Hujan yang turun membasahi siang itu menyadarkan Gabriel yang masih terkapar di atas aspal jalan, di samping Alphard-nya Pemuda bermata abu-abu itu terbatuk-batuk, sfuman, menyeringal kesakitan,
karena punggungnya terasa nyeri akibat
hantaman kayu Syams tadi pagi.Tangannya
yang gemetar mencoba menopang tubuhnya
agar bisa bangler. Gabriel merintih
panjang, penyakit ketergantungan darah itu
masih menagih - nagih tubuhnya karena
belum ada darah segar yang mengalir ke
tenggorokannya.
"Shaquilla ? Ka..Kamu di mana?" Dalam
kesakitannya, mata abu-abu Gabriel mencari-cari sosok Shaquilla . "Apa yang sudah aku lakukan pada Shaquilla ? Apakah aku sudah melukai Shaquilla ? Apakah aku..."
Di tengah rinai hujan yang membasahi jalan, di tengah lalu - lalang kendaraan yang melintas, Gabriel menengadahkan kepalanya ke langit. "Aaargght!"
Jam dinding berdentang dua kali. Sudah
pukul dua dini hari, di dalam kamar
apartemen Gabriel di tingkat lima, Gabrian
melebarkan mata abu-abunya melihat
Gabriel.
"Aku...Aku sudah mencelaka. Shaquilla ,
pastilah aku sudah mencelakai Shaquilla ,"
Gabriel entah sedang tertawa atau justru
sedang menangis, berjalan mondar - mandir
tak keruan, berbicara tak jelas, begitu
frustasi tampaknya. "Penyakit sialan ini
sudah menghancurkan semuanya! Tuhan,
aku harus tau keadaan Shaquilla ! Apakah dia
terluka? Apakah dia...Oh, please, jangan
sampai terjadi, please..."
Gabriel meraih Iphone-nya, seperti hendak
menelepon, tapi tampaknya tidak ada
jawaban, detik berikutnya pemuda itu tiba tiba melempar Iphone-nya jauh-jauh, "Aaarrgh!!" Gabriel akhirnya bersandar ke dinding, melorot jatuh, terduduk di karper
kamar apartemen, menutup wajahnya.
"Tentu saja, Shaquilla tak mungkin mau
menerima teleponku lagi..."
"Bro, sudahlah," Gabrian akhirnya tak tahan
melihat kesedihan saudara kembarnya.
"Sudah bagaimana? Katakan?!" Gabriel
membentak Gabrian, membuat pemuda
berambut panjang kusut itu termundur
beberapa langkah ke belakang "Ini gara
gara kamu, kelakuan bodohmu dari awal
sudah menghancurkan segalanya!"
"Lho kenapa jadi aku? Yang mencetakai
Shaquilla kan kamu (
"Gara-gara kamu mencumbui Talitha, aku
dan Shaquilla ...
"Kamu dan Shaquilla kenapa? Oke, oke,
aku memang salah, sudah mencumbui
perempuan itu, tapi aku tidak mencelakai
Shaquilla kan? Yang punya penyakit
mengerikan itu kan kamu Shaquilla
atau siapapun pasti akan celaka jika
bersamamu!"
"Oh, shit," Gabriel mengutuk, menatap
tajam Gabrian dengan mata abu-abunya,
pemuda itu sangat benci untuk mengakui
bahwa Gabrian memang benar, dirinya tidak
bisa bersama siapapun selagi dia punya
penyakit ketergantungan darah, aargh
Lebih baik aku mati jika tidak bisa bersama
Shaquilla lagi: Gabriel menggerung penuh
keputus asaan
"Lebih baik kamu keluar dari kamar ini
Gabrian!" Teriaknya kencang.
Gabrian tak berani mendebat saudara
kembarnya lagi, pemuda urakan itu hanya
terdiam memandangi Gabriel. Entah kenapa
ada sesuatu di raut wajah Gabrian yang
tidak seperti biasanya. Pemuda saudara
kembar Gabriel itu kemudian menghilang di
antara kegelapan sudut kamar Apartemen,
meninggalkan Gabriel sendirian,
mengumpat - umpat menyesali nasib.
"Ke kenapa? Kenapa aku terlahir seperti
ini? Aku mencintai Shaquilla . Aku. Aku tidak
sanggup jika harus kehilangan Kannya. Ta
-tapi aku juga tidak ingin mencelakai dia."
Gabriel begitu merana, si mata abu-abu
itu menghantarkan kepalan tangannya ke
dinding. "Rraagh! Aku hidup, aku bernapas,
dan merasakan setiap tetes darah yang
mengalir di tubuhku, hanya untuk Shaquilla !
Dan jika aku tak bisa merasakan semua itu
lagi dengan Shaquilla , untuk apa aku hidup?"
"Kamu memang harus mati, karena kamu
tidak boleh ada," sebuah suara serak
tiba-tiba mengejutkan Gabriel
Pemuda itu terjengit melihat seraut
wajah putih keriput berada dekat sekali
dengannya, seraut wajah mengerikan yang
tempo hari tergolek menakutinya di bawah
meja perpustakaan Kampus. Mata abu-abu
mahluk itu terbelalak senang mendengar
Gabriel berkata ingin mati.
*Aku akan membantu kamu supaya mati
lebih cepat," sosok itu terlihat sangat renta
tapi gerakannya masih gesit. Tanpa memberi
jeda sedikitpun, dia menyambar tubuh
Gabriel dan membawanya ke jendela kamar
apartemen Gabriel yang tiba-tiba saja sudah
terbuka lebar.
Angin dini hari yang dingin, menerpa masuk
ke dalam kamar apartemen di tingkat
lima itu. Mata abu-abu Gabriel mendelik
kaget mendapatkan separuh dirinya sudah
tergantung di luar jendela apartemen Rambut panjang Gabriel tergerai dipermainkan angin,
"Oh sshhiitt!" Pemuda itu bergidik.
Kerasnya paving block pelataran parkir gedung apartemen tampak menunggu tubuh Gabriel menghujam di atasnya. Mahluk renta itu bagaikan merayap di kaki Gabriel, terkekeh-kekeh mengerikan. "Tugas kami akan selesai kalau kamu
mati. Dan Kebawah Duli Yang Maha Mulia
Paduka Sri Baginda Sultan Omar Mahmoud
All pasti akan senang," desis mahluk itu
menyeringal. Gabriel cuma mengeluh
panjang mendengarnya.
"Persetan! Kalau kamu mau membunuhku,
ya lakukan saja. Aku sudah tak peduli
lagi," pemuda bermata abu-abu itu tak bisa
berpikir jernih lagi. Otaknya sudah buntu
dan begitu putus asa, hingga tak peduli lagi
akan kematian.
Mahluk itu kembali terkekeh, tangannya
yang berkuku-kuku panjang mengendurkan
pegangannya pada kaki Gabriel, membuat
tubuh Gabriel merosot beberapa senti lagi
dari jendela.
"Aakh!" Gabriel tak dapat menahan
teriakannya. Mau tak mau pemuda itu
terjengit juga dibuatnya.
"Selamat tinggal, anak terkutuk!" seringai
mahluk itu dengan nada puas.
Gabriel memejamkan matanya pasrah
ketika mahluk renta mengerikan itu
melepaskan tubuhnya. Si mata abu-abu
itu meluncur jatuh dari tingkat lima gedung
apartemen, melewati lantai empat dengan
cepat, melewati lantai tiga. Dua..
Zreeet!!
Sebelum tubuh Gabriel mencium paving
block pelataran parkir, tiba tiba sekelebatan
bayangan putih menyambar tubuhnya.
"Kamu belum saatnya mati Anak kandung
Yang Teramat Mulia Duli Paduka Sri
Pangeran Muda Mahkota, Raheeq Mahmoud
All tak boleh mati," kata bayangan putih
itu saat dia membawa Gabriel ke bawah
pepohonan tua di sudut halaman gedung
apartemen, tersembunyi dari pandangan
siapa pun.
"Shh..Shit." Gabriel mengutuk, setengah
merintih.
Aroma bunga melati begitu pekat menguar
dari tubuh bayangan putih yang ternyata
adalah perempuan mahluk halus tanpa
sklera mata yang mengganggu Gabriel
tempo hari.
"Nehan yang tampan..," perempuan mahluk
halus itu membelai wajah Gabriel, membuat
si mata abu-abu itu tersentak karena
tangan perempuan itu dingin sekali. "Aku
tidak mengira kalau kamu adalah Nehan,
anak Yang Teramat Mulia Duli Paduka Sri
Pangeran Muda Mahkota, Raheeq Mahmoud
All. Maafkan aku yang tidak melihat kalung
Bulan sabit itu."
Gabriel melihat mata tanpa sklera
perempuan mahluk halus itu terbelalak
lebar, berkaca-kaca, penuh air mata.
Perempuan itu kemudian menangis
dengan suara yang mendirikan bulu kuduk
bagi siapa saja yang mendengarnya, tak
terkecuali Gabriel.
"Ooh, ternyata kamu adalah Nehan, bayi
yang aku tinggalkan dulu di depan pagar
rumah pasangan suami-istri itu... Ooh,
padahal aku sudah mencarimu dan saudara
kembarmu ke mana-mana..Ooh..."
Pemuda itu tak terlalu paham, apa yang
sebetulnya ditangisi perempuan mahluk
halus itu, dibiarkannya saja perempuan
itu menarik tubuhnya dan memeluknya
erat-erat. Aku sudah tak peduli apapun, mati pun, terserah! Gabriel mengumpat. Karena memang sudah tidak ada gunanya lagi aku hidup. Semua sudah hancur.
KAMU SEDANG MEMBACA
01.00am
Teen Fiction"Maafkan aku, tapi aku...Aku tak bisa menyimpan rasaku," sekilas Gabriel tampak begitu gugup, karena Shaquilla menatapnya dengan mata berkaca-kaca. "Aku...Aku hanya ingin mengungkapkan perasaanku, jika boleh aku mengatakan. Aku...Aku sungguh mencin...