Jinan tak mengeluarkan sepatah katapun setelah kesadaran Adel kembali. Begitu juga halnya dengan Adel yang masih membisu bahwa Jinan menyadari ada luka di bibirnya.
"Aku ..." Pada akhirnya Adel membuka suara karena tidak tahan dengan tatapan Jinan yang mengintimidasinya.
"Apa Adelyra?" Suara Jinan yang biasanya lembut entah kemana perginya, membuat ia kembali menelan kata-kata yang sudah sempat tersusun tadi.
Adwl semakin menundukkan kepalanya, takut bersitatap dengan kakak keduanya itu.
Sejujurnya ia kembali lupa menemukan alasan yang tepat akan luka dibibirnya ini. Setelah kembali berpikir cukup keras, denyutan di kepalanya yang tadi sempat tak ia rasakan, kini kembali menyerangnya.
"Aakkh.. sakit kak." Rintihnya berbisik, satu tangannya memegang kepalanya di mana denyutan itu berada.
Jinan panik, juga mengumpat kepada dirinya sendiri, kenapa ia malah berpikiran yang tidak-tidak tentang adiknya ini dan mengabaikan fakta bahwa Adel ke ruang kesehatan karna pusing dan tidak enak bada, bukan karna luka di bibirnya, yang berhasil membuat ia berpikiran buruk jika adiknya ini tengah berkelahi dengan seseorang.
"Mana yang sakit? Kakak panggil Dokter yang bertugas dulu, tahan ya?" Mendapati tangannya yang ditahan oleh Adel, Jinan kembali duduk menuruti perintah adiknya itu ketika menepuk kasur di sebelahnya.
"Iya iya, sekarang kamu baring dulu." Ucap Jinan, ia ingin adiknya itu kembali beristirahat. Mengurungkan niatnya untuk memanggil dokter yang bertugas.
"Kakak juga ya?" Pinta Adel penuh harap.
Meski sedikit menunggu lama akhirnya ia melihat Jinan mengganggukan kepala, ikut berbaring di sampingnya.
Jinan membaringkan tubuhnya ke arah samping, menjadikan sebelah tangannya sebagai tumpuan kepala agar, sedangkan sebelah tangannya ia gunakan untuk memijit kepala adiknya itu.
"Masih sakit?" Tanya Jinan setelah cukup lama mereka dilanda keheningan diposisi tadi dan ia hanya mendapati Adel yang menggelengkan kepalanya dengan mata yang terpejam.
"Tidur lagi aja." Sambung Jinan yang sesekali mengelus kepala Chaeyoung.
Bel masuk sudah sedari tadi berdering, namun Jinan mengabaikannya tak perduli pada jam pelajarannya selanjutnya lagi. Ruang kesehatan yang sepi dengan suasana yang tenang membuat ia juga enggan untuk beranjak.
"Udah, udah ngga bisa tidur lagi." Balas Adel sembari membuka matanya setelah menikmati pijatan Jinan, matanya langsung memandang lurus langi-langit ruang kesehatan yang putih bersih.
Jinan hanya menganggung menanggapi perkataan adiknya barusan.
"Ini udah diobatin belum?" Tanya Jinan yang kembali memegang luka di bibir Adel .
Adel menggeleng tak ada ringisan yang keluar seperti pertama kali tadi, tapi Jinan tau adiknya itu menahannya karna ia bisa melihat kerutan di kening adiknya itu.
Tak suka dibohongi akhirnya Jinan sedikit menambah tekanan diluka itu.
"Ugh."
"Kalau sakit bilang aja sakit." Suara datar Jinan membuat Adel kembali tertegun, merasa bersalah.
"Kak Ji, demi apapun ini bukan karna aku beranten, tadi pagi di kelas ada yang ribut dan mereka hampir adu pukul, nah aku bantu buat nengahin mereka tapi jadinya pukulan nyasar ke aku. Bener deh, aku ngga berantem kayak yang lagi kakak pikirkan." Jinan terenyuh mendengar penuturan adiknya, ia tau adiknya itu tak akan berbohong terlihat dari matanya yang berkaca-kaca ketika menjelaskan, Jinan sangat menyesal telah berprasangka buruk.
"Maaf, seharusnya kak-"
"Ngga apa-apa, wajar kok, Adel ngerti." Potong Adel dengan cepat sembari tersenyum, menenangkan kakaknya itu meski hanya sebentar karna sedetik berikutnya ia meringis menahan perih di bibirnya.
"Tunggu bentar, kakak ambilin obat dulu." Tanpa menerima penolakan lagi Jinan segera bangkit, sedangkan Adel hanya bisa menghela nafas pasrah serta lega karna ia berhasil lolos dari kecurigaan Jinan.
.
.Zee dan Shani berebut masuk ketika memasuki kamar Adel, yang dengan cepat ditatap tajam oleh Jinan. Membuat Zee maupun Shani langsung menghentikan keributan mereka.
Jinan melangkah mendekati mereka dan mengajak mereka keluar karna Adel belum lama tertidur setelah meminum obat.
"Ayo cepat dikit." Ucap Jinan dengan suara pelan diambang pintu, yang langsung disusul oleh kakak serta adiknya itu.
Shani, Jinan dan Zee kini duduk di ruang keluarga mereka, hari ini orang tua mereka sedang pergi lagi. Jinan bersyukur akan hal itu sekarang.
"Jadi Adel kenapa? sakitnya parah?" Jujur saja Shani tak bisa menyembunyikan kekhawatirannya. Di sampingnya Zee hanya diam, sibuk dengan pemikirannya sekaligus masih kesal karna acara tadi sungguh lama sehingga ketika ia sampai ke ruang kesehatan ternyata Jinan dan Adel sudah pulang terlebih dahulu dari jam jadwal sekolah.
"Dan Adel minta kita buat ngga ngasih tau Papa dan Mama, dia ngga ngga mau mereka khawatir."
Shani menggeram kesal setelah mendengar cerita Jinan, meski alasan utama Adel sakit bukan karna pukulan salah sasaran, tetap saja kalau tak ada adegan berkelahi itu bibir adiknya tidak akan terluka dan menjadi tidak leluasa membuka mulut serta makan.
"Baiklah, kakak juga ngga ada niat ngasih tau orang tua kita. Tapi awas aja aku bakal cari orang yang ngga sengaja mukul Adel." Ia saja tak pernah memukul adiknya bagaimana bisa orang lain melakukannya sekalipun itu tidak sengaja.
"Ngg.. aku aja kak yang nyari tau orang itu, lagian kan aku sering ke kelas Adel jadi pasti gampang nyarinya." Ujar Zee dengan cepat, ia tidak ingin cerita bohongan kembarannya itu terbongkar entah untuk alasan apa. Zee sangat tau alasan kenapa bibir Adel terluka tanpa ia harus bertanya padanya.
Meski sampai sekarang ia tidak mengerti kenapa Adel menutupi semua ini.
Zee merasa buruk sekarang ketika kembarannya itu bahkan tak mempercayainya untuk berbagi keluh kesah apa lagi ini menyangkut keselamatannya saudaranya itu. Tapi bagaimanapun ia sudah terlanjur berjanji pada dirinya bahwa ia akan terus melindungi saudari kembarnya itu.