Jam besar yang ada di dalam menara Kampus berdentang 1 kali, tanda waktu sudah menunjukkan pukul 1 dini hari, di dalam keremangan ruangan musik, alunan biola Gabriel mendayu-dayu lirih mengusik keheningan Kampus yang seharusnya sudah lama terlelap. Satpam Kampus, bahkan sudah bosan melarang si mata abu-abu itu bermain biola di ruangan itu pada tengah malam buta begini. Percuma saja, dilarang pun, Gabriel tetap saja bisa menerobos masuk ke dalam ruangan musik.
Para Satpam tidak habis pikir bagaimana Gabriel bisa masuk ke dalam ruangan yang selalu sudah mereka kunci rapat-rapat sejak mahasiswa terakhir pergi meninggalkan Kampus. Tak ada kunci ganda pada Gabriel, tak ada tanda-tanda Gabriel merusak atau mendobrak pintu ruangan musik.
"Anak muda aneh," komentar mereka bingung.
Setiap malam pada pukul 1 datang ke ruangan musik kampus hanya untuk bermain biola. Di antara tamaram cahaya lampu-lampu taman Kampus yang menerobos dari celah celah gorden jendela ruangan musik yang terbuka, si mata abu-abu itu bisa berjam-jam memainkan biolanya, seolah tak peduli apapun yang ada di sekitar, seolah tak peduli akan keangkeran malam pukul 1 dini hari, yang konon adalah waktu bertemunya gelombang duna gaib dan dunia kasat mata, saat mahluk-mahluk kubur bangkit dari tidur abadinya menjenguk manusia manusia di alam sana.
Entah, mungkin kesunyian ruangan-ruangan kampus itu yang sangat dibutuhkan Gabriel, atau memang Gabriel adalah bagian dari kegelapan malam dini hari.
"Hey! Kenapa? Kamu sudah mengulang nada itu berkali-kali Ada apa, Bro? Lupa dengan kelanjutan lagunya?" sebuah suara -tiba membayarkan permainan biola Gabriel, yang memang malam itu terdengar sedikit berbeda dari biasanya, sepertinya Gabriel sedang tidak konsentrasi memainkan biola seolah ada sesuatu yang membebani pikiran Gabriel, sesuatu entah apa, tapi yang jelas si mata abu-abu tu tampak begitu risau.
Suara itu tergelak, tertawa-tawa tak keruan menertawai kata-katanya sendiri. Gabriel berhenti memainkan biola, menoleh kearah si pemilik suara. Itu Gabrian, saudara kembar Gabriel, muncul dari balik keremangan sudut ruangan musik, Sorot mata abu-abu pomuda itu tampak begitu liar menyeramkan saat membalas pandangan Gabriel padanya.
“Gabrian, jangan menggangguku, ok?” cetus Gabriel.
“Haha, kenapa? Oh aku tau, kamu pasti sedang jatuh cinta dengan si Shaquilla. Bener gak? Karena itu musikmu jadi tak karuan.” Tebak Gabrian sambil tertawa lagi.
"Tau apa kamu ??" sergah Gabriel dengan kedua alis mata bertaut.
"Pantas kamu tidak senang waktu aku mendatangi rumah si Shaquilla tempo hari. Karena Shaquilla jelas mengira yang datang. itu adalah kamu. Ingat? Saat kamu, kebingungan karena kehilangan kalung Bulan sabit, Aku yang sudah membantumu mengambilkan kalung itu dari rumah Shaquilla ." Gabrian bercerita sambil duduk pade salah satu meja yang ada di ruangan musik. Gabriel mendengus mendengar itu.
“Kamu sudah membuat mereka ketakutan."
“Tapi niatku kan baik, menolongmu..."
“Tapi caramu salah."
“Yah, aku harus bagaimana? Sebetulnya aku tak ingin menampakkan diri dengan mereka, tapi mereka sendiri yang menggelar permainan Jelangkung, memanggil mahluk.
“Memangnya kamu mahlak halus?" Gabriel meletakkan biolanya dan menatap Gabrian.
“Entahlah,” sesaat Gabrian tampak kebingungan menjawab pertanyaan saudaranya itu. Tapi aku merasa permainan mistis itu...Permainan itu seolah begitu kuat memanggil-manggil jiwaku, seolah memberi begitu banyak udara untuk bernapas lega, seolah memberi begitu banyak energi untukku, dan pasti sangat berpengaruh untukmu juga kan? Karenal aku merasa kita adalah dua tubuh dalam satu jiwa, apapun yang aku rasakan dan butuhkan...."
“Aku juga ikut merasakan dan membutuhkan," sambung Gabriel dengan wajah muram. "Begitu juga setiap kali aku butuh darah segar, kamu juga..."
"Sangat membutuhkan," Kedua bersaudara kembar itu tertegun. saling menatap satu sama lain, mata abu abu mereka menyorot penuh kegusaran, di dalam benak mereka kini berputar-putar sebuah pertanyaan yang sama, Siapa atau mahluk apa mereka sebetulnya? Mahluk halus? Gabriel bukan mahluk halus yang tidak kasat mata, Gabriel adalah manusia biasa yang butuh makan, dan bisa terluka. Manusia? Gabrian hanya bisa berwajud nyata saat waktu menunjukkan pukul dua dini hari hingga Subuh menjelang di luar waktu itu? Gabrian hanyalah mahluk tak kasat mata. Padahal mereka adalah dua orang yang bersaudara kembar, yang terlahir dari orang tua yang sama.
Orang tua? Itu juga pertanyaan yang menghantui pikiran mereka selama ini Siapa orang tua kandung mereka? Apakah orang tua mereka memiliki keadaan yang sama seperti mereka? Apakah orang tua mereka masih hidup atau sudah tiada? Jika masih hidup, kenapa orang tua mereka tak pernah muncul menemui mereka, anak anaknya? Satu-satanya petunjuk hanyalah kalung Bulan sabit mungil yang ada pada Gabriel sejak bayi, yang sekarang selalu dikenakan Gabriel pada pergelangan tangannya. Hanya itu yang tersisa dari masa lalu mereka. Karenanya Gabriel sangat peduli dengan kalung Bulan sabit itu, siɛpa tau bergana kelak untuk menemukan orang tua kandung mereka.
“Sepertinya kamu tidak akan bisa mencintai Shaquilla , bro..." kata Gabrian memecah kesunyian.
“Penyakit ketergantungan darahmu akan membahayakan nyawa gadis itu.” Peringatan Gabrian membuat Gabriel mengeratkan kening.
“Kamu tau, sudah berapa banyak nyawa yang melayang, sudah berapa kali kamu berpindah tempat tinggal, orang tua angkat kita, maksudkuu, orang tua angkatmu, sudah berganti-ganti pasangan orang tua yang merawatmu, saudara-saudara angkatmu, bahkan kamu sudah pernah dibawa ke panti asuhan, dan berapa banyak anak panti yang..."
"Sudahlah, jangan mengulang-ulang cerita itu lagi, Gabrian. Aku tak suka mendengarnya!" Gabriel mengeluh.
Hanya kekuatan kita yang menyelamatkanmu dari Polisi karena pembuahan - pembuahan yang kamu lakukan.
"Gabrian, please?" Gabriel menatap Gabrian dengan gusar, karena kata-kata Gabrian semua benar dan Gabriel merasa sangat sulit menerima kenyataan itu.
"Kamu ingat? Salah satu dari sekian banyak pasangan orang tua angkatmu, pernah memanggil Paranormal, atau 'Orang Pintar'..Ah apalah namanya, karena mereka mengira ada mahluk gaib yang mengganggu jiwamu, dan berusaha mengeluarkannya dari tubuhmu, mereka tak tau, tindakan itu justru menyiksamu, karena yang gaib itu sebetulnya bagian dari dirimu juga, hahaha!"
Gabriel terjengit, terbayang peristiwa yang sangat menyiksanya dulu saat dia berumur 18 tahun, betapa 'Orang Pintar' itu memaksa, menarik jiwa gaibnya melalui ubun-ubun, membuat dirinya bagai gila, merasakan sakitnya. Yang pada akhirnya Nakula membantunya membunuh 'OrangPintar' itu, agar siksaan berakhir.
"Lupakan Shaquilla, percayalah, mahluk sepertimu tak kan pernah bisa jatuh cinta. Terimalah kenyataan, bro!"
"Nakula! Lebih baik kamu diam!" Gabriel mengacungkan telunjuknya pada Nakula.
"Oh ayolah, bro!"
"Asal kamu tau, aku..Aku tak bisa menerima kenyataan itu! Aku tak kan pernah bisa!"
Bersamaan dengan tersemburnya kata-kata itu, entah darimana, tiba-tiba saja hembusan angin menerpa tubuh Nakula begitu kencang, hingga pemuda berambut acak-acakan itu langsung jatuh terjengkang beberapa meter ke belakang dibuatnya.
"Bro? Apa yang kamu lakukan?" Mau tak mau menggidik juga Nakula melihat mata abu-abu Gabriel yang berkilat begitu tajam menatap ke arahnya. "Apa salahku? Aku.. Aku mengatakan apa adanya, bukan?"
Belum sempat Nakula berdiri, berbagai benda yang ada di ruangan musik tiba-tiba terbang melesat menghujani saudara kembar Gabriel itu. Membuat Nakula terbelalak kaget, setengah mati berkelit kesana - kemari demi menghindari benda-benda itu.
"Bro, hentikan! Please! Kendalikan emosimu!"
TARR!! TAARR!!
Bagaikan bunyi sambaran petir yang bertubi - tubi mengerikan, kaca-kaca jendela di ruangan musik kampus susul – menyusul pecah berderai tanpa sebab.
