Happy reading
.
.
Sisca berdiri tegak mengahadap kegelapan yang tak dapat terjangkau oleh matanya bersama dengan seseorang yang di sampingnya yang tak menunjukkan emosinya sama sekali."Kenapa? Kenapa harus Adel?"
"Kenapa harus Adel, Gracia? Dia udah terlalu menderita, kenapa harus kamu tambah penderitannya?" Tak bisa Sisca tahan suaranya yang bergetar hebat.
"Aku sama sekali ngga niat ngelukain dia, lagi pula aku sudah bosan berurusan dengannya, aku hanya menginginkan Shani yang mati. Siapa suruh dia menyelamatkan Shani?" Suara yang datar itu membuat Sisca dengan cepat menoleh pada Gracia dengan padangan tak mengerti.
"Oh.. jadi Adel tidak pernah bercerita padamu bagaimana masa sekolahnya yang sering aku usik?"
"Are you fucking kidding me?" Tatapan tidak percaya yang didominasi amarah membuat Sisca memaksa Gracia agar berdiri dengan memegang kerah bajunya.
Gracia masih sama sekali tak takut melihat Sisca yang siap meledak, gadis itu balas menatap Sisca dengan marah, "Dia juga patut menerimanya! Karna dia adikku mati! Karna Papanya yang juga bajingan itu keluarga menjadi berantakan, Sisca. KAMU TIDAK MENGERTI BAGAIMANA RASANYA!" Bentak Gracia tak terima disalahkan begitu saja.
"KAU GILA? INI BUKAN SALAH ADEL ATAU PUN SHANI GRE!! ADEL JUGA PASTI NGGA BIARIN ADIK KAMU JADI KORBAN PAPANYA KALAU DIA TAU PAPANYA BISA SENEKAT ITU. DI MANA OTAK DAN HATI NURANI KAMU GRACIA!!" Tak bisa dihandari, Sisca pun ikut berteriak marah.
Saat bertemu dengan Adel malam itu, Sisca juga membantu Adel mengganti pakaiannya dan memang melihat beberapa luka memar di bagian tubuh Adel, Sisca pernah menanyakannya yang dijawab Adel singkat 'hukuman sekolah' dan setelah Adel menceritakan kehidupannya yang mendapat tekanan dari orang tuanya, ia pikir itu dari orang tuanya yang gila. Nyatanya ia salah, ia tak habis pikir dengan sahabatnya ini.
"Dia sendiri yang meminta, ia tau bahwa incaranku adalah Shani karna merupakan anak kesayangan Arwen bajingan itu, namun ia dengan senang hati menawarkan dirinya menjadi pengganti Shani karna ia tidak mau kakaknya kecewa dengan sifat panutannya itu." Gracia membalas perkataan Sisca dengan datar,
Gracia memegang tangan Sisca yang masih mencengkram bajunya dengan erat, lalu ia lepaskan dengan mudah karna tampaknya Sisca mulai diam.
"Aku tau kamu mengenal mobilku makanya kamupas aku panggil tanpa banyak tanya langsung kesini tanpa perlu berpikir dua kali. Sis, demi apapun aku sama tidak bermaksud mencelakai Adel kali ini, aku cuma mau Arwen merasakan karma yang harusnya ia dapat, ia harus merasakan apa yang keluargaku rasakan tentang bagaimana sakitnya rasa kehilangan. Ibuku suka menangis sendiri menatap foto adikku, rasanya sangat sakit. Papaku yang hangat berubah menajdi dingin bahkan ia berkerja tak kenal waktu, karna kerja gila-gilaan Papap melupakan keluarganya. Sedangkan Aku? Aku hanya anak kesepian yang telah kehilangan segalanya."
Gracia terdiam sesaat, membuka kembali memori lamanya sama dengan membuka kembali luka yang sebenarnya masih menganga miliknya itu.
"Kamu tau kan Arwen punya kekuasaan? Ngga ada yang bisa kulakuin buat nuntut dia. Saat itulah kebencian dan balas dendam memenuhi pemikiranku. Adel datang disaat yang tepat, aku tak menyentuh Shani sama sekali sampai akhirnya aku mendapat kesempatan itu tadinya." Keduanya kembali ditemani keheningan yang dibaluti oleh udara dingin yang bergerak sedang, Sisca diam tak tau harus berbuat apa.
"Tapi sekarang aku sudah memilik bukti yang kuat, lucunya Arwen menelponku, mengais maaf, ia mengakui kesalahannya dulu dan memohon agar tak mencelakai anaknya dan akan melakukan apa saja agar aku tak menyelakai Shani. Aku merekamnya, kuharap itu menjadi bukti yang kuat." Gracia menyerahkan handphone miliknya pada Sisca.