16

1.6K 254 21
                                    


"Setelah kau menyelesaikan pendidikanmu yang sekarang, saya harap kau melanjutkan tingkatan selanjutkanya jauh dari sini. Kau tidak perlu khawatir masalah keuangan nantinya. Semuanya telah saya persiapkan. Jadi cepatlah selesaikan sekolahmu ini."

"Apa tidak hal lain yang bisa kau lakukan selain menyusahkan kami dengan tubuh lemahmu itu, huh?"

"Dasar anak penyakitan, apa kamu tidak sadar kalau kau hanya menjadi beban untuk kami?"

"Sialan harusnya kau sadar diri kau ini dari keluarga terpandang bisa-bisanya memiliki peringkat yang jelek, kau hanya bisa memalukan kami tidak seperti saudari-saudarimu yang lain yang selalu membanggakan."

"Kau hanya benalu dikeluarga ini"

"Dasar anak pembawa sial."

Adel meremas erat pembatas balkon kamarnya, dinginnya udara malam yang menusuk tulang-tulangnya ia abaikan, karna nyatanya dinginnya malam yang menusuk tidak ada apa-apanya dibandingkan hatinya yang tengah hancur lebur.

Ingin rasanya ia berteriak namun tak sanggup karna tenggorokannya yang ikut terasa tercekik dan pedih disaat bersamaan.

Untuk saat ini bolehkah ia menyerah?

Kata-kata yang menyakitkan itu terus berputar di kepalanya bak kaset rusak, membuat telinganya berdengung hebat, ia kalut hingga saat ini ia tak bisa mendengar apapun lagi.

Air matanya yang menetes kini mulai membasahi lantai yang ia pijak. Isak tangis pilunya mulai menggema si tengah heningnya malam.

Nyatanya kini ia mulai ikut terhasut untuk membenci dirinya sendiri.

"Adel, aku mohon..  aku mohon jangan buat aku takut." Samar-sama ia bisa mendengar suara di tengah hebatnya dengungan memenuhi gendang telinganya.

Dapat ia rasakan, selain rasa dingin yang tadi menusuk saat ini mulai berganti dengan hangat yang tersalur dari tubuhnya yang dipeluk dari belakang, menyematkan rasa nyaman menggantikan perasaan kalutnya.

Meski pasa akhirnya, anak termuda Arwenz itu mulai luruh di lantai, diikuti dengan seseorang tadi mengikuti kemauan tubuhnya.

"Adel.. aku di sini, aku di sini bersama kamu." Suara isakan selain miliknya sendiri dapat ia dengar dengan jelas sekarang.

Membuat gadis itu semakin tidak dapat menahan laju tangisnya, bahkan sesak di dadanya semakin hebat membuat ia sulit mengendalikan laju nafasnya.

Demi apapun, ia tak tahan lagi menahan rasa pedih yang sudah lama bersemayam di hatinya.

"Sa-kit, sakit banget rasanya. Aku.. aku- a--ku udah capek, aku udah ngga sanggup." Adel memukul dadanya dengan sisa tenaga yang ia miliki, berharap pukulan itu mampu melonggarkan dadanya yang terbelenggu oleh perasaan bersalah.

"Jangan gini, Del. Please jangan sakitin diri kamu.." Bisikan lirih itu menyadarkannya, meski tak bisa dipungkiri ia masih ingin memukuli dadanya yang tetap saja terasa sakit itu, namun ia tak bisa melakukannya ketika tangannya juga ikut terhalang oleh pelukan.

Ingin sekali ia mencaci maki akan tetapi ia merasa tenaganya telah habis terkuras bahkan hanya untuk sekedar memutar tubuhnya pun ia merasa sudah tak sanggup.

Pada akhirnya hanya suara isakannya yang semakin kecil yang terdengar, pelukan itu masih terasa, yang ia yakini sebagai milik Zee  dikarenakan tangannya yang besar tengah mengganggam tangannya, serta harum khas vanilla yang berasal dari tubuh kembarannya itu meski tidak memakai parfum sedikitpun. Sampai akhirnya ia merasa lelah dan menyandarkan tubuhnya di dada milik kembarannya.

.
.

Zee dengan sisa tenaganya memapah tubuh Adel ketempat tidurnya. Membaringkan tubuh saudaranya itu yang terlihat sangat kacau. Matanya yang membengkak, jejak air mata yang membekas dengan rambut yang sangat berantakan. Andai saja ia tak menengok saudaranya karna merasa gelisah tanpa sebab, ia tidak tau apakah yang akan terjadi pada Adel saat itu juga.

"Del.." Pandangan kosong itu membuat Zee ingin menangis sekarang juga, hatinya teriris perih melihat saudaranya seperti ini.

Sekuat tenaga ditahannya, jika ia menangis bagaimana bisa saudaranya kuat kembali? Siapa yang bisa menjadi penopang nanti?

"Katakan sesuatu.." Melihat air mata Adel yang kembali membasahi pipinya, membuat Zee menggigit bibirnya sendiri menahan sakit yang juga terasa di hatinya.

Zee menunduk memejamkan erat matanya berharap air matanya tak turut untuk tumpah.

Setelah dirasanya ia cukup kuat kembali, ia menatap saudaranya itu yang tidak menunjuk perubahan. Akhirnya Zee ikut membaringkan tubuhnya. Keduanya saling berhadapan, menatap satu sama lain. Meski Zee yakin bahwa Adel tak benar-benar menatap kearahnya.

Dengan tangan yang bebas, Zee menyapu air mata yang menghiasi wajah kembarannya itu. Dengan sabar ia menghapusnya karna sesekali airmata saudarinya itu masih mengalir.

"Kamu masih ngga mau ngucapin sesuatu?" Suara Zee yang bergetar serta serak akhirnya mampu menjadikan Zee sebagai fokus mata saudara kembarnya tersebut.

Sebuah gelengan kepala dari Zee membuat Zee putus asa. Ia benci ketika menjadi tak berguna seperti ini.

"Zee?"

"Eum? Kamu butuh sesuatu?"

"Boleh peluk aku?"

Tanpa berpikir panjang, Zee membawa saudarinya itu ke dalam pelukannya. Ia berharap Adel dapat merasakan kekhawatiran yang menyelimutinya dan segera terbuka kepadanya.

"Makasih banyak ya Zee."

"Anything for you. Kamu harus tau, aku sayang kamu, Del. Jadi aku mohon bertahanlah sampai kamu kebal sama rasa sakit dan terus kuat." Dapat Zee rasakan bajunya yang terasa dingin karna basah, bahu Adel yang berguncang kecil yang menandakan ia tengah menangis kembali.

Dipeluknyaa tubuh ringkih itu lebih erat, menyalurkan semua rasa kasih sayangnya.

namun tangis Adel yang semakin terasa membuat Zee takut apakah pelukannya sudah tidak mampu lagi untuk menenangkan saudarinya itu?

.
.

Tbc

Don't Go, Don't LeaveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang