Lembar Kelima

147 13 0
                                    

Sesuai dengan janjinya, Denara mengantarkan putranya menuju rumah  seseorang yang masih bagian dari keluarganya usai proses pendaftaran itu selesai. Meskipun khawatir, ia berusaha percaya. Setahun lama nya ia mengerti jika hubungan dua sosok yang dulunya saling menyayangi itu memburuk; selama itu pula ia tak bisa berbuat banyak. Denara berusaha memaklumi hal tersebut sebagai sesuatu yang wajar. Pikirnya, mungkin masalah itu akan selesai ketika putranya sendiri yang turun tangan secara langsung. Secara langsung pun ia sadar jika putranya banyak terganggu dengan masalah yang ada, pun dengan Afka yang sama sekali tak pernah berkunjung lagi ke rumahnya.

"Mau mama temenin?"

"Nggak perlu, Ma. Aku bakal hubungin Kak Denta buat nyusul, kok. Biar pulangnya sekalian bareng."

Denara tersenyum simpul, mengangguki ucapan duplikat sosok yang telah lebih dulu berpulang. "Mama titip salam aja ya! Besok mama juga udah ada janji sama Tante Afra, biar sekalian besok ketemunya."

"Siap. Mama hati-hati nyetirnya."

Gerbang yang sedikit terbuka itu kini dibuka lebar dari dalam. Sosok pria paruh baya yang sudah sangat mengenalnya itu menyapanya, Alan balik memberi sapaan yang lebih hangat. Sudah dipersilakan masuk, maka langkahnya kini secara teratur menuju ke tempat tujuan.

"Sayang, kamu sama siapa?"

Alan tersenyum. Bahkan ia baru akan bersuara, tapi nyatanya Afra sudah menyapanya lebih dulu dengan raut keterkejutannya. Raut terkejut itu sama persis seperti yang ia lihat kemarin kala Afra membukakan pintu untuknya dan Denta.

"Dianterin mama, Tante."

"Mama kamu kebiasaan, jarang mau mampir." Keluh wanita itu menggiring sosok manis kesayangannya langsung menuju ruang tengah.

"Tante mau keluar?" Tanya anak itu menyadari jika Afra kini tampak rapi dengan baju formal, tangan kirinya pun sudah menenteng tas bertali pendek. Satu lagi, mungkin saja saat membukakan pintu tadi juga berbarengan dengan akan keluarnya sosok wanita penyayang di hadapannya.

Afra tersenyum, akan tetapi tampak sekali jika aura wajahnya tak secerah tadi. Wanita itu menatap intens sosok yang kini menatapnya penuh harap. "Mau ketemu Afka ya?" Tanyanya pelan.

"Kalau dibolehin, Tante." Cicitnya pelan. Kala menyusul Afka ke area pemakaman kemarin, Afra sejujurnya juga kurang berkenan. Itu yang kini Alan pikirkan. Ia tahu jika maksud wanita berparas ayu di hadapannya juga demi kebaikan dirinya. Namun, jujur saja ia kurang setuju.

Afra menggeleng. "Bukannya nggak boleh, Sayang. Tapi, Alan tau sendiri 'kan gimana keadaan kakaknya? Tante nggak mau kamu sedih gara-gara sikap Afka yang pasti banyak berubah."

Suara dering ponsel itu mengalihkan perhatian keduanya. Afra membuka tas miliknya, meraih ponsel yang sudah berdering nyaring. Suara itu lenyap kala Afra sudah bersuara, menjawab panggilan dari seberang. Selesai dengan urusan telepon, kini Afra kembali menatap sosok yang sudah setahun lamanya tak muncul di hadapannya. Wanita itu menghembuskan nafas lelah. Dengan pertimbangan lagi-lagi ia mengalah.

"Afka baru istirahat, Alan bisa langsung masuk. Tapi, kalau kakak kamu udah beneran keterlaluan, langsung tinggalin."

Alan mengangguk patuh. Padahal takaran untuk kata keterlaluan saja ia tak mengerti. Menatap kepergian Afra yang sudah pamit, dengan langkah ragu ia menapakkan kakinya menuju sebuah ruangan. Pintu yang tertutup rapat itu ia buka dengan perlahan, tak ada suara yang timbul.

Hati mungil anak itu tersentil melihat sosoknya berbaring miring memeluk guling. Botol cairan dan selang infus yang paling kentara untuk ditangkap indera penglihatannya. Kakak nya benar-benar tengah sakit, bukan hanya psikologisnya. Sesungguhnya seberapa besar luka yang sudah ia torehkan? Apa masih sangat tak sebanding dengan luka akibat kepergian Ziel? Tapi, jika memang begitu, kenapa sang kakak bahkan enggan menatapnya?

Akalanka 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang