22

1.7K 256 22
                                    

Vote dulu yuks

Typo bertebaran
.
.

Sisca memandang sendu pada tetangga apartmennya, ada rasa sakit yang juga ikut ia rasakan ketika mendengar orang yang mulai disayanginya ini menangis.

Ia benci melihat buliran air mata itu namun juga tak cukup memiliki kuasa untuk mencegahnya agar tak menganak sungai.

Masih teringat dengan jelas olehnya malam itu.

Sekeluarnya dari lift untuk menuju kamarnya, ia justru melihat seorang gadis tengah menangis tersedu di sebrang pintu kamarnya. Lama ia terdiam memerhatikan gadis itu, semakin lama tangisan itu semakin menusuk hatinya, ia lihat gadis itu mulai memukul-mukul dadanya sendiri dan sesekali terlihat mencari oksigen disekitarnya.

Tersadar ia tak bisa tinggal diam, ia segera berlari kecil menghampiri gadis itu. Ikut mendudukkan dirinya lalu memeluknya, coba memberi ketenangan. Ia tau tangis jenis ini, tangis tanpa suara, tangis yang merupakan puncak dari segala kesakitan yang entah kenapa ia juga seketika dapat merasakan kesakitan itu. Bahkan ia sendiri tak mengerti kenapa ia harus peduli pada gadis asing ini.

Sisca terus memeluknya sampai gadis itu merasa tenang dan meronta kecil agar pelukannya dilepas. Sisca yang menyadari itu segera melepas pelukannya, lalu ia menatap gadis itu dengan pandangan lekatnya.

"Terima kasih atas pelukannya." Suaranya yang kecil nan serak membuat Sisca menajamkan pendengarannya.

"Apa? Kamu membutuhkan sesuatu?" Tanya Sisca memastikan, yang dibalas gelengan kepala oleh orang di depannya itu.

Gadis itu coba membenarkan suaranya dengan berdehem pelan, lalu mengulang apa yang telah ia katakan tadi, "Aku bilang, terima kasih pelukannya." Dengan senyuman lemah yang gadis itu berikan di akhir perkataanya.

"Aku bisa memberikannya padamu kapan saja jika kamu membutuhkannya."

Tawarannya itu tak mendapati tanggapan lagi, karna gadis di depannya itu mencoba untuk berdiri yang terlihat sangat dipaksakan untuk mampu berdiri kokoh.

Sisca melakukan hal yang sama, ikut berdiri namun dengan cepat ia menangkap tubuh gadis tadi ketika akan jatuh.

"Kemarikan kartu kamarmu." Dengan cepat ia menerima sebuah benda persegi kecil ditangannya, Sisca sedikit heran kenapa gadis itu dengan mudahnya memberikan benda seperti ini, walau dengan cepat ia tepis ketika mendengar lenguhan lemah dari sampingnya itu.

Buru-buru ia menempelkannya dan bergegas masuk, menopang tubuh yang yang benar-benar telah kehilangan tenaganya ini.

"Warna hitam." Meski terdengar seperti bisikan, Sisca masih sangat mampu mengartikan maksudnya, maka dengan langkah yang sedikit cepat ia membuka pintu berwarna hitam yang tertutup rapat.

Setelah masuk ia langsung membaringkannya, dengan jelas sekarang ia lihat bahwa mata, hidung serta pipi gadis itu memerah. Ia dengan mudah menebak jika gadis itu sakit.

Maka malam itu Sisca mengurus tetangga apartmennya yang tidak ia kenal. Tidak ada percakapan serius setelahnya karna gadis itu sendiri langsung terlelap dan Sisca memutuskan untuk menginap malam itu takut terjadi sesuatu yang lebih parah.

Tidak butuh waktu yang lama bagi gadis berambut pirang itu sendiri untuk mengetahui keseluruhan cerita hidup gadis yang bernama Adelyra Arwen tersebut, karna dengan lancarnya Adel bercerita tanpa hambatan, serta alasan kenapa waktu itu percaya saja Sisca, Adel sudah siap mati bahkan akan sangat berterimakasih jikalau Sisca adalah orang jahat yang berpura-pura menolongnya.

Don't Go, Don't LeaveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang