nineteen

7.6K 602 7
                                    

"Tidak buruk." Michael menggandeng tangan Irene setelah keluar dari teater tempat mereka menghabiskan satu setengah jam untuk menonton film. "Walau ada beberapa adegan yang membuatku bingung tadi."

"Film itu merupakan sekuel, kau tidak melihat film pertamanya." jawab Irene enteng. "Tetapi, sebenarnya masih banyak pertanyaan di film pertama namun tidak terjawab di film kedua ini. Malah pertanyaan di otakku bertambah, apalagi teori yang belum dipecahkan."

"Mungkin ada film ketiga tahun depan?"

"Pasti. Dulu saat aku menginjak sekolah menengah atas, film ini sangat populer. Sampai aku dan teman-temanku sekelas berangkat bersama untuk menonton film ini."

"Ceritamu semasa sekolah terdengar menyenangkan."

Irene menggeleng. "Aku hanya gadis kutu buku biasa yang tidak terkenal."

"Koreksi, gadis kutu buku yang banyak disukai lelaki."

"Tidak Tuan. Aku hanya pernah berpacaran sekali dengan ketua OSIS dan hubungan itu harus berakhir lantaran dia tidak tahan dengan sifatku."

"Memangnya sifatmu kenapa?"

"Katanya aku tidak peka, tidak asik dan kurang menantang."

"Tidak juga."

Irene mengangkat bahunya acuh. "Aku juga tidak perduli." mereka berjalan menuju lift, mengingat sesuatu. Gadis itu berujar. "Beberapa keperluan rumah ada yang sudah habis. Stock di gudang pun juga sudah habis. Kita pergi berbelanja dulu sebentar."

Hanya ada mereka berdua di lift ini. Irene menatap pantulan dirinya di pintu lift. Lalu matanya beralih pada Michael yang sibuk membalas pesan mitra kerjanya dengan satu tangan. "Kalau kau ingin membalas pesan klien, aku bisa melepaskan genggaman tangan kita."

"Tak perlu." jawab Michael sambil tersenyum, ia mencium pelipis gadisnya sebelum kembali fokus pada ponsel.

Ting!

Pintu lift terbuka, bertepatan dengan Michael selesai membalas pesan. "Besok hari libur, tidak bisa ya sehari saja kau terbebas dari ponsel? Di hari libur pun bekerja."

"Aku tidak tahu kapan urusan penting akan menghampiri, Sweety. Jadi aku tak bisa mematikan ponsel walau hanya sehari."

"Terserah apa katamu." sebenarnya Irene merasa sedikit tidak nyaman saat Michael terus memainkan ponselnya, ia hanya mematikan ponsel saat menonton film di bioskop.

Mereka menghabiskan waktu tiga jam untuk membeli keperluan kamar Irene yang telah habis. "Apa para pelayan tidak mengganti keperluanmu yang sudah habis?"

"Ada beberapa barang yang mereka tidak tahu, aku harus membelinya sendiri Tuan."

"Sweety, bisakah kau berhenti memanggilku Tuan? Aku ingin kau memanggilku dengan nama saja."

"Aku sudah terbiasa."

"Gantilah kebiasaanmu yang satu itu." Michael mendorong troli di tangannya, menunggu Irene selesai memilih segala keperluan gadis itu.

Irene mengambil beberapa bumbu, dia ingin membuat sebuah menu yang dia temukan di perpustakaan kemarin. Pria disampingnya pun tidak banyak bicara lagi, hanya sesekali bertanya tentang barang yang diambil oleh Irene.

Usai Michael membayar semua belanjaan di troli mereka, mereka pergi menuju danau buatan tercantik menurut laki-laki itu di New York. Kemarin, Michael berjanji akan mengajak Irene berjalan-jalan di sana, entah kebetulan atau apa. Di tempat itu juga sedang mengadakan sebuah festival makanan Korea.

"Ramai sekali." ucap Irene kagum. Irene menyukai keramaian ini, keramaian penuh kegembiraan. "Aku ingin toppoki Tuan."

"Belilah yang ingin kau beli Sweety." Michael mengeluarkan beberapa dolar dari dompetnya, menyerahkan lembaran uang itu kepada gadisnya.

Dalam keramaian laki-laki itu berbicara pelan. "Bagaimana kau ingin memiliki pasangan yang memiliki ekonomi berkecukupan jika kesenanganmu ini saja cukup berat untuk ditanggung laki-laki sederhana Sweety."

"Kau bilang apa?" Irene sedikit berjinjit, dia tidak mendengarkan ucapan Michael. "Di sini terlalu bising, aku tidak mendengarnya!" lanjutnya berteriak.

Michael menggeleng, ia mengelus puncak kepala gadisnya disusul kecupan ringan dari bibirnya. "Aku akan mematikan ponselku selama 4 jam ke depan, kita bisa menghabiskan waktu berdua tanpa ada penganggu!" ucap Michael tak kalah keras dari Irene.

Irene mengangguk paham. "Kau sudah menghubungi Dean? Aku takut ada hal penting."

Tanpa disuruh Michael sudah menghubungi Dean terlebih dahulu. Kini, mereka duduk di pinggir danau. Michael menerima suapan dari Irene, mereka memandang pantulan lampu yang mengenai air tenang di hadapan mereka.

"Apa kau pernah merasa kesepian Tuan?" Irene menggoyang kakinya ke kanan dan ke kiri. Sedangkan Michael sibuk memakaikan jasnya ke tubuh mungil gadis itu.

"Setiap saat sebelum aku mengenalmu." jawabnya sembari menatap dalam mata coklat gadis di sebelahnya.

Irene tertegun sejenak, ia menoleh ke arah Michael. Gadis itu balas menatap mata biru itu tak kalah penuh arti. Namun menyadari sesuatu, dia memutus pandangan mereka. "Aku..." ia tak tahu harus menjawab apa.

Michael tersenyum kecil. Membawa kepala Irene ke dadanya, tak perduli jika saus dari makanan gadis itu mengenai kemeja mahalnya.

Hati Irene terasa hangat, tetapi dalam lubuk hatinya yang paling dalam—dia masih mempertahankan benteng yang membatasi antara dirinya dan Michael. Dia tidak boleh larut ke dalam pesona maupun ucapan manis pria ini. Jika itu terjadi, maka hanya ada rasa sakit yang menghinggapi Irene nantinya.

Lambat laun, rasa bosan akan menghampiri Michael. Lalu dia akan ditinggalkan begitu saja, seperti sampah. Rasa ini tidak akan bertahan lama, jangan goyah.

Lagipula dia belum sepenuhnya sembuh, masih ada kepingan-kepingan masalah di hidupnya yang belum selesai. Mulai dari Ayahnya hingga trauma yang di deritanya selama bertahun-tahun. Tidak ada orang yang ingin menghabiskan hidup dengan gadis 'tidak sehat' sepertinya.

"Sweety?" elusan lembut di pipinya membuyarkan pikiran gadis itu. "Kau memikirkan sesuatu?"

"Tidak. Aku hanya memikirkan soal resep yang aku temukan kemarin." balas Irene berbohong.

Lagi-lagi rasa nyaman itu datang tiba-tiba disaat tangan besar Michael mengelus kepalanya penuh kasih sayang. Irene memejamkan mata sejenak, ini harusnya tidak boleh terjadi.

*******

"Ini untuk Nona." Barsha menyerahkan sebuah iPad pengeluaran terbaru kepada Irene.

"IPad?"

"IPad yang dibuat khusus untuk Nona dari Tuan." kata khusus yang diucapkan Barsha telah mewakili semuanya. Pasti aksesnya untuk meminta bantuan pada pihak luar tidak bisa dia dapatkan.

"Disini ada beberapa aplikasi cerita online yang Nona sering ceritakan kepada saya dan semua aplikasi tersebut sudah premium. Saldo yang ada di sana pun sudah di isi penuh oleh Tuan."

"Tapi aku tidak tahu cara menggunakan iPad." timpal Irene segera.

Clara maju, menunjukkan kepada Irene cara menggunakan iPad dengan benar. Untung gadis itu mudah belajar, Clara juga memberikan beberapa larangan kepada Irene agar terhindar dari hal yang tidak-tidak.

"Saya tahu kemungkin hal itu terjadi kecil. Namun ketika Nona benar-benar dibuatkan ponsel tanpa ada rancangan khusus, Nona harus memperhatikan apa yang saya ucapkan."

"Akan aku ingat."

Irene membuka kembali aplikasi yang sudah tersedia untuknya. Kalau boleh jujur, dia senang mendapatkan fasilitas ini dari Michael dia tetap tersenyum senang di depan 3 pelayannya hingga 15 menit kemudian mereka pamit undur diri karena harus menyiapkan keperluan Irene yang lain.

"Sampai kapan?" ucap Irene. Pintu sudah ditutup oleh Alena. "Sampai kapan ini akan berakhir?" iPad di tangannya telah berpindah tempat di samping tubuh Irene. "Sampai kapan berpura-pura tidak memiliki rasa apapun kepada Michael? Aku mulai lelah sekarang."

********

When Michael Falling In LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang