Meski pada akhirnya Zee hanya mampu menahan gejolak amarahnya. Gadis itu lebih memilih membuang nafasnya secara kasar dan mengalah, menuruti keinginan Adel agar dirinya tetap bungkam.
"Oke, tapi seenggaknya ayo ke uks, obatin luka kamu." Ujar Zee dengan pelan.
"Tunggu istirahat selesai, kamu minta aku keluar kayak gini?"
"Karna itu Adelyra! Kamu harusnya nggak boleh diam aja! Biar kamu nggak dapat perlakuan kayak gini lagi. Aku mohon, ya?" Mata Zee berkaca-kaca bahkan nafasnya pun sudah tercekat di tenggorokan, kesulitan untuk mengatur emosinya agar tidak meledak.
Untuk kedualinya Adel memejamkan matanya, hatinya sakit melihat kembarannya itu yang tidak pernah seputus asa ini, sampai gadis itu rela memohon demi dirinya yang egois.
Sayangnya pertahanan serta janji yang telah ia bangun tidak akan ia biarkan runtuh dengan permohonan saudarinya tersebut.
"Mending kamu pergi, Zee, terserah kamu aja karna aku bakal tetap sama pendirianku."
"Oke, terserah! Aku ngga peduli! Egois banget jadi manusia."
Ada amarah yang sangat Adel tangkap dari ucapan kembarannya itu, sebelum akhirnya ia mendengar langkah Zee pergi meninggalkannya sendiri. Menimbulkan kesunyian yang membuat ia lagi dan lagi harus menahan tangis.
Meski tak lama Adel kembali memejamkan matanya ketika mendengar suara langkah seseorang mendekatinya. Dengan mudah dapat ia tebak siapa orang itu.
"Kenapa kesini lagi?"
"Diam. Selagi aku masih berbaik hati." Zee perlahan ikut duduk di sebelah kembarannya itu, meletakkan perlatan P3K di sampingnya, dengan hati-hati ia meraih wajah Adel yang memperlihatkan luka kebiruan yang tak begitu jelas serta bibirnya yang terluka.
Adel mencoba menahan perih ketika Zee mengobati bibirnya yang terluka. Rasa bersalah begitu menyelimuti segenap hatinya.
"Pelan-pelan lah, Zee, tau sakit ngga sih?" Adel membuka matanya, yang langsung berhadapan dengan Zee yang sedang memasang wajah datar sembari menekan-nekan bibirnya.
Ingin rasanya Zee menjawan keluahan adiknya itu dengan kalimat kalau tau sakit kenapa ngga ngelapor, tapi tak mungkin hal itu ia lakukan atau mereka akan bertengkar lagi, "Hhhh, kamu diem aku lagi konsentrasi. Ini pertama kalinya di dalam hidupku ngobatin orang keras kepala." Jawab Zee dengan nada kesalnya yang tak bisa ia sembunyikan lagi.
"Selasai." Sentuhan salap menjadi bagian akhir pengobatan dadakan dari Zee. Gadis itu tersenyum bangga karna luka Adel sudah tidak terlalu terlihat.
"Makasih, Zee"
"Hmm. Istirahat di sini aja dulu, aku udah kasih tau Flora kalau kamu lagi sakit perut jadi ngga bisa balik kelas."
Setelah berucap seperti itu Adel tak bertanya apapun lagi, melihat Zee yang masih betah duduk di sampingnya artinya kakak kembarannya itu juga tidak akan masuk ke kelas.
.
.Shani melambaikan tangannya saat mendapati Adel yang tengah berjalan kearahnya dengan senyuman hangat.
"Kenapa nggak biarin Kakak jemput kamu ke kelas sih?" Shani menggembungkan pipinya, sedikit membuang muka pada adiknya itu, membuat Adel tak mampu menahan senyumnya melihat kakak tertuanya bertingkah seperti bocah.
"Aku ngga mau ya kak kelas Adel heboh lagi karna seorang Queen sekolah repot-repot naik ke lantai atas buat jemput adiknya."
"Del, Kakak nggak pernah ngerasa repot, apa lagi tadi pas papasan mau ke parkiran Kakak denger dari Flora kamu sakit." Wajah Shani langsung berubah drastis saat melihat wajah adiknya itu dengan jelas, melihat wajah pucat milik Adel kekhawatirannya semkin menjadi.