CHAPTER 30

1 2 0
                                    


Gabriel tidak tau, sudah berapa lama dia tertidur atau bahkan mungkin pingsan. Tapi ketika akhirnya pemuda itu terbangun. dia terperanjat menemukan dirinya tidak lagi berada di dalam sumur. Hal pertama yang dilihatnya adalah lantai pualam putih kebiruan membentang di bawah kakinya. Dingin berkabut, entah di mana. Gabriel merasakan pergelangan tangan dan kakinya terasa nyeri terbelenggu sesuatu. Bahunya terasa begitu sakit, dan dia tidak bisa bergerak. Bahkan mengangkat kepalanya pun terasa sulit sekali.

"Di mana ini?" Pertanyaan itu spontan meluncur dari mulut Gabriel, dari balik geraian rambut panjangnya, tapi kemudian pemuda itu segera menyadari bahwa sia-sia saja bertanya seperti itu, karena tak ada yang menjawab pertanyaannya, Sepi, Sunyi.

"Oh, sshhit."

Gabriel bergidik, sayup-sayup telinganya menangkap satu-satunya suara yang terdengar disitu. Suara tangis yang begitu lirih dan begitu sedih, seolah si pemilik suara sedang merasakan keputus asaan dan kekecewaan yang tak terobati dan begit dalam.

Suara tangis itu terdengar begitu aneh mendirikan bulu kuduk karena terdengar berkepanjangan tanpa henti. Dengan susah payah Gabriel mengangkat kepalanya, gelisah mencari-cari sumber suara tangis itu, tapi suara itu seolah mendengung tanpa wujud. Tak ada siapapun.

Kelihatannya cuma dia sendiri di situ, di sebuah ruangan luas berwarna suram. Pilar-pilar kelabu tampak menjulang di kiri kanannya. Tembok tembok batu memenjarakan ruangan itu dengan kokoh. Si mata abu-abu itu mengeluh panjang ketika menyadari dirinya ternyata tergantung pada pilar-pilar itu dengan rantai-rantai membelenggu pergelangan tangan dan kakinya.

"Sshh..Sshit, aku di mana? Si-siapa yang melakukan ini padaku?" Percuma Gabriel mencoba menyentakkan tangan dan kakinya, karena tindakan itu justru menyakiti dirinya sendiri. Pemuda itu meringis. Rantai itu terlalu erat membelenggu tangan dan kakinya. Keadaan itu membuat Gabriel merasa sangat tertekan. Pemuda itu mengeluh lagi.

Apa yang sebetulnya sudah terjadi pada dirinya? Siapa yang membawanya ke tempat aneh ini? Apakah arwah ibunya? Apakah Yuura? Atau mahluk-mahluk halus yang mengerikan itu?

Belum sempat Gabriel berpikir lebih lama, suara derit pintu besi yang terbuka, menyentakkan pemuda itu. Dari depan pintu besi yang berada di pojok ruangan suram itu, Gabriel mendengar suara ribut, sumpah-serapah dari seseorang yang sudah begitu dikenalnya. Gabrian.

"Shit! Brengsek! Lepaskan aku! Siapa kalian? Bangsat, kenapa aku diseret seret begini? Heh, kalian tuli ya? Kenapa diam saja?"

Gabriel melihat beberapa orang bertubuh kekar, tinggi besar dengan raut wajah dingin menyeramkan, mengenakan pakaian seperti pengawal kerajaan zaman dulu, lengkap dengan tombak-tombak besi di tangan mereka. Orang-orang aneh itu menyeret Gabrian masuk ke ruangan itu. Merantai saudara kembarnya di pilar-pilar kelabu yang berdiri menjulang di sampingnya. Gabrian mencak-mencak bagai monyet berusaha memberontak dari rantai itu tapi jelas itu sia-sia saja. Orang-orang yang membawa Gabrian, tanpa bicara segera berlalu dari ruangan itu dan menutup kembali pintunya.

"Heh, brengsek! Jangan pergi! Lepaskan aku! Lepaskan, kalian dengar?!" teriak Gabrian bagai orang kesurupan.

"Gabrian, sudahlah," Gabriel menegur saudara kembarnya. Gabrian tersentak, dan menoleh.

"Hei, kamu di sini juga, Bro??" Gabrian seperti baru menyadari keberadaan Gabriel di sampingnya.

"Mana Yuura? Kamu bertemu dengan dia?"

"Kamu kenal Yuura juga? Ya, dia mendatangiku di Apartemen. Dia bilang aku harus ikut dia. Tetua-tetua mahluk halus sudah mengetahui keberadaanku dan kamu," Gabrian terlihat kebingungan tak mengerti sewaktu menceritakan itu. "Tapi di tengah perjalanan hendak bergabung dengan kamu di sumur itu, kami tertangkap oleh mahluk-mahluk, yang disebut Yuura, para tetua, dan dibawa kemari."

"Lalu, mana Yuura?" ulang Gabriel.

Gabrian tampak mengedikkan kepalanya. "Itu suaranya, suara tangis itu. Mereka menghukum Yuura," sahut Gabrian membuat Gabriel akhirnya tau siapa pemilik suara tangis yang sedari tadi mengganggu pendengarannya. "Dan kamu? Bagaimana kamu juga bisa tertangkap mereka?"

"Aku tidak tau," kata Gabriel. "Gabrian..,“

"Yeah?"

"Kamu tau kita sedang di mana?"

"Oh, ini Dunia alam gaib, Bro. Sebagaimana Yuura sering menyebutnya, dunia masyarakat yang hilang," sahut Gabrian membuat Gabriel mengerutkan keningnya.

"Kita berada di Penjara Istana Keramat Maimun katanya,"

"Dunia alam gaib?? Istana Keramat Maimun?? Ba... Bagaimana bisa?" Gabriel memandang Gabrian, merasa semua berada di luar nalarnya.

‘, bagus, selamat datang di dunia gaib, ingat separuh tubuhmu adalah mahluk halus, Gabriel!’ Batin Gabriel mengeluh. Jadi ini pastilah dunianya juga, oh shit..

Gabrian tak menjawab pertanyaan Gabriel. Saudara kembar Gabriel itu tampak seperti sedang memikirkan sesuatu, sestatu entah apa, karena lama dia membisu.

"Bru, selama ini aku selalu bertanya tanya, kenapa aku seperti ini. Dan, dari mana aku berasal," kata Gabrian setelah beberapa lama. "Tapi setelah berada di istana ini mungkin kita berasal dari sini ya? Aku merasakannya, Bro"

"Ayah kita memang dari sund." Sahut Gabriel datar.

“-Ayah? Maksudmu, kita adalah? Tap. bagaimana?" begitu banyak pertanyaa yang ingin ditanyakan Gabrian tampaknya.

Tapi belum sempat Gabriel menjawab, tiba-tiba pintu besi ruangan saram itu terbuka lagi. Orang-orang berpakaian pengawal kerajaan yang membawa Gabrian tadi, menyeruak masuk dan mereka membuka rantai-rantai Gabriel dan Gabrian.

Mengalungkan belenggu rantai lan ke tangan dan leher kedua bersaudara kembar itu, dan menarik rantainya, membuat Gabrian berteriak mengumpat marah, karena boleh dikatakan mereka ditarik bagai anjing-anjing yang mengenakan kalung lehernsebagaimana lazimnya di dunia manusia.

"Heh, dedemit setan, apa tak ada cara yang lebih sopan?!!" sembur Gabrian, tapi tak ada yang menjawab amarah Gabrian, orang-orang itu seolah tak peduli, hanya membisu, menarik rantai belenggu leher Gabriel dan Gabrian dengan raut wajah dingin, bahkan setengah menyeret kedua bersaudara kembar itu, menelusuri koridor panjang.

Gabriel merasa bulu kuduknya berdiri ketika melewati dinding-dinding kokoh di sepanjang karidor itu, Kabut tipis dingin terus mengambang, membela-helal tubuhnya. Suram.

Dengan begin minim cahaya, koridor itu sepi. Tak ada siapapun kecual iring-iringan mereka, tapi Gabriel entah kenapa merasa seperti ada beribu-ribu mata mengawasi setiap langkahnya, suara-suara yang mendesah, merintih, membuat merinding siapapun yang mendengarnya, terkadang ada suara tawa lirih seperti tiba-tiba melintas menyentakkan pernuda itu. Gabriel tak sadar bergidik ngeri merasakan aura kegelapan yang begitu pekat menghantui lorong koridor itu. Inikah, inikah Istana tempat ayahnya dibesarkan? Beginikah Istanarya? Dan orang-orang aneh in para pengawal :stanakah?

Rasanya jauh sekali mereka berjalan, menelusuri lorong lorang koridor yang panjang dan gelap, berputar putar menaiki tangga-tangga batu, seolah tak ada habis-habisnya, sampai akhirnya orang-orang aneh itu bertemu dengan sekelompok orang yang mengenakan pakaian yang sama dengan mereka di depan sebuah pintu besar yang begitu megah berukir relief patung-patung ular berbentuk aneh dan mengerikan. Dan orang-orang yang di depan pintu segera membukakan pintu besar itu untuk mereka.

Gabriel tersentak, spontan berusaha mengangkat tangannya yang terbelenggu in ke depan wajah karena matanya tersilaukan oleh gemerlapnya cahaya di dalam ruangan luas yang ada dibalik pintu tadi. Dia mendengar Gabrian memaki-mak ketika mereka berdua didorong kasar oleh orang-orang aneh itu hingga mereka jatuh tersungkur ke lanta.

Ketika Gabriel mengangkat kepalanya, hal pertama yang terlihat oleh pemuda bermata abu-abu itu adalah seorang laki-laki tua berwajah penuh Kharisma dan wibawa, duduk di atas sebuah singgesana emas berukir relief aneh. Rambut putihnya bagai ikut berkilau dengan pakaian berwarna keemasan yang dikenakan laki laki itu, Kain Samping Songket yang begitu indah tampak melilit pinggangnya Selendang emas tersampir di bahu. Regitu lengkap mengenakan Tanjak berhiaskar permata, dan lencana lencana emas dar perak berlambang aneh tersemat di bagian dada, serta kalung Dukuh Papan melingkar, menandakan laki-laki itu begitu dihormati di ruangan itu. Tangan kanannya memegang tongkat emas bertatahkan berlian dan permata dengan lambang ular bertaring terukir begitu menyeramkan...

Di samping laki-laki wibawa ira, duduk seorang perempuan, yang meski sudah beramur, tapi tetap kelihatan sangat cantik dan anggun. Dengan Pekakas Pandan Jurai perhiasan kepala berkilau terbuat dari emas dan permata, kalung Dukuh Papan, dan kedua tangan yang jemarinya berkuku-kuku runcing dan panjang seperti milik Gabrian, penuh dengan gelang - gelang emas.

Gabriel segera tau kalau keduanya pastilah permimpin dari para mahluk-mahluk halus ru keduanya pastilah Raja dan Permaisurinya. Itu terlihat dari orang-orang berpakaian aneh yang duduk di sekitar mereka tampak bersikap hormat dan tunduk pada keduanya. Gabriel mengeluh, shit, dirinya bagal sedang terjebak dalam persidangan istana sebagaimana layaknya film-film tentang kerajaan zaman kuno.

Pemuda itu melirik Gabrian yang tersungkur di sampingnya. Saudaranya itu juga tampak terpana memandang ke sekeliling mereka, bergidik rgeri Mungkin Gabrian merasa sama dengan penampilan orang-orang itu, sekilas mereka memang tak ada bedanya dengan Gabrian, tapi wajah-wajah mereka yang berkulit pucat kebiruan itu berekspresi begitu dingin, dengan mata abu-abu menatap begitu tajam beringas, sungguh membuat perasaan menjadi tidak enak.

Seseorang tiba-tiba menubruk Gabriel dan Gabrian dan belakang, membuat kedua bersaudara kembar itu serentak menoleh.

“Anak malang anak malang! Maafkan aku mereka memaksaku untuk memberi tau kalau kamu ada di dalam sumur itu, Nehan. Maafkan aku, mereka lebih kuat dariku," Yuura, dengan beruraian air mata memeluk Gabriel dan Gabrian. Entah darimana perempuan itu muncul, tapi tampaknya orang-orang aneh berpakaian pengawal kerajaan itu yang membawanya tersungkur ke ruangan itu.

"Yuura?" Gabriel dan Gabrian berseru kaget.

Yuura memberi isyarat agar Gabriel dan Gabrian memandang ke samping kanan singgasana Raja dan Permaisur. Di sana seorang lagi duduk di atas singgasana lain, singgasana perak.

“Lihatlah, itu Ayah kalian, Yang Mulia Pangeran Raheeq," kata Yuura hampir-hampir berbisik.

