24

2.2K 299 41
                                        

Tekan tombol vote dulu yuks
.
.

Gadis terbungsu Arwen itu masih tertahan di tempatnya tanpa sepatah katapun. Lidahnya begitu kelu padahal sudah banyak kata yang ingin diutarakan.

Ia menggigit keras bibirnya agar mau berbicara, setidaknya untuk menghentikan tangis kembarannya itu.

Ketahuilah jauh di dalam hatinya ia merasa lebih sakit.

"Kau ahh kamu ninggalin aku, kamu ninggalin aku sendiri, Del. Aku udah pernah bilang, bersandarlah ke aku kalau kamu memang lelah, bukan malah pergi dan menghilang!" Luruh sudah air matanya yang kini mulai beranak sungai.

Akhirnya Adel berbalik, menatap Zee dengan pandangan sendunya. Tak terasa air matanya juga ikut menuruni pipinya setelah berusaha keras menanhannya.

"Kamu ngga bakalan ngerti Zee." Adel bersusah payah mengeluarkan suaranya.

"Maka dari itu buat aku ngerti! Apa kamu ngga bisa lihat aku? Kenapa kamu ngga bisa lihat aku sebagai orang yang selama ini selalu ngedukung kamu! Lihat aku, Adelyra." Zee terus memaksa berbicara meski rasanya lehernya sudah tercekik, bahkan sesekali ia tersedak oleh tangisannya sendiri.

Adel menarik nafasnya, mencoba menghentikan tangisnya. Apa sudah saatnya ia jujur? Apa Zee akan percaya padanya? Apa saudara-saudaranya yang lain akan percaya padanya? Mengingat betapa mereka menghormati dan menyayangi Papa Mama-nya membuat Adel harus kembali berpikir dua kali.

Gadis itu takut nantinya ia akan semakin dibenci. Ia takut tak dipercayai. Ia takut dianggap berbual karna tak memiliki bukti, terlebih ia yang melarikan diri. Apa mereka bisa mempercainya begitu saja sekarang setelah semuanya telah ia rusak?

"Kamu ngga akan mengerti, Zee. Ada banyak hal yang terjadi dan aku tau aku harus memperbaikinya, tapi tidak untuk waktu secepat ini, Zee. Lagi pula aku hanya bisa menyusahkan nantinya kalau harus terus bersama kalian."

"Terima kasih kamu masih berbaik hati untuk tidak membenciku sepenuhnya. Tolong jangan beritahukan pertemuan tidak sengaja kita ini, aku takut justru semakin dijauhkan nantinya. " Tanpa menunggu jawaban Zee lagi, Adel melangkahkan kakinya dengan getir keluar dari ruangan sepi itu.

Sesak sekali rasanya ketika kau bertemu dengan orang yang kau rindukan namun justru tidak bisa melakukan apa-apa bahkan sekedar untuk menyentuhnya.

Adel tidak mengerti dengan dirinya sendiri, harusnya ini adalah sebuah kesempatan untuknya, tapi sesuatu di dalam dirinya menolak dengan keras, ketakutan dengan perbuatannya yang memang sudah merusakkan semuanya.

.
.

Keduanya saling memandang dengan kerinduan yang memenuhi mata masing-masing. Belum ada yang memulai percakapan sejak pertemuan mereka setelah sekian lama.

Sisca menelan salivanya untuk membasahi kerongkongannya yang mendadak kering, tak lupa membasahi bibirnya yang juga merasakan hal yang sama.

"Long time no see," Sisca berkata pelan, karna orang di hadapannya ini seakan mengintimidasinya dengan tatapan tajamnya.

"Kamu brengsek, Sisca." Ucapan dari sahabatnya itu cukup mengejutkannya, tak menyangka ucapan pertama setelah bertatap muka yang akan ia terima seperti ini.

"Aku tau, maka dari itu aku mau minta maaf." Sisca sama sekali tak tersinggung meski terkejut tadinya karna ia juga mengakui kalau ia salah.

Meninggalkan sahabatnya tanpa sepatah katapun, hilang tanpa jejak, beberapa hari sebelum hari paling buruk menimpa sahabatya itu.

"Kemana aja selama ini?"

"Aku ikuti Mama Papa yang pindah mendadak, jadi aku benar-benar ngga sempat kasih tau kamu, ngga lama aku dapat kabar buruk mengenai adik kamu, demi apapun aku mau banget ada di dekat kamu. Tapi aku tau itu ngga bisa aku lakuin, bahkan untuk sekedar menghubungimu aku takut kamu nolak karna yang ada dipikiranku kamu udah benci aku. Sebut aja aku bodoh karna baru punya keberanian sekarang. Apa aku terlambat mendapatkan maaf darimu?"

Don't Go, Don't LeaveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang