22-Two lines

1.9K 68 0
                                    

Hai, sebelum baca tolong vote dulu ya 🌟
.
.
.
"Sean, jangan!"

"Adara..."

"S-sean, sakit.."

"Adara, sayang. Bangun, ini aku."

Adara terkesiap, ia menatap Sean yang berada didepannya lalu sedetik kemudian perempuan itu menangis.

"Ssttt, jangan nangis." Sean mengusap punggung Adara yang berada didekapannya.

"A-aku takut, Sean."

Sean tersenyum kecil, kecupan singkat lelaki itu berikan dipelipis Adara. "Semuanya baik-baik aja, Kamu cuma mimpi buruk, sayang."

Adara melepaskan pelukannya lalu mengusap air matanya.

"Kayaknya hari ini kamu batal ketemu sama penerbit buku." Kata Sean.

Kening Adara mengerut. "Kenapa bisa?"

Sean terkekeh, tangannya terulur mengacak rambut Adara dengan gemas. " Kamu ketiduran, sayang."

Adara menepuk dahinya, Ia lupa kalau selama menunggu Sean badannya tidak bisa berkompromi sehingga rebahan di atas sofa yang berakhir tertidur.

"Kamu ngga usah khawatir, aku udah bikin ulang janji temu sama penerbitnya." Kata Sean.

Adara  tersenyum, perempuan itu mencubit kedua pipi Sean. "Makasih banyak, suamiku."

"Aw—Adara!" Sean mengusap kedua sisi wajahnya yang memerah. "Sakit!"

Bibirnya yang mengerucut membuat Adara tidak tahan untuk tidak mengecupnya. Dengan gerakan cepat Adara membungkuk, lalu mendaratkan kecupan dibibir Sean juga dikedua pipi lelaki itu.

"Nakal ya kamu sekarang." Sean menyeringai.

Bibir Adara mencebik. "Kalau iya kenapa?" Tangan mungilnya menurunkan sedikit resleting baju yang dikenakan.

Mata Sean menyipit, Adara benar-benar sedang menggodanya.

"Kenapa cuma diliat? Kamu ngga mau pegang?" Tanya Adara dengan suara yang menggoda.

Sean melepaskan dasinya, lalu dengan satu dorongan tubuh Adara sudah berada dibawah Kungkungannya.

"Kamu udah selesai datang bulan, hm?" Tanya Sean.

Adara mengangguk. Ia mana berani menggoda Sean saat dalam keadaan datang bulan. Justru inilah waktu yang selalu Adara tunggu, bercinta setelah selesai datang bulan.

"Udah empat bulan ya?" Sean tidak melanjutkan perbuatannya. Tetapi posisinya masih bertahan.

Tangan Adara menahan usapan dari tangan Sean yang berada diatas perutnya.

"Maaf." Hanya kata itu yang selalu Adara ucapkan disetiap Sean mengingat usia pernikahan mereka.

Sean tersenyum kecil. "Itu tandanya kita harus semakin berusaha dan berdoa okay? Supaya Tuhan segera titipin bayi mungil disini."

Adara mengangguk. Matanya sudah memanas menahan cairan bening yang mencoba keluar.

"Ayo kita berusaha lagi, Sean. Hamili aku!" Bibir Adara bergetar. Perempuan itu meneteskan air matanya saat Sean melakukan apa yang ia minta.

Didalam hati Adara berdoa, semoga kali ini usaha mereka membuahkan hasil. Hanya itu yang Adara minta.
.
.
.
"Hueekk.."

"Hueekk.."

Adara terbangun ketika mendengar suara seseorang yang sedang muntah.

"Sean? Kamu kenapa?" Adara mengetuk pintu kamar mandi.

Sean membasuh wajahnya dengan air terlebih dahulu sebelum keluar dari kamar mandi.

"Kamu sakit?"

Sean tersenyum kecil, kepalanya tiba-tiba pusing membuat tubuhnya limbung dan berakhir pingsan.

"Sean, bangun..." Tangis Adara tumpah.

Adara meraih ponselnya yang berada dinakas lalu mencoba menghubungi Ayah dan Ibunya.

Beberapa panggilan tidak terjawab mengingat sekarang masih pukul tiga pagi.

"Halo, Ibu. Sean pingsan, badannya juga panas. Tadi juga muntah-muntah, aku harus apa?" Adara menggigit ibu jarinya khawatir.

"Tenang, sayang. Kamu tunggu disana, sebentar lagi ibu sama ayah kerumah kalian terus kita bawa Sean kerumah sakit."

"Iya, Bu." Adara memutus panggilannya.
.
.
.

"Gimana keadaan anak saya, dok?" Ratu bertanya begitu Dokter yang memeriksa Sean keluar dari ruangan.

"Kondisi pasien sudah membaik. Apa kamu istri beliau?" Dokter itu menatap Adara yang berdiri di samping Ratu.

"Dia istrinya, Dok." Kata Devan.

"Mari Ibu ikut saya sebentar, untuk memastikan apakah perkiraan kami benar atau salah." Ujar Dokter tersebut.

"Kemana ya dok?" Adara menatap Ibu dan Ayah mertuanya, kedua orang itu mengangguk pertanda Adara harus mengikuti Dokter tersebut.

"Silahkan dicoba, Bu."

Kening Adara mengerut saat Dokter itu memberikannya tespack.

"Maksud dokter saya hamil?" Tanya Adara dengan mata yang membulat.

Dokter itu tersenyum. "Untuk itu kita harus pastikan. Toiletnya disebelah sana, Bu."

Mulut Adara membulat, ia memasuki Toilet dan dengan jantung yang berdebar menunggu garis muncul dari tespack yang dipegangnya.

Setelah hasilnya keluar, dengan tergesa Adara keluar ruangan tetapi perempuan itu tidak menemukan Dokter yang baru saja berbicara dengannya.

Dengan cepat Adara memasuki ruangan dimana Sean berada, disana berdiri kedua orangtuanya dan Dokter tadi.

"Bagaimana hasilnya, Bu?"

Adara mengatur nafasnya lalu menatap Sean yang juga menatapnya. "Dua garis."
.
.
.

Between Us [End✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang