Belle sama sekali tidak peduli dengan tatapan mata Al di depannya. Dia hanya terus menyantap makanannya di depannya dengan lahap. Seakan sudah beberapa hari dia tidak makan.
Meski Al berkali-kali meliriknya sekilas, lalu kembali menyesap teh nya. Belle sama sekali tidak peduli. Dia masih terus menyantap makanan hingga tandas. Sama sekali tidak menyisahkan sedikit pun.
"Sepertinya kamu benar-benar lapar?!" Sindir Al begitu Belle menggeser piringnya yang sudah tandas. Menegak minumannya tanpa peduli dengan sindiran Al. Oh, tentu saja. Siapa yang peduli dengan Al--orang yang sudah membuatnya kelaparan seperti sekarang.
Al sendiri, dia tidak ambil pusing dengan sikap Belle. Dia malah terlihat menikmatinya.
"Mau ke mana?" Tanya Al begitu Belle berniat turun dari kursinya.
"Tidur, apa lagi?" Jawab Belle sekenanya. Sebenarnya dia tidak tertarik untuk berbicara dengan Al, atau meladeni pria itu lebih banyak lagi. Tapi dia juga tidak bisa bersikap semaunya. Mengingat, siapa dia di rumah ini.
"Kamu tidak ingin meneruskan obrolan kita tadi?"
Gerakan kaki Belle yang sudah melangkah beberapa langkah terhenti. Kepalanya berputar ke belakang. Menatap Al dengan satu alis terangkat tinggi.
"Kamu tidak ingin tahu apa rencana ku mengirim Olivia ke luar negeri?" Al menyesap teh nya dengan gaya elegannya. Membuat Belle mendengus malas.
"Tidak." Jawabnya mantap. Kembali meneruskan langkah kakinya sebelum suara Al kembali menarik perhatiannya.
"Aku ingin kita kembali bersikap seperti biasa." Ucap Al santai. Tidak peduli dengan Belle yang tidak ingin mendengarnya. Semakin Belle terlihat tak peduli, dia semakin ingin mengatakannya.
"Kamu akan menjadi partner ku seperti dulu."
Kepala Belle berputar cepat. Menatap Al dengan wajah tak percaya bercampur syok.
"Menghadiri pesta, bersikap layaknya istri yang manis, juga--" mengangkat wajahnya. Al menyeringai lebar. Membuat Belle kesulitan mengerjab lantaran tatapan mata pria itu yang menguncinya.
"Menghangatkan ranjang kita." Ada nada puas di sana. Tidak lupa wajah penuh kemenangan lantaran berhasil membuat Belle mengangakan mulutnya.
Belle, dia benar-benar layaknya orang bodoh saat ini. Terutama ketika Al turun dari kursinya. Melangkah lambat ke arahnya dengan tatapan mata yang tidak lepas menatapnya.
"Bagaimana? Kamu setuju kan?" Tanya Al begitu dia berdiri di depan Belle. Mengulurkan tangan untuk menyingkirkan anak rambut wanita itu yang sedikit berantakan.
"Kita akan bersikap sebagai mana beberapa tahun ini. Dengan kamu yang selalu bersikap menjadi istri yang baik hati juga--"
Ucapan Al terhenti begitu Belle beringsut mundur. Membiarkan tangan Al menggantung di udara.
"Kenapa? Jangan bilang kamu tidak setuju, Belle?" Satu alis Al terangkat dengan tangan bergerak turun. Namun, sorotnya sedikit menajam begitu Belle terus bergerak mundur hingga beberapa langkah.
"Ya." Angguk Belle cepat. "Aku sama sekali gak setuju." Tambahnya. Membuat Al mengangguk-anggukkan kepalanya mengerti.
"Baiklah." Jawabnya di luar dugaan Belle. Dia kira Al akan marah atau tersinggung dengan kata-katanya. Namun nyatanya, pria itu menyetujuinya dengan mudah. Belle bahkan tidak percaya dengan itu semua.
Mengerjakan mata berkali-kali. Belle berusaha menatap wajah Al lebih seksama.
"Kamu setuju kalau aku keberatan dengan permintaan mu?" Tanyanya terdengar tak percaya. Juga takjub. Hei, bukankah itu artinya Al akan melepaskannya begitu saja? Semudah itu?
"Tentu." Angguk Al. "Aku tidak mau memaksa kamu untuk berada di samping ku." Belle tidak tahan untuk tidak menarik sudut bibirnya. Dia senang dengan jawaban Al. Hingga senyum lebar langsung terbit tanpa bisa di tahan.
"Apa itu artinya Olivia tidak akan pindah?"
Alis Al kian terangkat tinggi. "Tentu saja tidak."
Senyum Belle surut. Tergantikan dengan wajah bingung yang begitu ketara.
"Olivia akan tetap pindah, dia akan melanjutkan studinya di luar negeri."
"Lalu aku?" Tanpa sadar kata itu keluar dari bibir Belle, membuat Al melipat kedua tangannya di depan dada.
"Kamu?" Tanya Al yang diangguki cepat oleh Belle.
"Kenapa dengan kamu?"
"Aku ke mana kalau Olivia ke luar negeri? Apa aku juga harus ikut dia?"
"Kenapa kamu harus ikut dia?"
Belle mengerjab. Berusaha mencerna semua obrolan mereka saat ini. Sampai--
"Apa kita akan bercerai?" Entah mengapa, itu adalah hal terakhir yang terpikir oleh Belle. Membuat dia menelan ludah dengan rasa takut yang luar biasa besar. Jika mereka bercerai, itu artinya?
Seringai menakutkan Al terbit, membuat Belle tahu jika ketakutannya akan menjadi nyata. Jadi yang bisa dia lakukan saat ini adalah memasang telinga sebaik mungkin, untuk mendengar apa yang akan Al keluarkan saat ini.
"Apa aku punya alasan untuk menahan kamu ada di samping ku, Belle? Sedang kamu tidak tertarik berada di samping ku?"
Kepala Belle mendadak berdenyut, berputar dengan rasa pusing bercampur rasa dingin yang menyerang tubuhnya.
Tak peduli dengan wajah Belle yang kelihatan linglung, dengan santai Al malah melangkah mendekat. Memangkas jarak hingga kembali berdiri di depan wanita itu.
"Pilihannya hanya dua di sini." Al begitu menikmati bagaimana Belle menatapnya.
"Kamu berdiri di samping ku seperti beberapa tahun terakhir. Atau," mengulurkan tangan. Al mengusap pipi tirus Belle hingga menarik perhatian wanita itu. Mengunci pandangan wanita itu untuk menatap mata tajamnya.
"Kamu akan pergi menjauh." Belle tidak bisa berpaling. Dia hanya bisa membeku dengan tubuh mulai menggigil.
"Sejauh. Mungkin, Belle!" Tekan Al begitu tajam. Lengkap dengan seringai puas juga kejam khasnya. Pertanda jika saat ini dia sedang tidak main-main dengan ucapannya.
"Kamu tahu--"
Belle ingin menepis tangan Al, menjauh dari pria itu sejauh mungkin. Tapi tubuhnya terasa sulit digerakkan. Mereka begitu berkhianat hingga dia hanya bisa diam, membiarkan tangan Al yang bermain-main di wajahnya dengan wajah terlihat begitu pasrah.
"Aku tidak suka kalah. Jadi, akan aku pastikan kamu lebih menderita jika berpisah dengan ku, Belle."
"Tapi sebaliknya," seringai Al terganti dengan senyum manis. Senyum yang sama sekali tidak menarik di mata Belle.
"Jika kamu mau berdiri di samping ku, maka kamu tidak akan menyesal. Bagaimana?"
Tidak. Seharusnya Belle menjawab itu. Dia tidak perlu berpikir dua kali untuk semua itu. Tapi semua seakan kelu, tubuhnya, suaranya. Hilang tanpa bisa dia gerakkan dan keluarkan. Jadi yang bisa dia lakukan saat ini hanya diam dengan wajah kaku.
"Apa diam mu bisa aku artikan sebagai iya, Belle?"
"A---ku--"
"Jangan pernah berpikir untuk bisa lepas dengan mudah, Belle!" Ucap Al penuh peringatan.
"Aku bisa membuat kamu dalam masalah hanya dalam sekejap." Tambahnya layaknya alarm peringatan. Membuat kepala Belle kian terasa pusing bukan main, hingga yang bisa dia lakukan saat ini hanya memejamkan mata sejenak. Membiarkan tangan Al terulur ke tengkuknya. Menarik leher itu untuk bersandar di pundaknya.
"Kamu lelah? Kita bicara lagi nanti!"
Belle tidak membalas, dia hanya diam dan pasrah. Bahkan ketika Al mengangkat tubuhnya. Membawanya dalam gendongannya. Belle hanya bisa diam, meletakkan kepalanya di dada Al dengan kedua mata kian terpejam erat. Dia terlalu lelah juga pusing. Semua kata-kata Al terlalu mengejutkan juga menakutkan untuk dia pikirkan saat ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kawin Gantung(SELESAI)
RomanceHarap pintar dalam memilih bacaan!! Untuk yang tidak suka sesuatu yang bikin hati ngilu, jauh-jauh!! ***** Belleza kira--dia adalah satu-satunya wanita yang berdiri di samping suaminya--Al selama lima tahun terakhir ini. Menjadi istri sekaligus wani...