Lembar Kesembilan Belas

133 14 2
                                    

Dua sosok yang berbagi meja itu terfokus pada garapannya masing-masing. Afka terlihat serius, memecahkan soal-soal fisika yang tercetak dalam lima lembar kertas HVS. Wajah eloknya semakin menarik, nampak tegas di lihat dari sudut manapun.

Sosok yang lebih muda juga sama seriusnya. Beda nya, sosok itu sesekali bersuara meski lagi dan lagi tak ada tanggapan dari yang ia ajak bicara. Terkadang senyum nelangsanya sesekali terukir tiap kali suaranya hanya termakan udara.

"Kak, kita temenan, loh. Masak iya temennya ngajak ngobrol cuma didiemin." Celetuknya dengan pandangan yang masih terfokus ke arah kertas putih yang ia tulis.

"Ck. Gue biarin lo di sini karena gue kira lo tau diri bakal diem."

Alan yamg terkejut dengan decakan kekesalan yang ia dengar sontak mengangkat pandangannya. Terlihat jelas jika kakaknya itu tak suka dengan tindakannya. Baru saja semalam perlakuan kakaknya itu masih dalam tahap wajar. Ia pikir pagi harinya tetap sama. Terlebih Afka sama sekali tidak mengomentari permintaannya yang mengajaknya berteman.

"Yang semalem ngapain sih, Kak? Aku cuma mau temenan, loh."

"Gue nggak mau temenan sama orang munafik."

Sosoknya hanya diam tak bergerak, bibirnya pun terkatup rapat. Namun, beberapa detik menubruk mata elang yang tengah berkilat menatapnya, pandangannya ia bawa kembali menuju kertas di bangkunya.

"Ucapan kakak tajem terus. Kadang aku juga pengen nyerah, Kak." Nada bicara nya semakin menurun, suaranya makin lirih ketika mengucap kata di ujung. Bayangan perlakuan dan ucapan Afka yang selalu mengecualikannya terkait kebiasaan-kebiasaan buruk kakaknya benar-benar membuat matanya memanas.

"Kenapa pada nggak ke kantin?" Suara Jati menyambar keterdiaman dua sosok yang entah kenapa cowok itu bisa menemukan keduanya. Bukannya apa, perpus saat ini cukup sepi. Terlebih meja yang dipilih keduanya adalah salah satu jajaran meja di pojok belakang dengan kaki pendek yang membuat pemakainya harus duduk lesehan di karpet; jarang dijamah siswa lain selain untuk menenggelam kepala menjemput mimpi.

"Ini gue baru mau otw." Afka memasang wajah normalnya, membereskan alat tulis dan lembaran kertas miliknya. Gerak-geriknya tak luput dari ekor mata sosok menunduk entah tengah menulis apa.

"Lo mau sekalian nggak?"

Hening.

"Lan? Lo masih nyadar 'kan?" Jati menepuk pelan bahu kanan yang ikut tergerak sebab sepanjang lengan dan tangannya sibuk menorehkan tinta biru.

"Duluan aja, Kak." Balasnya dengan wajah mengarah untuk kakaknya, tapi tidak dengan bola matanya yang menghindari menatap wajah sosok yang menunggu jawabannya.

"Sekarang aja sih gue bilang. Bentar lagi bel masuk." Jati memberi saran.

"Buku lo tinggalin sini aja, Lan. Gue masih mau nyari buku kok." Jati berlalu santai, bergeser ke rak buku yang tak jauh dari meja.

"Oke. Thanks ya!"

Jati mengangguk, netranya tetap fokus memilih buku-buku yang bersandingan di rak, membiarkan dua orang yang ia temui berlalu.

Sampai di hall perpustakaan, si bungsu menghentikan langkahnya beberapa saat.
Cowok itu memilih menjaga jarak, berjalan beberapa meter di belakang. Ia tahu jika ajakan kakaknya hanya sekadar formalitas untuk menutupi prasangka yang lainnya.

"Ini sekolah. Kalau ada yang ngeh, anak-anak bakal curiga."

"Lo itu cowok, nggak usah baperan."

Afka sengaja berhenti, menunggu langkah yang lebih muda menyusulnya.

Akalanka 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang