CHAPTER 29

1 2 0
                                    

"Maafkan aku, Nehan. Maafkan, aku tidak bermaksud untuk menelantarkan kalian dan lupa untuk menjemput kembali. Aku... Aku sudah berusaha untuk datang kembali ke rumah itu. Tapi, tapi...." Yuura tak dapat meneruskan kata-katanya karena dikuasai oleh emosinya.

Gabriel tidak tau apakah dia harus merinding atau merasa iba pada Yuura. Pemuda itu memandang Yuura yang sedang menangis tersedu-sedu di sampingnya.

"Se-semua itu bukan kesalahan kamu." kata Gabriel pelan. "Kecelakaan itu memang tidak bisa dihindarkan."

Tapi, kata-kata Gabriel justru membuat Yuura makin keras menangis dan sekarang perempuan itu menangis sambil membelai-belai rambut Gabriel.

"Anak malang anak malang," katanya. "Aku juga ceroboh, membuat diriku tertangkap oleh Tetua- tetua Kerajaan Maimun, mereka membuatku terkurung dalam tubuh kucing sialan itu, bertahun-tahun lamanya, hingga aku menjadi semakin sulit mencari kalian!"

"Ku... Kucing?" Gabriel mengangkat alisnya.

"Ya, seekor kucing berbulu putih dengan sedikit belang hitam pada bagian telinga, aku sungguh beruntung bertemu kamu, yaa mungkin kita memang berjodoh, Nehan," terang Yuura. "Kamu membunuh kucing itu, hingga arwahku terlepas dari tubuhnya.

Sekilas Gabriel teringat dengan kucing yang d bunuhnya saat di kampus, tempo hari. Ya sejak itulah dia jadi diikuti oleh Yuura. Pemuda itu mengerutkan kening, menjauhkan kepalanya dari tangan Yuura yang masih saja membelai rambutnya.

"Yuura, ba-bagaimana ibuku bisa sampai ke sumur ini? Dan di mana ayahku sekarang?" tanya Gabriel kemudian.

Yuura menyeka air matanya, terdiam untuk beberapa lama sebelum akhirnya menjawab, "Kecelakaan itu membuat aku bisa menyebrang ke dunia gaib, dan menemui Yang Mulia Pangeran. Mereka ternyata menghukum Yang Mulia Pangeran, sehingga Yang Mulia Pangeran tidak bisa lagi menyebrang ke dunia manusia."

"La..Lalu Ibu?"

"Yang Mulia Pangeran bilang, Ayah dan Pamannya membawa Nayla pergi dan menyekapnya di sumur ini," Wajah Gabriel memucat karena dapat membayangkan apa yang terjadi selanjutnya pada Sang Ibu.

"Mereka menyekap Nayla di dalam sumur ini dalam keadaan hidup. Dan tidak pernah mengeluarkannya lagi sampai sekarang," lanjut Yuura dengan suara gemetar.

"Sa..Sampai sekarang?" Kering tenggorokan Gabriel saat mengucapkannya.

"Aku terlambat untuk menolongnya. Nayla yang malang, aku terlambat." Yuura menutup wajahnya dengan tangan, "Sampai akhir hayatnya, Nayla menggenggam erat kotak kayu itu, Karena dia pasti berharap suatu hari ada orang yang menolongnya keluar dari sumur ini, sehingga dia bisa memberikan kotak itu padamu dan saudaramu Neyzar. Ta-tapi tak pernah ada yang datang menolongnya. Tak pernah ada. Nayla tidak bisa menjerit minta tolong. karena Nayla bisu. Dia tetap tersekap sampai aku menemukan sumur ini atas petunjuk dari Yang Mulia Pangeran. Tapi, semua sudah terlambat. Nayla sudah terlalu lama di sini. Dia tidak bisa bertahan."

Gabriel memandang kerangka ibunya dengan mata abu-abunya. Lama dia menatap dalam diam, seolah sulit baginya untuk menerima kisah tragis itu. Sesaat sumur itu sunyi tanpa suara. Yuura menyentuh bahu Gabriel karena melihat pemuda itu diam terlalu lama.

"Ne- Nehan?" Yuura tertegun, seulas air mata meleleh dari mata abu-abu itu.

"Nehan? Kamu menangis??"

Jemari Yuura yang menghapus air matanya, membuat Gabriel tersentak dan menepis tangan Yuura.

"Anak malang, aku tau semua ini pasti berat untukmu," kata Yuura tanpa menghiraukan Gabriel yang menepis tangannya.

Gabriel memalingkan wajahnya ke araht lain, seolah menghindari tatapan Yuura yang sedang tertuju kepadanya, "Gabrian," Gabriel tiba-tiba berbicara.

"Gabrian? Maksudmu, Neyzar?"

"Gabrian masih di luar sana," suara Gabriel hampir-hampir tidak terdengar, tapi cukup membuat Yuura berdiri. "Be-benar!! Saudaramu! Oh, tidak Saudaramu, Neyzar! Aku sudah terlalu lama di sini!" Yuura nyaris menjerit histeris. "Aku harus menolongnya juga!"

Yuura tiba-tiba melayang tinggi dan menghilang, meninggalkan Gabriel yang masih meringkuk di dalam sumur. Si mata abu-abu itu menengadah ke atas, memperhatikan remang-remang langit subuh yang sudah mulai menampakkan sinarnya. Sudah pagi. Apakah, apakah Yuura masih sempat menemukan Gabrian? Gabriel tau akan sulit menemukan Gabrian kalau hari sudah terang.

Gabriel merasakan tubuhnya menggigil karena kedinginan yang amat sangat. Kedua tangannya menyilang, memeluk tubuhnya sendiri, berusaha mencari sisa-sisa kehangatan di sana. Pemuda itu akhirnya kembali memandang kerangka ibunya. Ada rasa yang begitu menusuk-nusuk setiap kali memandangi kerangka yang berwarna hijau lumut itu. Ada luka yang tergores begitu besar dan menyakitkan, sehingga Gabriel merasakan seluruh tubuhnya nyeri sampai ke ujung-ujung jemarinya. Pemuda itu tidak tau harus menyalahkan siapa? Pada ayah-ibunya yang sudah melahirkannya dengan penyakit ketergantungan darah itu? Atau pada mahluk-mahluk halus yang sudah memisahkan ayah-ibunya? Atau pada nasib mereka yang begitu buruk?

“I—Ibu, maafkan aku," Gabriel perlahan meraba kerangka ibunya dengan tangan yang bergetar, Pemuda yang berwajah bagai dewa – dewa legenda Yunani itu merasa dia mulai berhalusinasi karena kedinginan atau mungkin sedang bermimpi, tapi dia melihat kerangka ibunya mulal bergerak-gerak. Gabriel mengerutkan keningnya.

"Sa...Salahkah mataku melihat?"

Ada sesuatu yang berwarna kemerahan mulai merambat memenuhi kerangka berwarna hijau lumut itu. Tangan kurus kerangka itu mulai mengembang bersemu menjadi sepasang tangan yang indah.

Mega-mega merah muda melayang memenuhi lingkaran dinding sempit sumur tua bagaikan helai-helai bulu sayap bidadari-bidadari surga yang perlahan turun mulai membalut kerangka itu.

Bunyi kecipak air sumur terdengar begitu keras seiring dengan bangkitnya sesosok tubuh berbalut busana merah muda. Seorang perempuan cantik berambut panjang. Gabriel terkesima. Percikan air yang mengibas dari rambutnya yang hitam kemilau membasahi wajah Gabriel.

Pemuda itu mengusap matanya, seolah tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Tubuh semampai yang begitu menawan, kini berdiri di hadapannya. Wajahnya syahdu, begitu manis, begitu kontras dengan kusamaya warna dinding dinding batu sumur tua. Perempuan itu bagai dewi-dewi kahyangan yang turun dari langit. Dia menatap Gabriel dengan sorot matanya yang lembut.

"Nehan anakku, apakah itu kamu? Sudah lama Ibu menunggumu di sini, Ibu rindu, Nak. Sangat merindukanmu," perempuan itu tidak bersuara, cuma menatap tapi Gabriel seolah mendengar kalimat itu terucap di telinganya. Setengah bermimpi rasanya, Gabriel tiba-tiba mengulurkan tangannya, Pemuda itu memejamkan matanya, pasrah, membiarkan perempuan itu memeluk erat tubuhnya. Damai rasanya, ada kerinduan yang mendalam dalam pelukan itu.

01.00amTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang