok jaga diri sendiri." Jawabnya tanpa menoleh sama sekali.
"Oh ya? Tapi pasti waktu aku pulang kesini lagi, ngga perlu heran kan nemu bangkai tubuh kamu yang udah membusuk?"
Adel sedikit tersenyum mendengar banyolan tetangganya itu, "Jangan berlebihan."
"Gimana caranya aku bisa percaya sama kata-katamu barusan?" Balas Sisca mengehela nafasnya setengah kesal.
"Cuma perlu percaya samaku, Kak." Balas Adel yang membuat Sisca menyerah untuk membujuk, lalu ia paksa Adel agar mau melihat kearahnya.
"Kamu baik-baik aja kan?" Ketika dilihatnya mata itu semakin kosong, membuat Sisca semakin yakin bahwa ia harus membawa Adel bersamanya.
Adel tersenyum miris, ia bahkan lupa bagaimana rasanya dapat bernafas secara normal setiap detiknya. "Apa aku pernah terlihat baik-baik saja?"
"Kalau kamu tau ini menyakitimu kenapa masih kamu pilih jalan ini?"
"Aku juga mau bahagia, Kak. Aku capek dapat tekanan terus-terusan, aku ngga sekuat itu buat nahan semuanya. Lalu, aku pikir ini salah satu cara yang tepat. Lagian Papa ada benarnya kan? Aku cuma pengganggu. Jadi, jangan sampai kakak-kakak aku ngorbanin diri mereka lebih jauh lagi."
Ruangan itu semakin dingin seiiring dengan atmosfir yang barusan tercipta. Sisca tidak bermksud semakin melebarkan lukan pada orang yang sudah dianggap sebagai adiknya tersebut.
Sisca merapatkan jarak mereka, ia paksa Adel untuk menatap bola matanya,
"Nyatanya, sejauh ini, kebabahagiaan apa yang udah kamu raih di sini?" Pertanyaan itu entah kenapa menimbulkan kembali rasa sakit yang coba ia padamkan.Jawabnya sudah jelas, Adel hanya mampu menggeleng, bahagianya ada di sana, sesakit apapun dulu ia di sana, gadus itu masih mampu bertahan karna sumber bahagia dan kekuatannya adalah saudari-saudarinya. Dan ia telah melepaskan juga menghancurkannya untuk mecari kebahagiannya sendiri yang ternyata semu.
"Kamu pasti merindukan merka kan?"
"Bahkan rasanya aku ingin mati karna rindunya sangat menyesekkan."
"Aku tau kamu kuat, sebentar lagi." Sisca menarik Adel dalam pelukannya.
Bertekad dalam hati untuk membantu Adel memperbaiki susunan puzle yang telah berserak itu.
.
.Udara yang hangat menyambut kedatangan mereka. Keduanya berjalan seiringan menaiki taxi yang telah dipesan.
Sisca juga berulang kali meyakinkan Adel bahwa semuaanya akan baik-baik saja.
Di luar dugaan sebenarnya ketika Adel pada akhirnya memutuskan untuk ikut pulang bersamanya setelah Adel lagi-lagi menangis hebat setelah perbincangan kecil mereka kemarin.
Karna pada malam itu Sisca memutuskan untuk menuruti kemauan Adel untuk tidak perlu khawatir ketika akan meninggalkannya nanti.
Namun, besoknya ketika ia tengah menyusun barang yang akan ia bawa pulang, Adel datang, menundukkan kepala menyatakan ia ingin ikut dengannya. Sisca tak bertanya apapun lagi, setidaknya ia tidak perlu khawatir lebih banyak.
"Kita bakal tinggal di sini?" Tanya Adel sembari mengamati ruang apartment Sisca yang tergolong mewah ini.
"Kita nginap di sini dulu, besoknya baru ke rumah. Kalau kamu capek, tidur aja dulu." Tanpa membantah Adel menurut, segera berbenah diri agar dapat tertidur dengan nyaman.