Lembar Kedua Belas

113 10 0
                                    

Bayi mungil itu tampak tenang, sama sekali tak rewel. Dua bola mata besarnya bergerak aktif, lantas diam kala ada objek yang menarik perhatiannya, mungkin. Alan menatap dalam sosok mungil itu dengan senyum yang tak pudar.

"Dedek lagi mikirin apa? Anteng banget."

Kini tangannya terulur, mengelus pipi chubby itu dengan dua jari tangannya. Saking gemasnya, anak itu tiba-tiba saja mengecup pipi kanan bayi itu. Sosok mungil itu tetap tenang, seolah tak risih dengan perlakuan yang ia dapatkan.

"Anteng dong. Adeknya tau kalau yang nyium kakak ganteng." Itu suara Risa yang baru saja selesai mempersiapkan keperluan mandi buah hatinya.

"Habis gemes. Besok pasti bakal kangen."

"Ya udah, sering ke sini kalau gitu," ucap Risa mulai membuka kain gedong putri kecilnya.

"Dedek mandi dulu. Kakak juga mau mandi." Tukasnya kini mencium punggung tangan mungil itu.

"Iya, Kak. Makasih udah ditemenin." Ujar Risa dengan suara yang dibuat-buat layaknya anak kecil, mewakili putrinya yang belum bisa berbicara.

Alan terkekeh kecil mendengarnya. Sosoknya kini melangkah menuju kamarnya untuk mandi. Kakinya yang melangkah teratur perlahan terhenti mendengar percakapan yang cukup jelas dari kamar yang ia lewati. Tindakan itu, Alan sadar jika dirinya sudah tak sopan. Namun, jujur ia benar-benar tak bisa menahannya untuk sekarang. Pintu kamar yang tak tertutup dengan sempurna, membuat percakapan itu dapat didengar indra pendengarannya.

"No! Aku mau ikut papa pulang nanti sore. Mama nggak bisa nahan aku di sini!"

"Afka, dua hari lagi. Nggak ada yang jaga kamu di sana. Papa sibuk."

Suara Afra memang terdengar jauh lebih lirih daripada suara sebelumnya.

"Aku bukan anak kecil, Ma. Nggak perlu dijagain. Di rumah aku nggak sendirian."

Itu suara terakhir yang Alan dengar. Setelahnya, ia tak menangkap suara lain. Hingga sesaat kemudian, samar-samar terdengar langkah kaki berjalan mendekat keluar. Alan sadar, tapi bukannya segera beranjak, anak itu justru tetap diam berdiri di tempat kakinya berpijak.

Sesaat Afra tampak terkejut mendapati sosok yang sudah ia anggap putranya sendiri berdiri mematung. Buru-buru senyum mengembang itu ia tampilkan. Baru saja hendak menyapa, putranya yang tak jauh di belakangnya mendahului. Tentu bukan sapaan yang putranya ucapkan. Melainkan sebuah kalimat yamg membuat wanita itu harus berusaha mengulur kesabarannya.

"Anak yang mama banggain ternyata lebih nggak sopan daripada aku."

Selesai. Setelah puas mengatakan satu kalimat itu Afka masuk semakin dalam ke area yang Alan tak bisa menyaksikannya dari tempatnya berpijak. Ya, pintu itu tak Afra buka sepenuhnya.

"Tante, maaf."

"Aku udah lang-,"

"Nggak papa, Sayang. Ucapan Afka nggak usah didengerin ya! Anaknya emang lagi kesel." Afra mengelus bahu sosok di hadapannya.

Alan tersenyum sekilas. Maunya ia tak mendengarkan, tapi bagaimana bisa sedang kakaknya itu benar-benar menekankan kalimat itu untuknya? Bukan hanya sampai telinga, tapi kalimat itu juga meresap ke lubuk hatinya, lagi-lagi menambah kembali coretan luka yang sudah ada. Alan pikir lambat laun hatinya akan semakin kebal ketika sering terpapar kalimat tajam yang akhir-akhir ini dilontarkan kakaknya, tapi ternyata efeknya tetap sama. Bahkan, meski ia sudah tahu bagaimana sifat dan tabiat kakaknya itu.

"Tante mau ikut papa nya Afka ke rumah rekannya, nih. Mau ikut? Ntar ada Om Praksa juga kok."

"Aku di rumah aja, Tante. Nemenin adek."

Akalanka 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang