"Dewa! Kenapa sih, kamu selalu menghindar? Hmm, memang susah ya buat orang yang mau melarikan diri dari tanggung jawab” sindir Talitha ketika melihat Gabriel buru-buru mengemast buku-buku kuliahnya saat dia masuk ke dalam ruangan kuliah Gabriel.
"Tanggung jawab apa? Semuanya terjadi bukan karena kemauanku! Kamu saja yang memaksa," tukas Gabriel kesal.
"Dewal Dengar aku! Kamu sudah terikat denganku, bagaimanapun akan kuruntut tanggung jawabmnul Atau..."
"Atau apa?" Gabriel mendelik pada Talitha.
"Jangan coba-coba mengancamica, Talitha!"
"Aku tak akan mengancammu, Sayang" Talitha tertawa hambar, tapi matanya berkilat berbahaya. "Tapi Shaquilla!"
"Shaquilla? Apa maksudmu?"
"Shaquilla akan sengsara jika kamu tidak bertanggung jawab padaku,"
"Apa?!" Gabriel terperangah.
"Ya Shaquilla akan kuɔuat sangat sengsara!” Talitha memaksa Gabriel melihat keluarnjendela, jauh di bawah pohon rindang dibbelakang ruangan kuliah itu.
"Apa yang kamu lakukan pada Shaquilla ?" Teriak Gabriel langsung ingin menerjangnkeluar, tapi ditahan Talitha. Pemuda itubmendelik saat melihat teman-teman satu genk Talitha mengelilingi Shaquilla, merampas buku-buku kuliah Shaquilla dan melempar - lemparnya, sehingga gadis itu kebingungan berusaha ke sana - le mari mengumpulkan buku-buku itu lagi.
"So, kamu paham kan, Dewa Sayang?" Talitha tertawa penuh kemenangan melingkarkan kedua tangannya di leher Gabriel dongan gaya manja, membuat Gabriel mengertakkan giginya berusaha menahan amarah.
Sore itu pulang dari mengantarkan Talitha, Gabriel masuk ke dalam apartemennya dannmembanting kunci Harley Davidsonnya ke atas meja. Tak puas cuma membanting kunci, Gabriel menendang meja itu sekuat tenaganya sehingga barang-barang yang ada di atas meja itu jatuh berserakan ke lantas.
"Shit! Shit! Shit!" Makian itu berkali-kali terlantar dari mulutnya. Ini semua gara-gara perbuatan kamu, Gabrian! Aku jadi terperangkap dengan Talitha! Rraagh!" Gabriel melirik sinis sofa yang ada di dekamya, kosong, tap terlihat seperti ada seseorang yang sedang berbaring di sana bergerak-gerak gelisah, dan menjatuhkan bantal bantal sofa. Itu Gabrian. Dan hanya Gabriel yang mampu melihat sosoknya, di luar pukul dua dini har.. Pemuda itu tau Gabrian sedang kesakitan akibat hajarannya dini hari kemarin.
“Aku tau dia saudara kembarku, saudara kandungku satu-satunya, tapi perbuatanbGabrian yang seenaknya pada Talithe tidak bisa ditolerir”, geram Gabriel dalam hati.
Terpandang olehnya figura foto Shaquilla yang terpajang di dinding apartemennya, tak terasa tangan Gabriel terulur, meraba foto itu. Mata abu-abu itu tampak begitu redup karena sedih memandangi wajch ceria Shaquilla dalam foto itu, wajah yang sedang tersenyum manis padanya.
"Maafkan aku Shaquilla , padahal kita baru saja bahagia bersama... Uukh." tiba-tiba Gabriel memegangi dadanya, terbungkuk kesakitan Apakah rasa sakit Gabrian merajam tubuhica juga? Rintih pemada bermata abu-abu itu sambil mencengkram kuat baju di dadanya, menahan rasa sakit yang mendadak menyerangnya. Oh, bukan, penyakit itu, ya penyakirinu datang lagi! Stal!
Gabriel melorot jatuh ke lantai berkarpet apartemennya. Bunyi iphone yang mendadak berdering ribut mengejutkan pemuda berparas menawan itu "Aargh!" Gabriel mendelik marah ke arah iphone. "Diam!"
Iphone serta-merta melesat keluar dari tempatnya, menabrak dinding dan jatuh berdera berantakan.
"Oh shit! Sa-sakit sekalli Aku tidak sanggup lagi. Darah! Darah! Aku butuh darah!!"
Langkah-langkah kaki yang datang mendekati pintu apartemennya membuat mata abu-abu Gabriel waspada menatap pintu yang sedikit terbuka itu.
"Gabriel, kenapa kamu tidak menjawab teleponku?!" Rendy drummer band penggiring konser biola Gabriel tiba-tiba masuk. "Sorry nih, aku tau kamu selalu melarang siapapun datang ke apartemenunu, tapi ada hal sangat penting yang harus..
BRAAAK!!
Belum sempat Rendy meneruskan kata-katanya, pemuda bergaya funky Itu sudah jatuh terjengkang, karena Gabriel menerkamnya dengan brutal dan mencengkram lehernya.
"Hey, ada apa ini? Lepaskan aku!!” Rendy berteriak kaget, tak mengira Gabriel menerkamnya seperti itu, reflek Rendy menendang rekan musisinya itu hingga berganti, kini Gabriel yang terhentak ke belakang, menabrak sofa begitu kuat, rantai kalung Bulan sabit yang melilit pergelangan tangan Gabriel putus tersangkut ujung sofa. Bandul Bulan sabitnya menggelinding di lantai, membentur dinding dan terbuka menjadi dua bagian, Gabriel meraung murka, tak peduli dengan Bulan sabit, karena pemuda itu lebih terfokus pada Rendy.
Bagai harimau yang terluka, dia bangkit dan mengangkat kedua tangarunya.
BRAAK! BRAKK!
Pintu apartemen, tirai tirai jendela, tiba -tiba tertutup sendiri. Rendy terbelalak panik, segera memburu pinta hendak membukanya, tapi pintu itu bagai terkunci rapat, berlari ke jendela, sama saja. Pemuda funky itu begitu ngeri menatap Sadeva yang dianggapnya sudah tidak waras, kini sedang berjalan semakin mendekatinya.
Mata abu-abu Gabriel yang berubah putih keseluruhan, mendelik lebar, membuat keringat dingin Rendy yang sudah terpojok itu, bercucuran membasahi tubuh.
"Sadewe? Ma..Mau apa kamu?" Cicit Rendy dengan tubuh gemetar.
"Aaarrghh!!" Sebagai jawaban, Gabriel yang sudah kesetanan itu menarik Rendy denganbkasar, tanpa aba-aba, segera merobek kerah T-shirt yang dikenakan Rendy membuat pemuda funky itu mendelik kaget, "Ka...Kamu..." Rendy berusaha memberontak, tapi Gabriel yang sedang kalag, jauh lebih kuat.
"Darah..." geram Gabriel tak sabar mencengkram erat kedua bahu Rendy.
"Da..Darah?" Sia-sia pertanyaan itu, Rendy bahkan tak sempat berteriak lagi saat Gabriel membenamkan taringnya ke leher drummer yang juga temannya itu dengan ganas.
Tubul Rendy mengeliat gelat meregang nyawa, sebelum akhirnya Gabriel menjatuhkan tubuh drummer itu ke lantai, Gabriel ikut tersungkur di samping tubuh Rendy yang sudah tak bernyawa itu. NapasbGabriel terengah-engah, baru terlepas dari perjuangan menghilangkan rasa sakitnya.
Perlahan Gabriel mengangkat kepalanya, menatap mayat Rendy dengan pandangan nanar.
"Rendy, maafkan aku," dengan tangan gemetar, Gabriel menutup mata mayat Rendy yang mendelik menatapnya seolah tak rela nyawanya di renggut.
"Ke-kenapa kamu datang ke apartemen? Padahal aku sudah bilang berkali-kali, jangan pernah datang..” Lara Gabriel menatap mayat Rendy, sedih.
"Sa..Shaquilla pun akan berakhir seperti ini jika dia dekat denganku..." pemuda itu merasa begitu frustasi setiap kali memikirkan hal itu, oh Tuhan, apa yang harus kulakukan? Kenapa takdirku terasa begitu menyakitkan?
Gabriel teringat dengan kalung Bulan sabit yang terlepas dan pergelangan tangannya. Si mata abu-abu itu memandang ke arah sofa, mencari kalung yang sangat penting baginya itu.
"Ssah—shit! Apa ini?" Gabriel terperangah menemukan bandul Bulan sabitnya di sudut dinding, tergeletak dalam keadaan terbuka, ada rongga terlihat di dalamnya. Sebuah gulungan kertas tua yang tersembul begitu menarik perhatian Gabriel. Pemuda itu bingung saat membuka gulungan. Tulisan apa ini? Sederet tulisan aneh tertulis rapi di helai kertas tua itu. Huruf-huruf Arab Melayu kuno, keluh Gabriel, aku tak bisa membacanya. Tapi dua baris kalimat terakhir tertulis dengan huruf alphabet yang bisa dipahami.
'Nayla dan Yang Teramat Mulia Duli Paduka Sri Pangeran Muda Mahkota, Raheeq Mahmoud Ali, Istana Keramat Matmun'
"Yang Teramat Mulia Duli Paduka...What?"
Gabriel terbelalak, setengah mencemoohbtulisan itu. Bertahun-tahun kalung Bulan sabit ini bersamaku, baru tau ternyata ada rongga di dalam bandulnya. Tapi apa maksud tulisan Arab Melayu ini? Siapa Nayla? Dan siapa Yang Teramat Mulia Dali Paduka....Yeah, si Raheeq int? Gerutu Gabriel bertanya-tanya. Lalu Istana Keramat Maimun? Di mana itu? Oh, tidak: Tiba-tiba Gabriel menggigil, menjatuhkan gulungan kertas dan kalung Bulan sabit yang ada dalam tangannya. Wajahnya langsung memucat. Apakah. Apakah Nayla dan Raheeq ini...
*****
Gabriel tidak memedulikan gadis-gadis yang berbisik-bisik sambil sesekali cekikikan, mengintip dirinya dari balik buku -buku mereka.
Pemuda itu tau gadis-gadis Itu sedang membicarakan dirinya, seperti biasa, 'Gabriel ganteng, Gabriel so cute, sudah menonton konser Gabriel berapa kali, sudah beli albumnya. Gabriel sudah punya kekasih belum, seandainya aku jadi kekasih Gabriel, seandainya aku dihanceng Gabriel, bla bla bla, Gabriel memutar bola matanya, bosan. Gadis-gadis itu, seperti tidak berkesudahan membicarakan dirinya, beranda andai. Apa tidak ada pembicaraan lain?
Pemuda itu menggerutu, beranjak pindah ke pojok perpustakaan Kampus, tersembunyi di balik rak - rak buku yang menjulang tinggi, menjauhi gadis-gadis itu.
Setelah merasa terlepas dari pandangan gadis-gadis centil itu, Gabriel menarik napas lega, berusaha kembali fokus dengan tumpukan buku di hadapannya.
'Sejarah Budaya Melayu Kuno', 'Bahasa Arab - Melayu kuno' hampir semua tema buku yang dipilih Gabriel berbunyi senada, membahas masalah bahasa Arab Melayu Kuno. Si mata abu-abu itu sangat penasaran dengan isi gulungan kertas tua yang bertahun-tahun ternyata tersimpan dalam Bulan sabitnya.
"Sepertinya tulisan dalam kertas tua ini, sejenis mantra," Gabriel mengerutkan kening, sambil membolak-balik kertas tua itu. "Mantra apa ya? Mantra pelindung? Oh, shit!"
Kalung Bulan sabit yang ada dalam genggaman Gabriel tiba-tiba tergelincir jatuh, menggelinding masuk ke bawah meja pustaka. Pemuda bermata abu-abu itu segera membungkuk untuk mengambilnya.
"Ssh..Sshiitt!" Gabriel tersentak ketikantangannya menyentuh sesuatu yang dingin di bawah meja. Sesuatu yang tiba-tiba mencengkram tangannya kuat-kuat, seolah hendak menyeretnya lebih dalam ke bawah meja itu.
Mata abu-abu Gabriel mendelik melihatbseraut wajah putih keriput tergolek di antara kegelapan bagian bawah meja pustaka yang tertutup taplak besar. Rambut panjang wajah itu tipis, penuh uban, tergerai menutupi lantai, tersangkut-sangkut sarang laba-laba dan debu seolah dia sudah bertahun-tahun tergolek di sana. Mata wajah itu melotot menatap Gabriel, abu-abu seperti warna mata Gabriel, tapi mata itu tampak begitu dingin mengerikan.
"Bulan sabit pelindung itu sudah terbuka, tak ada yang melindungimu lagi sekarang!"
Desis wajah itu sambil menyeringai. Kepala Gabriel terbentur-bentur bagian bawah meja pustaka karena berusaha keluar dari sana dengan terburu-buru. Napas Gabriel memburu cepat.
"Si-Siapa kamu? Apa maksudnya?" Gabriel bangkit dan bergerak mundur menjauhi meja pustaka, nyaris terpeleset jatuh saat menyaksikan sesosok tubuh renta perlahan-lahan merangkak keluar dari bawah meja pustaka membawa serta semua sarang laba-laba yang menyangkut pada rambut dan tubuhnya.
"Akhirnya kami bisa mendekatimu sekarang," Sosok itu berbicara seperti ular mendesis. "Kami ditugaskan untuk menyingkirkan kamu dan saudaramu. Kalian harus musnah!"
Gabriel terperangah mendengar itu. "Apa?"
"Kalian, si kembar Nehan dan Neyzar, anak terkutuk! Kalian tak boleh ada!" sosok itu bergeser mendekati Gabriel, tangannya yang berkuku-kuku panjang, terjulur ke depan hendak meraih pemuda itu.
"Kebawah Duli Yang Maha Mulia Paduka Sri Baginda Sultan Omar Mahmoud Ali sudah memerintahkan kami..."
"Jangan sentuh aku!" Gabriel sekuat tenaga menendang tubuh sosok renta yang kian mendekatinya. Pemuda bermata abu-abu itu memberontak dan menerjang apapun yang ada di hadapannya, bagai kalap berlari keluar dari bangunan perpustakaan kampus, membuat tercengang gadis gadis yang tadi membicarakannya, juga mahasiswa - mahasiswi lain yang masih berada dalam perpustakaan pada sore menjelang maghrib itu, tapi Gabriel tak peduli. Satpam kampus yang berjaga di pintu gerbang juga cuma bisa ternganga melihat Gabriel melarikan Harley Davidsonnya bagai kesetanan melesat entah kemana.
KAMU SEDANG MEMBACA
01.00am
Novela Juvenil"Maafkan aku, tapi aku...Aku tak bisa menyimpan rasaku," sekilas Gabriel tampak begitu gugup, karena Shaquilla menatapnya dengan mata berkaca-kaca. "Aku...Aku hanya ingin mengungkapkan perasaanku, jika boleh aku mengatakan. Aku...Aku sungguh mencin...