Langit tampak murung. Sebentar lagi, bisa saja air matanya tumpah ruah. Pawana menerpa raga, membuat bulu kuduk berjengit sebab hawa dingin yang merasuk lewat pori kulit dengan sengit. Daun-daun gugur yang sudah memeluk tanah itu kini ikut berterbangan tak tahu arah, menurut saja dengan takdir yang membawanya.
Area pemakaman. Ya, dua sosok itu melangkah memasuki gerbang area pemakaman. Kaki-kaki itu menapak seirama. Namun, detak jantung yang lebih muda berdegup lebih kencang dari sosok satunya, selaras dengan jarak yang kian terpangkas untuk sampai ke tujuan.
Gundukan tanah itu terlihat masih baru. Bunga tabur juga tampak segar, sama sekali tak layu. Namun, sosok yang kini tengah menunduk bersimpuh lah alasannya, pelaku penabur bunga itu.
Setetes cairan bening mendarat ke tanah. Jari tangan kanan si bungsu bergerak cepat membersihkan jejak yang tersisa. Ah, rupanya pergi untuk menyembuhkan luka pun tak membuat hal yang satu itu berubah.
Alan menatap lamat-lamat sosok ber-hoodie dengan tudung yang menangkup. Dapat ia tebak jika kedatangannya tak disadari sosoknya, atau justru sosok itu tak acuh. Kini, bola matanya bergerak menatap Denta. Sang kakak mengangguk, memberi kode agar anak itu melanjutkan
langkahnya mendekat.Baru saat mendekat dan berada di posisi yang sama, sosok yang ia dekati menoleh. Alan tak tahu persis bagaimana ekspresi sosok itu kala menatapnya. Sebab, masker yang menutupi setengah wajah itu benar-benar menghalangi. Namun, tatapan elang berpayung alis segitiga tebal itu sudah mampu menjelaskan. Ekspresi dan emosi itu, ia bisa menangkapnya, merasakannya.
Meski tahu akan semakin perih, Alan berusaha tersenyum meski tipis. Dan di detik itulah sosoknya justru berpaling, menatap keberadaan Denta yang masih setia berdiri. Hanya sejenak sorot itu memandang, berakhir kembali menunduk seperti awal.
"Lo nggak bisa ajak sembarang orang ke sini."
Suara itu, Alan merindukannya. Namun, kenapa kini terdengar begitu dingin? Membuat harapannya patah, membuatnya tampak begitu payah. Rasa sesak itu, kini kian terasa melingkupi diri. Padahal, gambaran yang ada sudah tampak jelas. Ya, ia sudah tahu jika akhirnya hal seperti inilah yang akan dihadapi. Namun, memang benar bahwa kian akan terasa jika sudah mengalaminya secara nyata.
"Ini tempat umum. Siapapun boleh ke sini asal niatnya baik." Balas Denta tenang.
"Aku cuma mau jenguk Ziel." Susul si bungsu.
Juga ketemu sama kakak.
"Kalau Kak Afka nggak suka, aku bisa pergi."
"Gue nggak suka, jadi silahkan pergi." Tak ada jeda. Tepat begitu Alan selesai berucap, Afka langsung bersuara.
Alan menatap sang kakak lamat. Namun, kakaknya juga tak kunjung mau mengangkat wajah menatapnya. Tak apa, ini baru percobaan pertama di hari pertama. Emosi kakaknya itu mungkin belum stabil.
Dek, maaf. Kakak nggak bisa lama-lama. Nanti doanya dari rumah aja ya. Kakak harap kamu jauh lebih tenang di sana. Batinnya, menyentuh nisan, mengelusnya lembut seolah bener-benar menyalurkan kasih sayang pada sosoknya.
Meski terasa berat, si bungsu bangkit. Pandangannya tak dapat berpindah menelisik Afka yang masih pada posisi semula. Sang kakak akan kembali pulang ke rumah sesuka hatinya, tidak pasti, itu yang dikatakan Afra padanya.
Tak ada petir, hujan pun jadi. Bahkan tanpa komando, rintiknya terasa semakin berat. Baru saja akan bersuara, Denta sudah mendahului.
"Ka, ayo balik."
Tak ada jawaban. Padahal rintik itu kian menggebu mengeroyok permukaan tanah.
"Afka." Denta bersuara lebih keras, lebih tegas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Akalanka 2
General FictionMasalah tak sepenuhnya hilang begitu saja; meninggalkan satu luka yang masih tersisa. Niatnya pergi untuk menyembuhkan sisa luka. Namun, hal yang wajar bukan jika rencana seringkali tak sejalan dengan realita? Sisa lukanya memang sudah hilang sempur...