"Ayah?" Gabriel melihat betapa sedihnya wajah laki-laki yang disebut Yang Mulia Raheeq oleh Vuura, Taki-laki itu sedang menatap ke arahnya dan Gabrian, dengan sikap seolah-olah ingin berlari memeluk mereka saat itu juga, tapi orang berpakaian serba hitam yang berdiri di samping lak-laki itu begitu ketat menahannya agar tidak bangkit dari singgasananya.

"Kebawah Duli Yang Maha Mulia Paduka Sri Baginda Sultan Omar Mahmoud Ali, hamba mohon, ampun lah Nehan dan Neyzar. Mereka tidak berdosa, jangan buruh mereka, hamba mohon," Yuura tampak mengiba pada sang Raja. "Walau bagaimana pun, mereka anak Yang Mulia Pangeran”

"Diam! Perempuan pendatang Jangan sembarangan berbicara pada Yang Maha Mulia Paduka Sr. Baginda!!" orang berpakaian serba hitam yang ade di samping Raheeq, Ayah Gabriel dan Gabrian, membentak Yuura.

“Seharusnya kamu bersyukur Yang Maha Mulla Paduka Sri Baginda mengizinkan kamu tinggal di kerajaan kami. Tapi kamu masih saja ikut campur: Dasar tak tau diri” Yuura menangis tersedu-sedu mendengarnya.

“Kamu tidak tau apa akibatnya jika mereka dibiarkan hidup?? Kamu tidak tau sudah berapa banyak manusia yang mereka bunuh karena keabnormalan tubuh mereka?? Bahkan mereka juga sudah membuka pintu pembatas mahluk galb dan manusia karena keabnormalan itu, mereka mencampur-adukkan antara mahluk galb dan manusia, dan itu tidak boleh terjadi!" lanjut orang berpakaian hitam yang ternyata adalah salah satu Tetua-terua kerajaan itu.

“Tidakkah kalian punya perasaan? Mereka tidak minta dilahirkan seperti ini, mereka menderita karena keabnormalan mereka!" Yuura memeluk Gabriel dan Gabrian sambil masih menangs.

“ya, dan tru suam kesalahan yang tidak Terampunkan!!"

"Saya tau saya salah!!" Raheeq akhirnya ikut berbicara, memotong perkataan orang berpakaian hitam itu.

"Maafkan hamba, Yang Mulia Pangeran...Tap..." Orang itu buru-buru menunduk hormat pada taheeq.

"Saya tau saya salah, tapi walau bagaimanapun semua sudah terlanjur. Ayah, bukankah kita adalah bangsa yang berbudi dan memiliki adat istiadat luhur, pasti ada solusi untuk semua ini tanpa harus mengotori tangan kita dengan pembunuhan!" kata Raheeq lagi, tak bisa membendung emosinya, berapi-api menatap Yang Maha Mulia Paduka Sri Baginda Sultan Omar Mahmoud All. "Sudah cukup Ayah membunuh kekasihku Nayla, dan kini kenapa hendak membunuh Nehan dan Neyzar juga? Mereka cucu-cucu Ayah, walau bagaimanapun."

"Tapi kita juga bangsa yang memilik hukum dan mengagungkan leluhur kita!" Yang Maha Mulia Paduka Sri Baginda Sultan Omar Mahmoud All angkat bicara.

"Jika para leluhur mengizinkan adanya mahluk-mahluk baru seperti anak-anakmu maka mahluk-mahlak baru itu akan adansejak nerek moyang kita, tapi para leluhur tidak mengizinkan itu Kamu bisa melihat sendiri yang berbuat kesalahan sepertimu pasti harus merelakan anak-anak hasil percampuran itu dimusnahkan. Dan tidak ada pengecualian padamu walau kamu anakku, anak penguasa mahluk halus!"

"Ayah!" Rabeeq memandang Ayahnya dengan putus asa.

“Suamiku." Permaisuri memegang lengan Yang Maha Mulia Paduka Sri Baginda Sultan Omar Mahmood All.. "Bukankah kita masih bisa melakukan satu cara untuk menyelesaikan ini?”

Yang Maha Mulia Paduka Sri Baginda Sultan Omar Mahmoud All menoleh pada istrinya, "Satu cara??"

"Ya, Nehan dan Neyzer selalu menutupi satu sama lain untuk kelangsungan hidup mereka akibat keabnormalan itu, mereka tidak bisa hidup jika salah satu tak ada karena Nehan yang lebih dominan darah manusianya selalu membutuhkan hawa api dari Neyzar untuk menghidupi bagian yang gaih di tubuhnya, begitu juga sebaliknya Neyzar yang lebih dominan dengan hawa apinya membutuhkan darah agar bisa menghidupi bagian manusia di tubuhnya" terang Permaisuri.

"Lalu??"

"Kalau mereka memberikan bagian. Kehidupan mereka pada yang lain maka mereka akan menjadi bangsa kita seutuhnya atau sebaliknya akan menjadi manusia seutuhnya, maka pintu pembatas mahluk gaib dan manusia akan tertutup kembali.,," lanjat Permaisuri memberi solusinya.

"Tapi itu berarti kita harus mengorbankan salah satu dari mereka, Bu?!" tukas Raheeq segera.

"Ya, terpaksa. Tapi setidaknya kamu tidak kehilangan semua anakmu," sahut Permaisuri.

"Itu kejam!!" Yuura setengah menjerit saat mengatakan itu. "Saya rasa Permaisuri sudah memberikan solusi yang sangat bagus!" Yang Maha Mulia Paduka Sri Baginda Sultan Omar Mahmoud All berdiri dari singgasananya membuat semua yang ada di situ menunduk kepadanya tanda beliau sudah menurunkan titah yang harus segera dilaksanakan dan tidak bisa ditawar- tawar lagi. Raheeq cuma terduduk lemas di singgasana peraknya, memandang Yuura sahabatnya dan anak-anaknya secara bergantian.

"Jadi siapa yang kita korbankan, Yang Maha Mulia Paduka Sri Baginda?" tanya Tetua yang berdiri di samping Baginda Raja.

"Tentu saja Nehan, karena dia lebih dominan darah manusia," sahut Yang Maha Mulia Paduka Sri Baginda Sultan Omar Mahmoud Ali sambil memandang Gabriel dan Gabrian yang masih berlutut di lantai.

Gabriel memejamkan matanya, pasrah mendengar vonis yang dijatuhkan kepadanya. Biarlah. Biarlah aku mati. lagipula toh sudah tak ada gunanya aku hidup, Shaquilla  sudah tidak lagi menginginkan aku. Jadi untuk apa? Biarlah aku mempersembahkan jiwaku untuk Gabrian Dia satu-satunya saudara yang aku punya. Setidaknya kelak Gabrian bisa merasakan kebahagiaan, berkumpul kembali dengan Ayah.

Bagaikan sebuah adegan film penjagalan, iring - iringan para mahluk halus itu. membawa Gabriel dan Gabrian menuju ke ruangan lain, ke sebuah ruangan yang berlantaikan batu marmer berwarna-warni dengan dinding - dinding penuh relief aneh ular besar berkepala dua. Di tengah ruangan terdapat sebuah sumur besar. Sumur itu tidak berisi air melainkan cahaya yang begitu terang memancar dari dalam sumur, seolah-olah ada sebuah senter raksasa yang diletakkan di dalamnya. iring-iringan itu berhenti dan mengelilingi sumur itu. Gabriel melihat para petinggi mahluk halus itu seperti melakukan ritual doa di depan sumur.

"Itu sumur keramat peninggalan para leluhur. Sumur itu sangat sakti, bisa mewujudkan apa saja," Yuura yang ikut dalam iring-iringan itu berbisik pada Gabriel. "Sumur itu sangat jarang digunakan. Hanya digunakan untuk hal-hal yang sangat penting saja."

Mau tak mau Gabriel bergidik ketakutan juga ketika tangan-tangan orang-orang aneh, para pengawal kerajaan itu, mencengkeram bahunya, memaksanya untuk berdiri dan menarik rantai lehernya agar berjalan menuju sumur keramat itu. Ada rasa panik yang menyerangnya membuat kakinya serasa sulit untuk berdiri, apalagi berjalan.

"Bro..." terdengar suara Gabrian memanggilnya.

"Ka... Kamu jangan khawatir, Gabrian, Kamu akan aman bersama Ayah," Gabriel berusaha berbicara dengan suara yang dibuatnya setenang mungkin.

Pemuda itu memandangi saudara kembarnya, teringat olehnya segala kemarahannya pada Gabrian, karena ulah Gabrian yang menghancurkan hubungannya dengan Shaquilla , tapi walau bagaimanapun dia tak akan pernah sanggup untuk mendendam pada Gabrian, mereka bersaudara kembar, satu jiwa dalam dua tubuh, tak mungkin dia membenci saudaranya sendiri. Gabriel melihat ada kesedihan mendalam di mata Gabrian, membuat pemuda itu merasa perlu menepuk pundak Gabrian berusaha menenangkan saudaranya itu.

"Tenang, semuanya akan baik-baik saja. Percayalah."

"Tidak Bro, Tidak! Semua tidak akan baik-baik saja!" Gabrian menukas, pemuda berambut kusut itu tiba-tiba menghentak rantainya hingga terlepas dari genggaman salah satu pengawal kerajaan yang sedari awal menjaganya. Gabrian menatap Gabriel lurus - lurus.

"Lebih baik aku saja yang mati. Aku sudah banyak menyusahkan kamu. Izinkan aku membayar semua kesalahanku padamu, Bro."

"Apa maksudmu, Gabrian?" Gabriel terperangah.

"Gabriel, Bro, kamu masih punya Shaquilla . Sedang aku? Tidak ada yang menungguku, selama ini bahkan tidak ada yang menyadari aku ada, karena aku hanya bisa berwujud nyata pada pukul dua dini hari hingga Subuh menjelang. Tidak ada gadis yang mencintai aku. Percayalah, jika kamu menjadi manusia seutuhnya, Shaquilla  pasti mau menerima kamu kembali..."Gabrian tersenyum pada Gabriel, tapi senyum itu justru membuat Gabriel begitu risau.

"Gabrian, jangan bodoh, jika aku mati, kamu bisa berkumpul dengan Ayah. Lihat di sana, Ayah Raheeq sudah menunggumu. Bukankah selama ini kamu selalu menginginkan kehadiran seorang Ayah yang bisa mengakui keberadaanmu?"

"Please, izinkan aku, Bro..." suara Gabrian terdengar bergetar ketika mengatakan itu.

"Aku tidak perlu Ayah manapun, Bro! Sejak kecil, kamu sudah menjadi seorang Ayah sekaligus Ibu terbaik untukku, Bro. Karena kamu yang selalu ada di sisiku saat aku gembira, kamu yang selalu menghibur saat aku sedih.”

"Gabrian! Ka..Kamu..."

"Salamku untuk Shaquilla," Gabriel tak sempat berkata-kata lagi, karena saudara kembarnya itu sudah membalikkan tubuh, pergi meninggalkannya begitu saja. Dilihatnya, Gabrian berjalan makin lama makin cepat, lalu tiba-tiba saja berlari.

Berlari menerobos para mahluk halus yang berusaha menahannya, menerjang apapun yang ada di hadapannya. Gabrian terus berlari menuju sumur keramat itu.

"Gabrian! Apa yang kamu lakukan?!" Gabriel hanya bisa terpana.

Seolah semua tiba-tiba bergerak begitu lambat, seolah semua waktu membeku dalam beberapa detik, Gabriel bagaikan tengah menyaksikan sebuah slow motion film horror yang sangat mengerikan, mendengar Yuura dan Raheeq Ayahnya histeris meneriakkan nama Neyzar, melihat betapa Gabrian memanjat dinding sumur dan melompat ke dalamnya tanpa ragu, dan melihat betapa cahaya terang yang memancar dari dalam sumur itu melelehkan tubuh Gabrian perlahan-lahan, menyisakan lolongan kesakitan Gabrian yang seolah menggema di seluruh ruangan, bagai menulikan pendengaran Gabriel.

"Gabrianaa!!!" teriakan putus asa Gabriel begitu keras terdengar.

TAR!!!

Sebuah suara seperti suara lecutan cambuk terdengar begitu keras membuat Gabriel tersentak kaget, suara itu disusul dengan sebuah bola api berwarna biru berpendar pendar yang menyembur keluar dari dalam sumur keramat itu dan melesat masuk ke dalam tubuh Gabriel membuat pemuda itu menggelepar kesakitan. Gabriel tak tau, tubuhnya tiba-tiba bagai terbakar, begitu panas, membara, sungguh tak tertahankan.

"Aaaaakh!!" Teriakan panjang Gabriel membahana, pemuda itu merasa segalanya berputar cepat, begitu cepat, lalu gelap. Sunyi. Sepi.

01.00amTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang