Dalam keremangan sebuah kamar bayi, denting lirih lagu Nina Bobo milik Ibu Mustika yang mengalun membuai dari kotak musik mungil, seolah tak bisa membuat seorang bayi laki-laki berhenti menangis. Entah apa yang membuatnya menangis. Ibu dari bayi tersebut begitu gundah mengayun keranjang ayunannya.
"Tenanglah Nak, apa yang membuatmu gelisah, dan tidak berhenti menangis?"
Si ibu menghela nafas lalu menoleh kearah jam dinding yang ada di belakangnya "Ini sudah pukul 1 dini hari, Nak, apakah kamu sakit?"
Sang ibu meraba kening bayinya, mencari tau siapatahu demam atau apa yang membuat gundah si bayi. Tapi suhu tubuh bayi itu baik-baik saja. Ibu itu memandangi bayinya dengan pandangan nyaris putus asa, diangkatnya si bayi dari keranjang ayunan, kemudian didekapnya erat, berharap bisa membuat si bayi berhenti menangis. Tapi hal tersebut tetap tidak membuahkan hasil.
Si bayi sesungguhnya begitu molek, dengan sepasang mata abu-abu yang jernih, berkulit putih bagaikan salju yang diberi rona kemerahan, terutama pada kedua pipi montoknya yang menggemaskan, bibir mungilnya yang berwarna merah muda, membuat siapa saja yang melihat pasti jatuh hati padanya. Dan itu yang terjadi saat pertama kali sang ibu -seorang perempuan muda-, bersama suaminya, menemukan bayi laki-laki tersebut dengan keadaan sedang menangis di depan pagar rumah mereka beberapa hari yang lalu.
Entah siapa yang sudah begitu tega meninggalkan bayi molek itu begitu saja, hanya berbungkus sehelai selimut. Tak ada tanda pengenal, surat atau apapun yang bisa dijadikan petunjuk, siapa orang tuanya, siapa keluarganya, atau darimana sang bayi berasal. Hanya seuntai kalung rantai mungil berbandul bulan sabit melingkar pada leher sang bayi. Rasa iba dan kagum dengan kemolekan si bayi, membuat pasangan suami-istri itu dengan yakin memutuskan untuk merawat si bayi.
"Oh, mungkin kamu sudah lapar lagi ya? Mau Ibu buatkan susu?" sang ibu kembali berbicara, tapi denting lagu Nina Bobo itu tiba-tiba terhenti. Karena terkejut dengan apa yang dilihatnya, sang ibu hampir saja menjatuhkan si bayi. Suara tangisan bayi lain mendadak begitu memenuhi pendengarannya.
"Tangisan siapa ..," sang ibu hanya bisa terpana, membeku di tempatnya berdiri, menyaksikan keranjang ayunan kosong itu mulai bergerak perlahan, mengayun sendiri, seolah ada bayi yang bergerak -gerak di dalamnya.
Bayi? Bukankah bayinya sekarang ada dalam pelukannya? Jadi siapa yang ada di dalam keranjang ayunan itu? Dengan tangan yang mendadak bergetar begitu kentara, sang ibu memberanikan diri, tangannya mencoba meraih keranjang ayunan.
Seorang bayi tergolek menangis di dalam keranjang ayunan. Jantung ibu muda itu bagai berhenti berdetak. Bayi itu, bayi siapa? Seiras sekali dengan bayi yang ada dalam pelukannya. Bagaikan kembar! Dari mana asal bayi itu? Bagaiman bisa tiba-tiba ada di dalam keranjang ayunan?
"Ya Tuhan.," sang ibu itu membekap mulutnya dengan wajah pucat pasi, dia masih membeku memandang bayi yang berada di dalam keranjang.
Bayi misterius itu tiba-tiba saja terdiam dan kepalanya perlahan bergerak membalas pandangan ibu muda itu. Kedua bola mata bayi misterius itu begitu jernih sehingga hampir seluruhnya berwarna putih. Bahkan warna putih itu tampak semakin melebar, terus melebar, hingga keluar dari matanya. Bagai lilin yang mencair, mengalir ke pipi sang bayi.
"Aaakh!!! Tidaak!!" jeritan histeris ibu muda itu memecah keheningan pada malam pukul 1 dini hari itu.
Semua sudah terlambat, ketika suami ibu muda itu menerobos masuk ke dalam kamar bayi.
Terlambat!!
"Kiana?! Ada apa?! Apa yang terjadi dengan kalian berdua?"
Tapi laki-laki itu hanya menemukan Kiana -istrinya- sudah tergeletak tak berdaya di lantai. Mata perempuan muda itu terbelalak kosong dengan luka bekas gigitan menganga di dadanya. Tak ada darah yang mengalir dari leher itu, seolah darah itu sudah terhisap oleh 'sesuatu' yang sangat rakus. Sedangkan bayinya tergeletak di samping tubuh sang istri, dengan penuh darah dan menangis begitu keras.
"Kiana!! Tidak!!" teriakan laki-laki itu memekik begitu keras.
KAMU SEDANG MEMBACA
01.00am
Teen Fiction"Maafkan aku, tapi aku...Aku tak bisa menyimpan rasaku," sekilas Gabriel tampak begitu gugup, karena Shaquilla menatapnya dengan mata berkaca-kaca. "Aku...Aku hanya ingin mengungkapkan perasaanku, jika boleh aku mengatakan. Aku...Aku sungguh mencin...