"Bro Gabriel! Hentikan, bodoh! Apa kamu mau memanggil Satpam - satpam itu agar datang ke sini?!" Nakula berteriak kewalahan menghadapi serangan benda-benda yang terbang melesat dari segala arah menghujani dirinya, beriringan dengan derai pecahan kaca jendela yang juga berterbangan.
Dan betul saja, dari kejauhan terdengar langkah-langkah kaki dan suara-suara para Satpam Kampus yang datang berlarian mendekati ruangan musik. Semua benda-benda yang tadinya melayang-layang kacau di ruangan itu tiba-tiba jatuh ke lantai, diam tak bergerak lagi. Gabriel masih mendelik memandang Nakula, tapi sorot matanya tidak segarang tadi.
"Aku pergi, bro," kata Nakula terburu-buru, dan segera menghilang dari ruangan musik.
Gabriel tidak menjawab, pemuda itu mengambil biolanya dan menyelinap pergi dari ruangan itu sebelum para satpam kampus mendobrak masuk, terbelalak kaget melihat pecahan kaca jendela yang berserakan dan betapa kacaunya ruangan musik seolah baru saja ada angin topan melanda.
Gabriel menyusuri lorong-lorong gelap bangunan kampus, menjauhi ruangan musik. Wajah Gabriel terlihat masih gusar karena pembicaraannya dengan Nakula. Kenapa? Kenapa aku terlahir seperti ini? Siapa aku sebenarnya? Setan? Hantu? Oh, shit! Aku ingin hidup normal seperti yang lainnya. Bisa hidup bebas tanpa harus membunuh. Berkali-kali aku ingin mengakhiri hidup, Gabriel mengeluh panjang, dengan tangan bergetar mengusap rambutnya. Aku juga ingin bisa mencintai dan dicintai...
Ok, benar, aku..Aku mencintai Shaquillasekarang. Tapi sungguh, seumur hidup baru kali ini aku merasakan cinta yang begitu kuat menyesakkan setiap denyut nadiku. Begitu banyak gadis di sekelilingku, tapi Shaquilla...Setiap kali aku memandang bola mata innocent itu, setiap kali aku memandang senyuman indah itu...
Tangan Gabriel mengepal begitu kuat hingga buku-buku jemarinya memutih, sesak napasnya menahan emosi yang bergejolak ingin keluar.
Tapi harus kuakui Gabrian benar, penyakit ketergantungan darah itu bisa mencelakai Shaquilla , pemuda itu terjengit putus asa, Tuhan apa yang harus kulakukan? Haruskah aku meninggalkan Shaquilla ? Haruskah aku melupakannya?
"Aarggh!!" Gabriel tak dapat menahan raungan kekecewaannya, kecewa akan takdir hidup yang sangat bertentangan dengan hati nuraninya. Pemuda itu menghujam kepalan tangannya ke dinding lorong kampus, berkali-kali.
Jika sesuatu tidak tiba-tiba melompat keluar dari jendela ruangan kuliah yang terbuka, tak jauh dari tempatnya berdiri, mungkin darah akan segera menghiasi kepalan tangan itu, karena Gabriel bagai kelebihan tenaga, tidak berhenti memukuli dinding lorong untuk memuasi gejolak kecewa hatinya. Sekilas Gabriel yakin matanya tak salah melihat, sosok yang melompat itu adalah seekor kucing berbulu putih dengan sedikit belang hitam pada bagian telinga, tapi saat aroma melati merebak, begitu mengusik hidung, membuat Gabriel mengeluh. Sosok itu bukan kucing.
Aroma bunga melati itu menuntun pandangan Gabriel berserobok dengan sesosok tubuh yang mengenakan gaun putih panjang sekarang sedang berjongkok membelakanginya, di depan anak tangga penghubung lantai dua bangunan kampus. Siapa? Siapa yang masih betah berada di kampus pada dini hari begini? Batin Gabriel, mau tak mau mendesir juga darahnya menatap punggung sosok itu.
Lirih suara sosok itu terisak, cukup mendirikan bulu kuduk, tapi Gabriel yang sudah terbiasa dengan mahluk mahluk astral seperti Gabrian, tak gentar untuk mendekati dan menegur sosok yang sepertinya sedang menangis itu. Seorang perempuan. Mungkinkah dia adalah mahasiswi yang tertinggal, karena sibuk mengerjakan tugas, hingga lupa waktu dan terjebak dalam bangunan kampus yang sudah terkunci dari luar?
"Kak?" Teguran Gabriel membuat sosok itu memutar kepalanya perlahan, menoleh.
"Ya ?"
Nyaris Gabriel terpeleset jatuh, karena begitu kaget, saat beradu pandang dengan sepasang bola mata hitam tanpa sklera, yang mendelik begitu lebar padanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
01.00am
أدب المراهقين"Maafkan aku, tapi aku...Aku tak bisa menyimpan rasaku," sekilas Gabriel tampak begitu gugup, karena Shaquilla menatapnya dengan mata berkaca-kaca. "Aku...Aku hanya ingin mengungkapkan perasaanku, jika boleh aku mengatakan. Aku...Aku sungguh mencin...