Tekan tombol vote dulu yuks
Cetak miring berarti flashback
.
.Tidak ada yang namanya baik-baik saja dalam sebuah perpisahan. Seindah apapun perpisahan itu dikemas tetap saja meninggalkan bekas luka, lalu bagaimana dengan perpisahan tanpa kata-kata?
Tentu saja lukanya tidak hanya sebatas luka biasa, lukanya lebih dalam, menganga lebar, bahkan mungkin akan bernanah nantinya.
Jiwa seakan direnggut paksa dari raga. Hati menangis meraung bingung harus mengutuk siapa. Sedang air mata tak cukup mampu menutupi duka.
Salahkah ia jika mulai membecinya?
Karna hanya tersisa rasa benci yang menjadi penawar luka.
Ruangan itu gelap sepeninggal pemiliknya, ketenangan yang biasa tercipta kini terasa hampa, beginikah rasanya keheningan yang dapat memekakan telinga?
Bau khas dari sang pemilik yang biasa menenangkan kini terasa mencekik pernafasan.
Ia berteriak pada tempat yang pernah menjadi saksi bisu betapa ia sangat peduli, "Berteriak sampai langit mendengarpun tak akan mengubah apa-apa." Suara itu menghentikannya raungannya, namun tidak dengan air mata yang terus menjatuhi pipinya.
"Demi apapun, aku sungguh membencinya." Suara yang sudah serak itu terus memaksa untuk didengarkan.
"Jika itu yang dapat menutupi lukamu, maka lakukanlah." Suara yang menanggapi ikut bergetar, tak lagi sudi menangis karna air matanya sudah terkuras habis.
.
."Apa kalian tengah bersama?" Suara di sebrang telpon itu terdengar tidak tegas seperti biasanya
"Iya, Pa. Kami lagi nunggu Adel pulang dari kegiatannya." Balas Shani yang bergerak gelisah di tempatnya, dilanda kekhawatiran pasalnya nomor adiknya itu bahkan juga tak dapat dihubungi.
"Ada yang sesuatu ingin Papa bicarakan pada kalian." Shani terdiam, begitu juga dengan saudara-saudaranya yang tak dapat menyembunyikan wajah tegang mereka.
Tarikan nafas yang berat di sebrang sana membuat mereka semakin was-was, perasaan tidak mengenakkan menguasai mereka saat itu juga.
"Adik kalian, Adel ... Tidak akan tinggal bersama kalian lagi--" Ketiganya terdiam, membiarkan seseorang di sebrang sana menceritakan alasan kepergian saudara mereka itu, tak ada yang benar-benar mendengarkan karna mereka tengah sibuk dengan pemikiran mereka masing, meredam rasa sakit, kecewa, amarah yang dengan cepat menyelinap masuk.
"SIALAN KEPARAT APA SEBENARNYA MAUMU ADEL BRENGSEK!" Zee tak dapat lagi memendam perasaan kecewanya begitu telponnya tertutup.
Tangisnya pecah, meraung seperti anak kecil yang telah kehilangan mainan kesayangannya yang sudah dijaga lama.
Dadanya terasa ditindih oleh beribu ton beban berat, dikhianati tanpa alasan, apa salahnya? Kenapa mereka diperlakukan layaknya mereka adalah orang asing yang hanya sebatas mampir di hidupnya.
"Dia mendapat tawaran dan memutuskan untuk pindah guna mengasah kemampuannya, dia tidak berani memberi tahu kalian takut jika kalian menentangnya padahal dia sangat ingin untuk mengambil tawaran itu jadi dia memilih jalan ini."
"Pergi dalam diam."
.
.Ucapan itu terngiang kembali di kepala Shani, benarkah itu yang diinginkan adiknya yang pendiam itu?
Menghancurkan janji mereka yang berkata bahwa selamanya mereka akan terus bersama di tempat ini sampai pada waktunya.
Secara sepihak merusak rencana mereka tepat di hari yang seharusnya menjadi hari bahagia mereka.