Lembar Ketiga Belas

120 12 0
                                    

"Mama dulu pernah gemes nggak lihat aku pas masih bayi?"

Wanita yang tengah duduk memangku sosok mungil itu kini mengalihkan tatapannya ke arah lain. Sosok yang duduk di sampingnya justru tertunduk, masih terfokus mengelus pipi bayi mungil itu.

Pertanyaan putranya itu sederhana dan tak butuh jawaban yang rumit untuk kebanyakan orang. Tapi tidak untuk Denara.

Tak kunjung mendapatkan jawaban, anak itu kini mendongak. Perasaan bersalah kini kembali menyetaknya melihat raut wajah mama yang menatapnya sendu. Sungguh, sosoknya tak mempunyai maksud tertentu bertanya demikian.

"Mama minta maaf." Denara mendahului putranya yang hendak bersuara.

"Tapi semua bayi lucu dan gemesin buat mama." Imbuhnya kemudian. Sejujurnya kalimat itu masih belum cukup ia ucapkan. Namun, wanita itu urung sebab ada sosok mungil lugu di pangkuannya.

"Mama punya bayi lagi aja." Tutur sosoknya yang jauh dari dugaan sang ibu. Namun, Denara juga terlampau paham akan maksud putranya ini.

"Kenapa harus punya bayi? Anak mama aja masih kayak bayi. Gemesinnya mau sampai umur berapa, sih?" Tangan kanan Denara yang masih bebas mencubit pipi kanan putranya.

"Udah punya istri aja mukanya pasti masih sama, Na." Suara Afra yang muncul dari pintu yang terbuka mengalihkan dua pasang mata. Denara hanya senyum menanggapi, sementara sang putra kini tertunduk malu.

"Mamanya mana, Mbak?"

"Masih di depan. Sini Mbak gantiin, pasti pegel ya?"

Denara menggeleng pelan. Meski begitu, wanita itu menurut saja ketika sosok mungil di pangkuannya diambil alih oleh Afra.

"Sekarang kadang suka rewel kalau nggak di pangku, gitu kata mamanya."

"Tapi, kemarin adek anteng loh ditidurin di bed. Iya 'kan?" Sosok yang masih dan terus dibuat gemas itu kembali mengelus pipi bayi mungil yang ada di pangkuan Afra, menatap penuh wajah menggemaskan yang nampak menatap damai sekitarnya.

"Yang jagain 'kan kakak ganteng." Itu suara Risa yang muncul secara tiba-tiba, membuat objek yang disinggung menahan senyumnya, cukup malu. Wanita itu kini bergabung untuk duduk. Tak jauh di belakangnya, ada Praksa yang hanya berdiri di dekat pintu.

"Boy! Ikut Om mau tidak?"

"Ikut kemana, Om?"

"Ikut aja, mau diajak jalan-jalan itu. Mumpung hari libur," ucap Afra mempengaruhi.

"Aku tiap hari libur, Tante." Sosoknya terkekeh kecil.

"Oh iya lupa." Balas Afra setelah nampak berpikir sejenak.

"Boleh, Ma?" Tanyanya menumpahkan seluruh atensinya pada sang mama yang sedari tadi hanya diam memperhatikan.

"Boleh." Singkat Denara kemudian. Jika ingin tahu hubungannya dengan Praksa bagaimana, maka Denara akan menjawab biasa-biasa saja. Wanita itu masih belum bisa berdamai dengan pria itu sepenuhnya. Akan tetapi, mengingat ucapan Risa yang setelah ia resapi ada benarnya, maka ia akan lebih profesional dalam mengambil sikap.

Alan kini bangkit dari duduknya, hendak melangkah ke kamar untuk mengganti kaos lengan pendeknya. Rasanya kalau sedang di luar, baju-baju berlengan panjang lebih nyaman untuknya. Atau biasanya ketika memakai kaus berkerah, anak itu hanya perlu melapisinya dengan sweater miliknya.

"Loh, Om nunggu?" Tanya sosoknya kala membuka pintu kamarnya menyadari keberadaan Praksa.

"Kalau tidak menunggu, buat apa Om mengajakmu?"

Sosoknya kini terkekeh ringan. Menurutnya, meskipun terkesan tegas dan tak banyak bicara, Omnya itu sedikit berjiwa pelawak. Praksa yang melihat respons sang ponakan ikut menyunggingkan senyumnya. Meski jujur ia tak tahu dimana letak kelucuan itu.

Akalanka 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang