10

1.9K 203 2
                                    

Pagi hari ini, Adel duduk sendiri di mejanya. Flora, teman sebangkunya sedang berhalangan masuk hari ini. Bukannya ia tak memiliki teman yang lain hanya saja dari sekian yang ada hanya Flora yang membuat ia nyaman, dan apabila temannya itu tidak hadir maka seperti sekarang, ia sedikit merasa kesepian dan membuat pikirannya kembali bercabang kemana-manan.

"Adel, ngga mau nambah lagi, nak? Makan yang banyak kamu keliatan kurus sekarang"

Kalimat yang lumayan panjang itu terus mengusiknya.

Gadis berambut pendek itu menghela nafas berat menyadari sesuatu yang berbeda saat sarapan tadi. Jujur saja hati kecilnya sedikit menghangat mendapati perhatian kecil itu namun entah kenapa d isisi lain hati kecilnya berbisik bahwa itu hanya sebuah keterpaksaan agar mereka tetap terlihat harmonis di depan semuanya.

Sialnya aku menyukai kebohongan perhatian kecil mereka.

Pada akhirnya Adel menyerah, kepalanya mendadak berdenyut hebat. Ia merutuki dirinya sendiri yang suka memikirkan sesuatu secara berlebihin sehingga membuat kepalanya sakit.

Gadis termuda Arwen itu merasa saat ini ia butuh mengistirahatkan diri barang sejenak untuk tidur sampai jam istirahat nanti, maka dari itu ia segera meminta ijin untuk ke ruang kesehatan pada guru mengajar yang ia abaikan dari awal dan dengan mudah disetujui.

Adel berjalan pelan sendiri menyusuri koridor sekolah yang terlihat sepi dikarekan aktivitas belajar mengajar telah dimulai sejak tadi.

Meski teman sekelasnya banyak yang menawari untuk mengantarkannya, Adel menolak, menurutnya ia masih cukup kuat dan sedang ingin sendiri.

"Oh-- hai Adelyra." Adel menghentikan jalannya yang sedari tadi menunduk, jantungnya berpacu dengan kuat, sangat mengenali suara yang baru saja menyapa.

"Kalau ada yang menyapa itu dibalas, kamu nggak tau tatakrama ya? Atau orang tuamu tidak mengajarimu? Oh, aku lupa kamu kan anak yang tidak dianggap." Kata-kata menyakitkan itu dengan mulus menancap di hatinya, ia tidak marah karna apa yang diucapkan oleh orang yang berbicara dengannya itu benar adanya.

"Dengar-dengar orang tuamu sudah pulang, gimana rasanya ketemu dan seatap lagi sama dia?" Adel memilih untuk diam dan menunduk, karena baginya sama saja menjawab atau tidak, ia akan tetap salah. Jadi lebih baik diam sekaligus menghemat tenaga karna denyutan di kepalanya semakin hebat.

"Dengar.." Mau tak mau akhirnya Adel menatap Gracia sang lawan bicara, karna dagunya yang dipegang paksa untuk melihat kakak kelasnya tersebut.

"Aku masih mempertimbangkan kesempatan hidup orang yang kamu lindungi sekarang. Nikmatilah selagi kalian masih bisa bersama." Adel tetap bergeming, dengan menatap kakak kelasnya itu dengan pandangan sayunya.

"Wah kamu kelihatan kurang sehat ya? Sayang banget padahal aku berniat mau ngasih kamu sedikit hadiah. Tapi yasudahlah aku ngga mau repot kalau kamu sampai pingsan di dekatku."

Ingin rasanya ia berteriak setelah kepergian kakak kelasnya itu, namun tidak mungkin, kewarasannya masih berfungsi dengan baik.

Adel membenci dirinya yang tak mampu berbuat apapapun. Lagi pula ia bisa apa? Selain menuruti keinginan kakak kelasnya itu.

Meski begitu di sisi lain ia sedikit bersyukur setidaknya Gracia maupun pesuruhannya tidak mengacak-acak badan maupun wajahnya lagi setelah sekian lama.

Kaki jenjangnya kembali menapaki koridor menuju UKS, namun kembali terhambat ketika ia mendapati orang pesuruhan Gracia, terlambat baginya untuk berbalik karna mereka telah menyadari kehadirannnya.

Adel salah berpikir kalau Gracia telah berbaik hati, ternyata gadis itu hanya mempermainkannya.

"Bersyukur lah, karna kami hanya boleh mencetak sedikit luka."

Setelah mendapat hadiah yang dimaksud oleh Gracia tadi tadi, Adel masih bersikukuh melangkahkan kakinya ke UKS, tak peduli pada rasa panas yang menjalar di pipinya, ditambah  denyutan di kepalanya yang semakin menjadi-jadi.

Ruang kesehatan sudah terbuka namun gadis itu tidak mendapati satu petugas pun di sana, tak memperdulikan hal itu, segera ia membawa tubuhnya berbaring di bangsal yang tersedia, sebelum ia memejamkan matanya, Adel menyempatkan diri mengirim pesan pada Zee agar tidak menjemputnya di kelas karna ia sedang beristirahat di UKS dikarnakan tidak enak badan dan meminta kembarannya itu untuk tidak perlu khawatir karna ia hanya butuh istrihata sejenak.

.
.

Bel istirahat berbunyi, Zee mengambil ponselnya yang sedari tadi bermode silent, membaca sekilas pesan yang muncul memenuhi notifikasi ponselnya dan seketika fokus pada pesan Adel.

Dengan sigap Zee mengambil langkah lebar untuk keluar dari kelas, namun harus terhenti ketika Jessi kakak kelas serta ketua club dance sekolah memnghalanginya di depan kelas.

"Kenapa kak, Jes? Aku lagi buru-buru ini." Tanya Zee diambang batas kesabarannya, ia ingin segera melihat Adel, tentu saja Zee merasa sangat khawatir.

"Kepala Sekolah manggil anak-anak yang lomba kemarin, mau ngucapin selamat secara khusus, kamu juga bakal ada sesi wawancara. Jadi mau ngga mau kamu harus kesana sekarang."

"Sekarang banget apa? Nanti aja bisa ngga, Kak? Aduh.. Adel lagi butuh aku, dia lagi sakit."

"Ngga bisa Zee, Kepala sekolah maunya sekarang. Kamu wajib kesana karna pemenang dance grup sama solonya."

"Tapi kak-"

"Kenapa ngga nyuruh Jinan sama kak Shani aja? Mereka pasti gercep nyamperin Adel." Usul Jessi cepat.

Zee menghela nafas berat, gadis berlesung pipi itu akhirnya menuruti usulan ketua dancenya tersebut, "Yaudah tunggu bentar ya Kak," Zee sedkit menjauh dari Jessi dan segera menghubungi Jinan memberitahukan perihal keadaan Adel.

Zee mengangguk, menandakan ia sudah selesai berbicara dengan Jinan,  agar segera cepat pergi dan berharap pula agar sesi ini cepat selesai sehingga ia bisa segera menjenguk Adel.

.
.

Mendapati kabar dari Zee barusan, Jinan segera pergi keruang kesehatan, langkahnya buru-buru karna dilanda kekhawatiran pada salah satu adik bungsunya itu.

Setelah sampai disana Jinan segera mendekat ke ranjang yang diisi adiknya itu, ada sedikit kelagaan ketika petugas uks mengatakan bahwa Adel hanya mengalami rasa pusing biasa.

Meski begitu tetap saja rasa khawatir itu tidak sirna, Jinan terus mempehatikan wajah adiknya yang pucat dengan matanya yang masih terpejam, sampai pada ujung bibir adiknya itu menyita fokusnya.

Dengan perlahan Jinan menyentuhnya dengan hati-hati memastikan itu bukan sebuah luka, sayangnya harapan itu terpatahkan ketika mendengar rintihan dari Adel tepat ketika ia menyentuhnya.

"Akkhh." Adel meringis dengan matanya yang masih terpejam meski tak lama ia membuka matanya karna sedikit terusik.

Betapa terkejutnya gadis bungsu Arwen tersebut ketika mendapati Jinan dengan raut mukanya yang sulit diartikan.

Adel terpaku dalam posisi berbaringnya, terkejut, karna tak mendapati Zee yang diharapkannya berada disampingnya sekarang.

.
.

✌️

Don't Go, Don't LeaveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang