Mereka kembali, tapi bukan kembali ke kediaman keluarga Afkar. Sebab, setelah dihubungi ternyata Denara sendiri sudah pulang. Niko hanya mengantarkan keduanya, lalu pergi seperti biasanya dan hanya akan datang untuk menjemput.
"Ma, mau barengan sama Tante Afra boleh?" Tanya sosok manis itu setelah cukup lama diam. Denara yang lebih fokus pada pekerjaannya juga tak biasanya mengabaikan sang putra yang sudah menghampiri ke atas.
"Ya, gimana, Sayang?"
"Maaf, malah jadi mama cuekin." Sambungnya, lantas bangkit dari kursinya, menghampiri sang putra yang duduk di sofa dekatnya. Tangannya terulur menangkup pipi anak itu.
"Kenapa nggak bareng mama aja?"
"Kok diem?" Tanyanya yang kini berganti mencubit hidung kecil bangir itu, membuat si empu yang sempat melamun kini meringis protes.
"Ya udah, bareng mama aja." Tukasnya kini tersenyum lebar.
Denara menghela nafas pelan. Kini putranya nampak lebih sering tersenyum, meski dulu juga tak jauh berbeda. Tak hanya itu, aura wajahnya pun selalu ia dapati berbinar ceria. Namun, tak bisa dipungkiri bahwa ia juga masih merasa khawatir jika putranya masih menyimpan luka.
"Coba sesekali bujuk mama."
Ank itu menggeleng. "Bareng mama aja deh, kasian nggak ada temennya."
"Ceritanya mau ngejek mama, hm?" Denara memasang ekspresi serius. Namun, anak manisnya justru menahan tawa menyadari jika mimik wajahnya kentara sekali jika dibuat-buat.
"Dosa loh sama mamanya sendiri gitu."
"Ya maaf. Tapi, 'kan emang mau nemenin."
Denara bangkit, lantas kembali ke kursi tempat duduknya tadi. Ada banyak sekali pekerjaan yang harus ia selesaikan sebelum izin selama dua hari nanti.
"Mama kapan jawab Om Dheas? Pengen lihat mama punya temen hidup," ujarnya memelas. Wajahnya sudah memasang ekspresi penuh harap, membuat Denara geleng-geleng kepala. Siapa yang sudah membuat putranya seusil ini?
"Kamu 'kan temen hidupnya mama." Balasnya santai, masih fokus menatap layar di hadapannya.
"Maksudnya bukan gitu."
"Bilang aja Alan yang butuh temen. Iya 'kan? Biar bisa barengan terus sama kakak?"
"Iya itu bonus. Jadi?"
"Jadi, mending siap-siap. Tante Afra udah bilang sama mama kalau udah ada tempat buat kamu."
"Sayang, Mama!" Ujarnya cukup keras. Dengan gesitnya anak itu mencium pipi kanan Denara lantas buru-buru menghilang. Wanita itu lagi-lagi dibuat heran dengan tingkah sang putra.
Sementara itu, di kamar lain, Denta yang tengah tiduran di bed kamar dibuat terkejut. Suara derap langkah kaki yang terdeteksi tengah lari, disusul suara pintu yang terbuka kasar, lantas kini bed terasa memantul sebab sosok yang menjatuhkan tubuhnya penuh tenaga. Benar saja, presensi sosok yang kini tersenyum menatapnya tanpa dosa lah yang berulah.
"Biar apa?" Tanyanya menatap sang adik yang hanya dijawab gelengan cepat oleh adiknya.
"Kalau jatuh gimana?"
"Tinggal berdiri dong, Kak!" Jawabnya bersemangat. Denta yang tengah lelah memilih abai. Sementara itu, Alan yang memilih bangkit mempersiapkan segala keperluan yang akan ia bawa besok.
"Aku besok mau lihat adek bayi."
"Udah tau."
"Aku juga nggak ngasih tau, kok. Cuma ngomong doang." Kekehnya kemudian. Entahlah, mood-nya kali ini benar-benar sedang baik. Melupakan persoalan yang kini paling banyak menyita pikirannya, anak itu kembali membuka galeri ponsel yang kini menampilkan potret bayi menggemaskan belum genap berusia seminggu yang dikirimkan Praksa beberapa waktu lalu. Sebentar lagi ia melihat sosok mungil itu secara langsung. Sebentar lagi, rasa rindunya pada papa juga akan terbayarkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Akalanka 2
قصص عامةMasalah tak sepenuhnya hilang begitu saja; meninggalkan satu luka yang masih tersisa. Niatnya pergi untuk menyembuhkan sisa luka. Namun, hal yang wajar bukan jika rencana seringkali tak sejalan dengan realita? Sisa lukanya memang sudah hilang sempur...