.
Suasana ruang tv yang biasanya penuh kebahagiaan kali ini terasa berbeda, tidak ada satupun dari ketiga saudarinya itu yang membuka suara, hingga membuat Adel tak nyaman di tempat duduknya. Ia gusar karena tidak menemukan kata yang tepat untuk memulai pembicaraan.
Remasan lembut yang berada di tangannya membuat Adel seketika menolehkan kepalanya, mendapati Zee yang tersenyum dengan matanya yang seolah berbicara 'semua akan baik-baik saja.'
Adel menarik nafasnya pelan, menghilangkan rasa gugupnya karna diintrogasi seperti ini.
"Demi apapun aku tidak berkelahi," Ujar Adel dengan suara pelan.
"Kak aku bisa bantu jelasin, tadi--" Zee coba membantu ketika kembarannya itu tak kunjung melanjutkan perkataannya.
"Diam, Zee. Kakak ngga nyuruh kamu buat bicara." Suara Shani yang dingin membuat Zee terpaksa menutup kembali bibirnya, ia tau kakaknya itu sedang tidak bisa dibantah.
Mendapati Zee yang didiamkan paksa membuat keberanian Adel sedikit menyeruak kembali, "Ini, lebam yang sekarang itu waktu kami lagi di taman tadi, kami berdua duduk-duduk di bawah pohon ngelihatin anak kecil yang lagi main bola, aku sama Zee juga ngga fokus sepenuhnya merhatiin mereka soalnya kami juga cerita, ngga taunya bola mereka ngehantem wajahku, akhirnya aku mimisan dan ngerembes ke bajuku." Adel kembali menundukkan kepalanya setelah bercerita kejadian sesungguhnya, ia juga sempat memegang luka lebamnya itu berada, Adel masih dapat merasakan sakitnya.
"Lihat kakak, Del." Mau tak mau Adel menatap kakak sulungnya tersebut, ia menahan nafasnya, takut.
"Adel sama sekali ngga bohong kak, kalian tau kan aku seharian ini sama dia. Demi apapun Adel bukan tipe orang yang suka berantem. Kenapa kalian ngehakimin Adel segininya? Dia lagi kesakitan dan kalian masih sempat menyidangnya? Yang benar aja! Apa ngga ada sedikitpun kekhawatiran di hati kalian ngelihat keadaan Adel yang kayak gini?" Zee benar-benar meluapkan kekesalannya. Tak paham dengan jalan pemikiran kedua kakaknya tersebut yang biasanya selalu menunjukkan kecerdesannya serta sikapnya yang tak mengambil kesimpulan dengan sembarangan.
"Lalu bagaimana dengan luka di bibirnya waktu itu? Kakak tau dia bohong, Zee. Ngga ada satupun yang lagi berantem di kelasnya. Kakak tau karna kakak sendiri yang nanya ke temen sekelasnyaa." Shani juga menaikkan suaranya, ikut tersulut amarah mendengar suara Zee yang tersirat akan emosi.
Sedangkan Jinan terdiam mendengar penjelasan Shani, ia melihat ke arah Adel yang semakin menundukkan kepalanya. Membuat Jinan percaya bahwa yang dikatakan Kakak sulungnya tersebut benar adanya, ia tak ingin percaya, namun denyutan di hatinya membuat ia langsunh memalingkan kepalanya. Merasakan hal yang sama, kecewa karna telah ditipu oleh salah satu orang tersayangnya.
"Kenapa diam? Kamu tau sesuatu, Zee? Dan memilih untuk diam?" Tanya Shani tak kalah sengit ketika Zew tak juga menjawab.
"Kalian ngga tau kan kalau selama ini di--"
"Zee, aku mohon." Suara Adel yang bergetar lagi-lagi berhasil membuat Zee bungkam. Ingin sekali gadis itu membeberkan semuanya namun ia terlanjur membuat janji untuk menutup rapat semuanya. Padahal ia sendiri juga sangat ingin tau siapa pelaku yang sebenarnya.
Sayangnya ia juga bukan tipe orang yang suka ingkar janji, ia juga tak ingin jika Adel bersungguh-sungguh dengan kata-katanya saat mengancamnya, tidak ingin kembarannya bertambah lukanya karna dia sendiri.
"Terserahlah, yang jelas Adel sama sekali ngga pernah berkelahi, kalaupun Adel waktu itu berkelahi di sekolah harusnya dia udah dipanggil kan? Tapi apa ada Adel dipanggil? Kalian terlalu sibuk sampai ngga mau memahami hal sesederhana ini." Setelahnya Zee bangkit dari duduknya yang sedari tadi tidak terasa nyaman.