"Mungkin tadi kamu salah lihat, Shaquilla," kata Gabriel ketika mereka tiba di depan pagar rumah Shaquilla.
"Mungkin ya, Kak?" Shaquillapenuh keraguan. "Mungkin aku hanya berkhayal melihat Rikko,"
Gabriel mengusap kepala Shaquilla, sambil tersenyum. "Ya mungkin saja, sekarang cepat kamu masuk ke dalam dan beristirahat, oke?" Pemuda itu mencium kening Shaquillasebelum pamit pergi. "Aku pergi dulu."
Gabriel tau ada yang mengikutinya di sepanjang perjalanan pulang dari rumah Shaquilla. Sesuatu yang melayang samar-samar di sisinya.
"Kamu, jangan dekati tunanganku...Jangan ganggu tunanganku..," desahan itu begitu lirih terdengar berulang-ulang mendirikan bulu kuduk. Gabriel mengerutkan keningnya. Awalnya si mata abu-abu itu tak menghiraukan desahan itu - setidaknya mencoba untuk tidak mendengarkan tapi lama-kelamaan dia terganggu juga.
Itu arwah Rikko yang memang sudah mengiringi saat dirinya masih bersama Shaquilladi pantai itu. Sebetulnya bukan cuma Shaquillayang melihat sosok arwah Rikko, Gabriel juga melihatnya, hanya saja Gabriel tidak ingin Shaquillatau kalau dia bisa melihat.
"Please, Rikko, maafkan aku, tapi aku mencintai Shaquilla. Izinkan aku bersamanya, izinkan aku menggantikan posisimu."
Gabriel akhirnya menjawab. "Aku tau kamu bisa mendengarku, Rikko..."
"Kamu tidak boleh bersamanya! Kamu berdarah campuran! Kamu anak terkutuk!!" arwah Rikko mengembangkan kedua tangannya dan melayang turun ke depan Harley Davidson Gabriel yang tengah melaju. Sesosok pemuda gagah tapi berwajah pucat kebiruan, mata hitamnya mendelik begitu dingin menatap Gabriel. Tubuhnya tampak berpendar-pendar seolah bercahaya tapi sangat lemah dan begitu samar-samar.
"Aku? Berdarah campuran??" Gabriel nyaris saja menabrak sesuatu yang melintas di depannya, bukan arwah Rikko tapi mobil yang berpapasan dengan Harley Davidson-nya di persimpangan jalan. "Apa maksud kamu, Rikko?!!"
"Heh, brengsek!! Ke mana matamu?!” sumpah-serapah pengendara mobil pada Gabriel seolah menjadi penyebab raibnya arwah Rikko dari depan motor besar Gabriel.
Pemuda itu tidak peduli berapa banyak yang membunyikan klakson, berapa banyak yang melemparkan sumpah-serapah kepada dirinya karena berhenti di tengah jalan. Si mata abu-abu itu mencari-cari arwah Rikko yang sudah membuatnya gusar. "Rikkoo!! Keluar kamu!" teriak Gabriel putus-asa, tapi arwah Rikko sudah menghilang tanpa bekas di antara keramaian lalu-lintas jalan malam itu.
*****
Gabriel nyaris tak dapat mengangkat kepalanya dari meja bar karena pengaruh Johnnie Walker yang di tenggaknya-entah untuk yang ke berapa gelas. Gabrian yang duduk di sampingnya, hanya bisa terbelalak memandangnya.
"Siapa aku? Anak terkutuk? Berdarah campuran? Jawab, Gabrian!" Gabriel menghentakkan gelas ke depan Gabrian.
Waiter Bar cuma mengeleng-gelengkan kepala melihat Gabriel yang dianggapnya sudah mabuk berat itu. Karena mata siapapun yang masih sehat, hanya akan dapat melihat Gabriel sendiri di meja itu. Saat itu baru pukul 11 malam tak ada yang bisa melihat Gabrian kecuali Gabriel.
"Aku..Aku mencintai Shaquilla. Dan aku baru saja mendapatkan cinta Shaquilla, baru saja kebahagiaan itu...Tapi kenapa?" Pemuda itu mengacungkan tangannya, menuding Gabrian. "Tidak! Aku tidak mau ada yang menghalangi aku bersama Shaquilla! Aku, Gabriel Alanza Fairro, Violinist ternama, siapapun tak ada yang boleh menghalangi aku!"
Gabriel tergelak sendiri, tapi terdengar begitu getir. Seseorang menyentuh bahunya dan duduk di sampingnya. "Dewa Sayang? Ya Tuhan! Kamu mabuk ya?" Talitha yang ternyata sedang berada di dalam Bar itu juga, menegur Gabriel dengan nada khawatir.
"Jangan ganggu aku!!" dengan kasar Gabriel menepis tangan Talitha yang memegang bahunya. Si mata abu-abu itu bangkit dari kursinya hendak menghindari Talitha, tapi segera saja dia ambruk ke lantai bar.
"Dewa!!" pekik Talitha kaget. "Hei! Tolong dia, please??"
Dari lantai bar, Gabriel samar-samar melihat bayangan orang-orang silih berganti berputar-putar mengelilinginya berteriak-teriak membuat kepalanya terasa sakit. Gabriel merintih, mencari-cari Gabrian yang seingatnya ada di sampingnya, tapi sia-sia belaka.
Bayangan orang-orang itu makin lama makin kabur, matanya semakin sulit untuk melihat jelas. Gabrian, please, di mana kamu? Gabriel mengeluh panjang. Dipaksakannya matanya untuk tetap terbuka, tapi semuanya terasa begitu berat menghimpit, seolah ada yang menekannya kuat-kuat ke dalam kegelapan yang tak berdasar. Hanya suara-suara saja yang samar-samar masih bisa dia dengar. Apa yang sedang mereka bicarakan?
"Kasihan anak ini. Jeffri menemukannya terlantar di depan pagar rumahnya. Sekarang dia harus sendiri lagi," seorang ibu paruh baya bersimpuh dengan air mata masih berlinang memeluk seorang anak laki-laki bermata abu-abu berumur 3 tahun. "Kamu ikut Tante ya? Biar Tante dan Om yang akan menjaga dan merawatmu, kamu tak perlu dibawa ke Panti Asuhan. Kamu begitu manis. Kami semua menyayangimu."
Seberkas cahaya membuat Gabriel bisa melihat lagi, aneh, siapa ibu itu? Siapa anak laki-laki itu? Dimana dia sekarang? Bukankah seingatnya tadi dia berada di Bar? Dengan susah payah Gabriel mendongakkan kepalanya, di atas sana, langit mendung membentang begitu luas.
"Shit.. Kapan aku keluar dari Bar?" Gabriel merasa kepalanya sakit sekali seperti ada yang memukulnya dengan palu berat berkali-kali.
Pemuda itu berusaha memusatkan pandangannya yang masih belum fokus itu ke depan, ada sebuah acara pemakaman. Anak bermata abu-abu itu masih ada, dia sedang memandangi tubuh ayahnya, Jeffri, yang terbujur kaku di bawah sana, di dalam lubang besar makam yang sedang ditimbun.
"Ayah?" Gabriel memaksakan dirinya untuk bangun, seolah baru sadar akan sesuatu.
"Ini... Ini tidak mungkin! Ini pemakaman Ayah!"
Bagaimanapun Gabriel berusaha berteriak, tapi tak ada seorangpun yang bisa mendengar suaranya, semua bahkan seperti tidak melihatnya, semua orang cuma menunduk memandangi lubang besar makam ayahnya yang perlahan-lahan ditimbun tanah. Gabriel berjuang keras untuk bangun, menyeret-nyeret kakinya yang terasa berat. Anak itu! Siapa anak itu? Apakah...Apakah dia..
"Maafkan aku Ayah, aku mohon, bukan maksudku untuk membunuh Ayah! Aku sama sekali tidak ingin..Aku...Aku..."
Gabriel terhuyung jatuh, kegelapan tiba-tiba kembali datang mencabik-cabik penglihatannya. Seperti ada tangan raksasa yang merenggut tubuhnya dari pemakaman itu dan membawanya berputar-putar entah kemana.
Gabriel merasa tubuhnya melayang-layang seperti terbawa angin tornado yang kemudian menghempaskannya ke sebuah lantai yang keras dan dingin.
"Oh shit!" Gabriel mengerang kesakitan. Di depannya tampak anak laki-laki yang tadi dilihatnya di pemakaman tapi anak itu kini sudah lebih besar, kurang lebih berumur 8 tahun. Anak itu sedang duduk di anak tangga paling atas di dalam sebuah rumah besar bertingkat dua, Gabriel samar-samar seperti mengenali rumah siapa itu.
"Hey!" Gabriel berusaha memanggil anak laki-laki itu. Anak itu tampaknya sedang menangis, sepertinya sedih sekali, tangannya menggenggam bandul kalung yang berbentuk Pentagram erat-erat, kalung itu putus rantainya dan penuh noda kemerahan seperti darah.
"Mama, maafkan Gabriel, mama, Maafkan Gabriel..." air mata meleleh satu-satu di pipi anak laki-laki yang bermata abu-abu itu. Gabriel merasa kepalanya mau pecah karena sakit, dia pasti sudah gila, anak laki-laki itu bernama Gabriel juga.
"Aku tau sekarang. Itu, itu aku waktu berumur 8 tahun!" Gabriel melihat ayah angkatnya, Papa Ardi, datang menghampiri dirinya yang masih berumur 8 tahun itu dari belakang.
"Lho? Kenapa kamu menangis di sini? Sore-sore begini, seharusnya kamu sudah mandi. Lihat wajahmu, bajumu? Kenapa bajumu sampai merah begini, kamu habis bermain cat ya? Mana Mama Bella??" Tanya Papa Ardi.
"Mama Bella, di bawah, Papa," tangan Gabriel kecil menunjuk ke anak tangga paling bawah.
"Apa?!" laki-laki yang menjadi ayah angkat Gabriel itu baru sadar ketika melihat ke anak tangga paling bawah. Bella istrinya tampak terkapar kaku di bawah sana.
"Bella?!"
Laki-laki itu langsung memburu turun untuk mengetahui keadaan istrinya. Tapi istrinya itu ternyata bukan hanya terjatuh dari tangga tapi sudah tidak bernyawa lagi. Sebuah luka bekas gigitan terlihat di lehernya.
"Oh, Tidaaaaak!"
Gabriel tersentak bangun, napasnya memburu cepat, tubuhnya dibanjiri dengan keringat dingin.
"Aku..Aku ternyata hanya bermimpi..."
Gabriel terkesiap, saat pemandangan sebuah kamar bernuansa minimalis segera menyita perhatiannya, kamar itu lengkap dengan furniture - yang dapat ditebak, itu adalah kamar sebuah Hotel. "Di..Di mana aku ?"
Gabriel begitu kebingungan, apalagi mendapatkan dirinya ternyata sedang terbaring berselimut di sebuah tempat tidur ukuran double size.
"Kamar siapa ini? Kenapa aku bisa ada di sini?"
Gabriel nyaris terjatuh dari tempat tidur ketika mendengar suara desahan seorang perempuan dari balik selimut di sampingnya. Perempuan itu bergerak dan mengeluarkan kepalanya dari selimut, seolah dia baru saja terbangun.
"Dewa Sayang, Dewa Sexy, kamu sudah bangun ya?" kata perempuan itu sambil tersenyum manja pada Gabriel,
"Talitha?!!" Gabriel begitu terkejut, bagai tersambar petir. "Ini....Ini tidak mungkin!!"
Si mata abu-abu itu spontan melompat dari tempat tidur, tapi Gabriel segera terjengah, baru disadarinya kalau saat itu dia ternyata sedang tidak mengenakan pakaian apapun di tubuhnya, begitu juga Talitha.
"Dewa Sayang mau kemana?" tanya Talitha melihat Gabriel buru-buru mengenakan.
"Ini..Ini pasti salah!! Ini tidak boleh terjadi!! Kita tidak ada hubungan apa-apa!!" Gabriel berkata sambil mengancingkan kemeja sekenanya, berjalan mondar-mandir dengan panik "Bagaimana aku bisa tidur dengan kamu, Talitha??"
Pemuda itu mengerutkan keningnya menatap Talitha. Bagaimana bisa? Apa yang sudah terjadi tadi malam?? Kenapa dia tidak bisa mengingat apa-apa? Yang dia ingat cuma saat dia minum di Bar, mimpi-mimpinya tentang pemakaman ayah angkatnya dan kematian ibu angkatnya.
Tapi Bagaimana dia bisa sampai di kamar ini bersama Talitha? Oh shit! Benar, ini hotel yang berada di lantai bawah Bar itu! Gabriel merasa kepalanya berdenyut-denyut sakit. Pasti Talitha yang sudah membawaku ke sini!
"Salah bagaimana? Tidak ada hubungan bagaimana? Kamu sendiri sangat menikmati tadi malam. Kita melakukannya atas dasar suka sama suka!" kata Talitha dengan wajah merengut.
"Menikmati?? Aku bahkan tidak ingat apa-apa! Bagaimana aku bisa sampai di sini pun aku tidak tau!" tukas Gabriel gusar.
"Pasti kamu yang sudah menjebak!"
"Menjebak??! Jangan bicara sembarangan kamu! Aku justru menolong, kamu jatuh di Bar karena kebanyakan minum. Oh, please deh! Jangan menyangkal apa yang sudah kamu perbuat! Lihat leherku, Ini buktinya. Kamu bahkan sampai mencakarnya. Apa itu juga kamu tidak ingat??" kata Talitha sambil memperlihatkan lehernya yang kemerahan bekas cakaran kuku-kuku panjang. Mata abu-abu Gabriel mendelik melihat itu.
Mengertilah dia sekarang siapa yang punya ulah sebetulnya. "Gabrian!!!!" Gabriel menghantamkan tinjunya pada lemari pakaian yang ada di samping tempat tidur, hingga lemari itu bergetar begitu keras. "Bangsat!!"
Talitha sampai ketakutan melihat kemarahan Gabriel.
"Siapa Gabrian?? Jangan mengalihkan pembicaraan! Kamu tidak bisa kemana mana sekarang!! Kamu sudah terikat dengan aku!!" jerit Talitha. "Karena kamu harus bertanggung-jawab!!!"
Tapi Gabriel sudah keluar dari kamar sambil membanting pintu dengan penuh kegusaran.
Gabriel tidak tau bagaimana Gabrian bisa melakukannya. Menggantikan posisinya dan mencumbui Talitha. Oh Shit!! Gabriel mengumpat dengan geram.
Pukul 1 dini hari ketika Gabrian muncul di Apartemennya, Gabriel langsung menerjang Gabrian dan menyentakkan saudara kembarnya itu ke dinding keras-keras.
"Apa maksud kamu??!! Apa maksud kamu menggantikan posisiku dan mencumbui Talitha?!!" Gabriel membentak penuh emosi.
Gabrian yang tadinya kaget karena Gabriel tiba-tiba menerjangnya, kini jadi tertawa terbahak-bahak mendengar amarahbkembarannya itu.
"Hey, kenapa marah-marah sih?? Aku kan cuma kasihan melihat perempuan itu, siapa namanya? Talitha? Dia membelai-belai wajahmu begitu mesra di kamar itu. Sepertinya dia sangat menyukai kamu dan ingin bercumbu denganmu, Bro. Tapi kamu cuma tidur dan tidur. Jadi, ya sudah? Aku ganti saja posisimu. Si Talitha itu tidak tau kalau aku merasuki tubuhmu dan meladeni semua maunya. Hahaha!" terang Gabrian menjelaskan sambil masih tertawa.
"Kamu tau? Dia perempuan hot!! Rugi kamu tidak merasakan dia..." Gabriel mendelik mendengar itu.
BRUUK!!!
Tinju Gabriel yang melayang ke perut Gabrian membuat saudara kembar Gabriel itu berhenti tertawa.
"Gila kamu!!" maki Gabriel. "Gila kenapa? Aku hanya ingin membantu..."
kata Gabrian sambil terbungkuk-bungkuk menahan pukulan Gabriel yang bertubi-tubi menghajar perutnya.
"Membantu apa?!"
"Ya, membantu memperlancar hubunganmu dengan Talitha,"
"Kamu! Gunakan otakmu jika bertindak!" Teriak Gabriel murka, mencengkram kerah baju Gabrian. "Lupa jika kekasihku adalah Shaquilla ?!"
"Shaquilla ? Gadis lugu itu?" Gabrian bertanya, tanpa merasa bersalah. "Terlalu banyak perempuan di sekitarmu, Bro, jadi aku lupa siapa kekasihmu."
Gabriel meraung kesal, mengangkat tangannya ke depan wajah Gabrian, membuat mata Gabrian terbelalak dan bergidik ngeri. Karena saudara kembar Gabriel itu sangat paham apa arti tangan yang teracung itu.
"Perbuatanmu sudah menghancurkan hubunganku dengan Shaquilla!" Gabriel mendelik pada Gabrian, begitu mengerikan.
"Padahal aku baru saja mendapatkan cintanya, begitu lama aku berjuang, tapi dalam sekejap kamu menghancurkannya!!"
"Bro, apa..Apa maksud tanganmu itu?" Gabrian bertanya tergagap, walau dia sudah tau apa jawaban Gabriel. "Aaarrrghh!! Jangan!!...Tidaaakk!!"
Teriakan kesakitan Gabrian begitu keras menggelegar seolah menulikan semua telinga, membangkitkan mahluk- kubur, membelah sunyinya malam dini hari itu...
KAMU SEDANG MEMBACA
01.00am
Fiksi Remaja"Maafkan aku, tapi aku...Aku tak bisa menyimpan rasaku," sekilas Gabriel tampak begitu gugup, karena Shaquilla menatapnya dengan mata berkaca-kaca. "Aku...Aku hanya ingin mengungkapkan perasaanku, jika boleh aku mengatakan. Aku...Aku sungguh mencin...