CHAPTER 24

2 2 0
                                    

Hujan yang turun membasahi siang itu menyadarkan Gabriel yang masih terkapar di atas aspal jalan, di samping Alphard-nya Pemuda bermata abu-abu itu terbatuk-batuk, sfuman, menyeringal kesakitan,

karena punggungnya terasa nyeri akibat

hantaman kayu Syams tadi pagi.Tangannya

yang gemetar mencoba menopang tubuhnya

agar bisa bangler. Gabriel merintih

panjang, penyakit ketergantungan darah itu

masih menagih - nagih tubuhnya karena

belum ada darah segar yang mengalir ke

tenggorokannya.

"Shaquilla ? Ka..Kamu di mana?" Dalam

kesakitannya, mata abu-abu Gabriel mencari-cari sosok Shaquilla . "Apa yang sudah aku lakukan pada Shaquilla ? Apakah aku sudah melukai Shaquilla ? Apakah aku..."

Di tengah rinai hujan yang membasahi jalan, di tengah lalu - lalang kendaraan yang melintas, Gabriel menengadahkan kepalanya ke langit. "Aaargght!"

Jam dinding berdentang dua kali. Sudah

pukul dua dini hari, di dalam kamar

apartemen Gabriel di tingkat lima, Gabrian

melebarkan mata abu-abunya melihat

Gabriel.

"Aku...Aku sudah mencelaka. Shaquilla ,

pastilah aku sudah mencelakai Shaquilla ,"

Gabriel entah sedang tertawa atau justru

sedang menangis, berjalan mondar - mandir

tak keruan, berbicara tak jelas, begitu

frustasi tampaknya. "Penyakit sialan ini

sudah menghancurkan semuanya! Tuhan,

aku harus tau keadaan Shaquilla ! Apakah dia

terluka? Apakah dia...Oh, please, jangan

sampai terjadi, please..."

Gabriel meraih Iphone-nya, seperti hendak

menelepon, tapi tampaknya tidak ada

jawaban, detik berikutnya pemuda itu tiba tiba melempar Iphone-nya jauh-jauh, "Aaarrgh!!" Gabriel akhirnya bersandar ke dinding, melorot jatuh, terduduk di karper

kamar apartemen, menutup wajahnya.

"Tentu saja, Shaquilla  tak mungkin mau

menerima teleponku lagi..."

"Bro, sudahlah," Gabrian akhirnya tak tahan

melihat kesedihan saudara kembarnya.

"Sudah bagaimana? Katakan?!" Gabriel

membentak Gabrian, membuat pemuda

berambut panjang kusut itu termundur

beberapa langkah ke belakang "Ini gara

gara kamu, kelakuan bodohmu dari awal

sudah menghancurkan segalanya!"

"Lho kenapa jadi aku? Yang mencetakai

Shaquilla  kan kamu (

"Gara-gara kamu mencumbui Talitha, aku

dan Shaquilla ...

"Kamu dan Shaquilla  kenapa? Oke, oke,

aku memang salah, sudah mencumbui

perempuan itu, tapi aku tidak mencelakai

Shaquilla  kan? Yang punya penyakit

mengerikan itu kan kamu Shaquilla

atau siapapun pasti akan celaka jika

bersamamu!"

"Oh, shit," Gabriel mengutuk, menatap

tajam Gabrian dengan mata abu-abunya,

pemuda itu sangat benci untuk mengakui

bahwa Gabrian memang benar, dirinya tidak

bisa bersama siapapun selagi dia punya

penyakit ketergantungan darah, aargh

Lebih baik aku mati jika tidak bisa bersama

Shaquilla  lagi: Gabriel menggerung penuh

keputus asaan

"Lebih baik kamu keluar dari kamar ini

Gabrian!" Teriaknya kencang.

Gabrian tak berani mendebat saudara

kembarnya lagi, pemuda urakan itu hanya

terdiam memandangi Gabriel. Entah kenapa

ada sesuatu di raut wajah Gabrian yang

tidak seperti biasanya. Pemuda saudara

kembar Gabriel itu kemudian menghilang di

antara kegelapan sudut kamar Apartemen,

meninggalkan Gabriel sendirian,

mengumpat - umpat menyesali nasib.

"Ke kenapa? Kenapa aku terlahir seperti

ini? Aku mencintai Shaquilla . Aku. Aku tidak

sanggup jika harus kehilangan Kannya. Ta

-tapi aku juga tidak ingin mencelakai dia."

Gabriel begitu merana, si mata abu-abu

itu menghantarkan kepalan tangannya ke

dinding. "Rraagh! Aku hidup, aku bernapas,

dan merasakan setiap tetes darah yang

mengalir di tubuhku, hanya untuk Shaquilla !

Dan jika aku tak bisa merasakan semua itu

lagi dengan Shaquilla , untuk apa aku hidup?"

"Kamu memang harus mati, karena kamu

tidak boleh ada," sebuah suara serak

tiba-tiba mengejutkan Gabriel

Pemuda itu terjengit melihat seraut

wajah putih keriput berada dekat sekali

dengannya, seraut wajah mengerikan yang

tempo hari tergolek menakutinya di bawah

meja perpustakaan Kampus. Mata abu-abu

mahluk itu terbelalak senang mendengar

Gabriel berkata ingin mati.

*Aku akan membantu kamu supaya mati

lebih cepat," sosok itu terlihat sangat renta

tapi gerakannya masih gesit. Tanpa memberi

jeda sedikitpun, dia menyambar tubuh

Gabriel dan membawanya ke jendela kamar

apartemen Gabriel yang tiba-tiba saja sudah

terbuka lebar.

Angin dini hari yang dingin, menerpa masuk

ke dalam kamar apartemen di tingkat

lima itu. Mata abu-abu Gabriel mendelik

kaget mendapatkan separuh dirinya sudah

tergantung di luar jendela apartemen Rambut panjang Gabriel tergerai dipermainkan angin,

"Oh sshhiitt!" Pemuda itu bergidik.

Kerasnya paving block pelataran parkir gedung apartemen tampak menunggu tubuh Gabriel menghujam di atasnya. Mahluk renta itu bagaikan merayap di kaki Gabriel, terkekeh-kekeh mengerikan. "Tugas kami akan selesai kalau kamu

mati. Dan Kebawah Duli Yang Maha Mulia

Paduka Sri Baginda Sultan Omar Mahmoud

All pasti akan senang," desis mahluk itu

menyeringal. Gabriel cuma mengeluh

panjang mendengarnya.

"Persetan! Kalau kamu mau membunuhku,

ya lakukan saja. Aku sudah tak peduli

lagi," pemuda bermata abu-abu itu tak bisa

berpikir jernih lagi. Otaknya sudah buntu

dan begitu putus asa, hingga tak peduli lagi

akan kematian.

Mahluk itu kembali terkekeh, tangannya

yang berkuku-kuku panjang mengendurkan

pegangannya pada kaki Gabriel, membuat

tubuh Gabriel merosot beberapa senti lagi

dari jendela.

"Aakh!" Gabriel tak dapat menahan

teriakannya. Mau tak mau pemuda itu

terjengit juga dibuatnya.

"Selamat tinggal, anak terkutuk!" seringai

mahluk itu dengan nada puas.

Gabriel memejamkan matanya pasrah

ketika mahluk renta mengerikan itu

melepaskan tubuhnya. Si mata abu-abu

itu meluncur jatuh dari tingkat lima gedung

apartemen, melewati lantai empat dengan

cepat, melewati lantai tiga. Dua..

Zreeet!!

Sebelum tubuh Gabriel mencium paving

block pelataran parkir, tiba tiba sekelebatan

bayangan putih menyambar tubuhnya.

"Kamu belum saatnya mati Anak kandung

Yang Teramat Mulia Duli Paduka Sri

Pangeran Muda Mahkota, Raheeq Mahmoud

All tak boleh mati," kata bayangan putih

itu saat dia membawa Gabriel ke bawah

pepohonan tua di sudut halaman gedung

apartemen, tersembunyi dari pandangan

siapa pun.

"Shh..Shit." Gabriel mengutuk, setengah

merintih.

Aroma bunga melati begitu pekat menguar

dari tubuh bayangan putih yang ternyata

adalah perempuan mahluk halus tanpa

sklera mata yang mengganggu Gabriel

tempo hari.

"Nehan yang tampan..," perempuan mahluk

halus itu membelai wajah Gabriel, membuat

si mata abu-abu itu tersentak karena

tangan perempuan itu dingin sekali. "Aku

tidak mengira kalau kamu adalah Nehan,

anak Yang Teramat Mulia Duli Paduka Sri

Pangeran Muda Mahkota, Raheeq Mahmoud

All. Maafkan aku yang tidak melihat kalung

Bulan sabit itu."

Gabriel melihat mata tanpa sklera

perempuan mahluk halus itu terbelalak

lebar, berkaca-kaca, penuh air mata.

Perempuan itu kemudian menangis

dengan suara yang mendirikan bulu kuduk

bagi siapa saja yang mendengarnya, tak

terkecuali Gabriel.

"Ooh, ternyata kamu adalah Nehan, bayi

yang aku tinggalkan dulu di depan pagar

rumah pasangan suami-istri itu... Ooh,

padahal aku sudah mencarimu dan saudara

kembarmu ke mana-mana..Ooh..."

Pemuda itu tak terlalu paham, apa yang

sebetulnya ditangisi perempuan mahluk

halus itu, dibiarkannya saja perempuan

itu menarik tubuhnya dan memeluknya

erat-erat. Aku sudah tak peduli apapun, mati pun, terserah! Gabriel mengumpat. Karena memang sudah tidak ada gunanya lagi aku hidup. Semua sudah hancur.

01.00amTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang