Lembar Ketujuh

136 10 0
                                    

"Ayo keluar." Ajak Denta yang baru saja membuka pintu kamar bercat putih itu. Tampak jika sahabatnya tengah duduk meringkuk di tengah bed. Ada sebuah pigura yang tengah dipeluk sosoknya. Tanpa melihat secara keseluruhan pun Denta sudah bisa menebak potret sosoknya.

Tak ada jawaban. Tak ada pergerakan. Namun, Denta lega melihat makanan di piring yang ia bawakan sudah berkurang setengahnya.

"Gue mau ajak lo ke makam Ziel." Denta bersuara, berdiri menyandarkan punggungnya pada tembok. Namun, tatapannya tetaplah terfokus pada sahabatnya yang kini mulai duduk tegak menolehkan pandangan ke arahnya.

"Gue ikut."

"Lo tau 'kan gue bakal sama siapa?" Tanya Denta kala Afka tepat melangkah di hadapannya.

"Gue nggak peduli." Balas Afka spontan.

"Bagus. Berarti lo harus tau diri." Tegas Denta lebih dulu melangkah keluar, meninggalkan sahabatnya yang kini masih berdiri mematung di dalam. Denta hanya berjaga-jaga agar adiknya tak terluka kembali, pun agar Afka juga memikirkan segala tingkah lakunya selama ini. Mungkin Denta tak begitu ambil pusing dengan perubahan sikap sahabatnya, tetapi tidak dengan hati mungil si bungsu. Meskipun sosoknya kini mulai menerima, tapi Denta yakin jika jauh di lubuk hati terdalamnya adiknya jauh dari kata baik-baik saja.

"Kak Afka mau?"

Denta mengangguk, merangkul sang adik yang sedari tadi berdiri menunggu di luar kamar.

Afka yang tak sabaran dengan langkah-langkah pelan di hadapannya memilih mendahului. Ia harus ke kamar lebih dahulu, mengambil masker dan hoodie miliknya. Entahlah, dua barang itu akhir-akhir ini selalu ia kenakan ketika keluar. Rasanya lebih nyaman. Kini ia tahu alasan kenapa almari Denta sudah seperti area hoodie di toko pakaian, pun kenapa adiknya seringkali menutupi paras manisnya dengan masker. Adiknya? Bahkan menyebut kata 'adik' dalam hati saja membuat hati Afka kembali perih.

"Kita kesana seperlunya. Lo harus pulang kalau kita pulang. Itu pesennya Om Afkar." Peringat Denta sebelum Afka membuka pintu mobil bagian depan.

"Mau beli bunga di mana?" Tanya Niko.

"Kemarin di deket sana ada, Om." Balas si bungsu yang duduk di kursi tengah.

"Oke. Sekalian sana." Putus Niko yang tak mendapat teguran dari siapa pun.

Afka yang melangkah paling cepat sampai paling awal. Sosoknya mengambil posisi berjongkok, lantas mengubah posisinya dengan duduk bertimpuh, paling dekat dengan nisan. Hanya dirinya yang sadar jika air matanya kini telah lolos.

Alan mengambil posisi yang sama dengan sosok yang ada di sebelahnya. Sementara Denta yang berada di seberang lah yang pertama kali mengambil posisi berdoa, disusul yang lainnya.

Pandangan si bungsu kini berembun. Memori yang terekam akan senyum dan tawa Ziel kini kembali berputar. Padahal Alan cukup tahu jika dibalik itu Ziel tengah menahan rasa sakit. Adiknya itu benar-benar kuat. Ia rindu kala sosoknya memanggilnya kakak. Hatinya selalu menghangat tiap mendengar panggilan itu.

Setelah usai, si bungsu yang membawa keranjang bunga menyerahkannya pada sosok di sebelahnya. Afka dengan gerakan lembut menaburkan bunga itu, sedangkan Alan kini mengguyurkan air dari botol kaca tembus pandang.

Denta berdiri pertamakali, memberi kode pada si bungsu yang kini juga balik memberi isyarat untuk menunggu sebentar lagi. Pandangan yang termuda kini melirik ke arah Afka yang masih memandangi nisan. Dirasa sudah cukup memberi kelonggaran, Denta melangkah pertamakali, berharap yang lain juga akan mengikuti. Bukannya apa, ia juga terbentur amanah dengan ayah sahabatnya yang sudah mewanti-wanti agar mereka pergi seperlunya.

Akalanka 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang