Hari ini Shani benar-benar menepati perkatannya dengan membawa adik-adiknya ke pantai, menghabiskan banyak waktu di sana. Shani merasakan kepuasan tersendiri melihat adik-adiknya yang begitu bergembira dari awal kedatangan mereka hingga sampai sekarang langit yang akan berganti warna, senyum empat bersaudara itu tak pernah luntur.
Tapi tentu saja kejutan terbesarnya belum dimulai. Sesekali Shani melirik jam di pegerlangan tangannya sembari mengedarkan pandangan matanya menyusuri seisi pantai. Sampai akhirnya matanya menangkap sosok yang sedari tadia ia tunggu sebagai kejutan.
Agar kejutannya tidak gagal Shani mengalihkan perhatian adik-adiknya itu dengan terus mengajak mereka berbicara.
"Lihat kebelakang kalian coba." Ucap Shani semangat setelah orang yang ditunggu berjarak beberapa langkah dari mereka.
"PAPA! MAMA!" Suara Jinan yang berteriak membuat orang tua mereka tertawa renyah dan segera merentangkan tangannya siap menerima pelukan dari anak tengah mereka itu.
Berbeda dengan Zee yang justru menunjukkan ekspresi yang tak mampu dijabarkan ketika menoleh kearah Adel. Zee dengan sigap menarik tangan kembarannya itu kedalam genggamannya, ia remas dengan lembut tangan kosong itu.
"Tidak apa-apa, semua akan baik-baik aja, ada aku yang selalu ada untukmu. Okey?" Bisik Zee pelan ketika para kakak-kakak mereka masih sibuk melepas rindu dengan orang tua mereka.
"Ayo." Zee menarik Adel agar segera bergabung menuju orang tua mereka.
"Pa, Ma. Senang melihat kalian pulang." Ujar Zee dengan senyum yang lebar bergantian memeluk orang tuanya setelah bergantian dengan Shani dan Shani.
"Kamu makin cantik aja ya sayang. Oh ya Papa dengar kamu habis menang pertandingan dance ya? Hebatnya anak Papa satu ini." Tentu ada nada kebanggan yang tercetak jelas disetiap kata yang keluar dari pria yang mereka panggil Papa itu.
"Anak Mama yang satu ini memang luar biasa. Mama sangat bangga padamu." Zee membalas pelukan hangat orang tuanya secara bergantian tanpa berniat menanggapi perkataan orang tuanya tersebut.
Lalu setelahnya ia bergabung dengan kakak-kakaknya yang kini tengah bercanda dengan meniru perkataan orang tua mereka barusan pada Zee, hal tersebut tentu membuat Zee hanya bisa menjulutrkan lidahnya dan mulai menerjang para Kakaknya yang jail tersebut.
Setelah Zee selesai, Adel gantian mendekat, ketiga insan manusia tersebut sangat menyadari banyaknya atmosfir kecanggungan yang tiba-tiba menyusup.
"Senang melihat kalian masih mau kembali." Ujar Adel pelan sehingga hanya mereka bertiga yang mampu mendengar, lalu memeluk orang tuanya secepatnya tanpa memberi mereka kesempatan untuk berbicara.
"Aku pamit ke toilet dulu." Ujar Adel cepat dan bergegas pergi dari tempat itu.
Zee yang menyadari hal itu tentu saja langsung mengejarnya, hatinya langsung mengetahui ada yang tidak beres dengan kembarannya itu.
"Aku juga." Ucap Zee cepat, Shani dan Jinan hanya mengangguk saja, lalu kembali mendekati orang tua mereka, melepaskan rasa rindu mereka kembali.
.
"Adel, tunggu." Dengan kaki panjangnya Zee dengan cepat mampu menyusul Adel yang sedikit berlari tadi.
Cahaya mata Adel yang redup ketika menatapnya membuat Zee merasakan sesak tiba-tiba, "Kamu pasti bisa, jangan takut ya." Ujar suara Zee bergetar, ikut merasakan akan apa yang dirasakan oleh kembarannya itu.
Mendengar hal itu justru membuat air mata yang coba Adel tahan langsung luruh menuruni pipinya sedikit demi sedikit, dengan sigap Zee membawa Adel ke dalam dekapannya.
Tempat mereka yang sepi serta diamnya Zee dalam mendekapnya, membuat Adel dengan leluasa mengeluarkan rasa sakitnya yang telah lama ia coba kubur, bayangan masa lalu dengan keras menabraknya ketika melihat wajah-wajah awet muda orang tuanya tersebut.
Tak lebih dari 15 menit dan dirasanya tangisan Adel telah meredam, Zee melonggarkan pelukannya, menangkup pipi adik kembarannya itu dengan kedua tangan, mengahapus sisa jejak air mata yang telah turun pada pipi mulus itu.
"Aku tau apa yang kamu rasakan meski aku ngga pernah mendapat perlakuan yang kamu alamin, Del. Kamu tau kan kita kembar? Aku bisa banget rasain apa yang kamu rasain, sakitnya kamu sakit aku juga.. kamu harus tau kamu ngga sendirian di sini. Kamu tenang aja, aku bakalam usahain biar kamu ngga perlu dekat-dekat mereka. Jadi ... kumohon kuatlah untuk beberapa hari ini ya?"
Zee berucapa dengan penuh keyakinan.
Adel terdiam sejenak mendegar perkataan Zee barusan, lalu menggeleng pelan tidak setuju dengan ucapan Zee, "Ngga perlu repot-repot, Zee. Yang ada nanti Kak Shani sama Jinan sadar kalau kamu lagi menghindar. Jangan korbankan dirimu."
"Tapi, gimana kalau-"
"Tenang aja, tadi aku cuma terkejut setelah sekian lama. Percaya sama aku."
Saat ini Adel merasa ia adalah pembohong yang ulung.
.
.Mobil yang berisikan oleh keluarga Arwen itu terlihat ramai dengan candaan dari kedua putrinya, keduanya jelas tampak bahagia sekali. Sedangakan si kembar lebih memilih diam di bangku belakang dengan Adel yang tengah bersandar pada pundak Zee, sedangkan Zee sedari tadi hanya menjadi pendengar, karna merasa tak terlibat dan juga sedamh malas terlibat dalam obrolan mereka.
"Jadi Shan, setelah lulus nanti kamu mau kan ikut Papa dan mulai terjun langsung di dunia bisnis? Nanti Papa sendiri kok bantu-bantu kamu langsung." Baik Shani serta Jinan mendadak diam mendengar perkataan pria paruh baya tersebut.
Jujur saja Shani sangat tergoda, apa lagi jika Papanya yang selama ia kagumi serta selalu menjadikannya sebagai panutan yang langsung menawarkannya. Papanya yang sedari muda sudah mampu membawa perusahaan keluarga mereka semakin menuju kepuncak kesuksesan hingga sampai saat ini.
Hal itu juga yang membuat Shani selama ini sangat giat belajar, karna gadis muda itu juga ingin seperti Papanya yang berkharisma serta cerdas, maka dari itu ia selalu berusaha untuk belajar keras agar kelak ia tak mengecewakan Papanya tersebut.
"Bagaimana?" Tanyanya kembali ketika tak kunjung mendapat jawaban dari anak sulungnya tersebut.
"Biarin Shani fokus menyelesaikan sekolah Shani dulu, Pa."
.
.