Dominasi biru cerah mewarnai ruangan luas yang membentang di atas bumi. Corak awan putih berbentuk bulu burung yang terlihat tipis tersebar tak merata di selimut udara di atas kota. Keadaan udara terasa hangat cenderung panas dengan matahari yang bersinar terik. Meski begitu, embusan angin yang menyambang dengan ritme tak teratur mampu mengusir hawa gerah yang dirasa.
Di gazebo taman belakang, sosok manis menawan itu kini tengah duduk tenang. Kedua tungkai bawahnya menjuntai sebab ia duduk di tepian yang tak berdinding penghalang dengan dua tangan yang tengah memegang buku di pangkuan.
"Ngelamun mulu. Mending ikut Abang keluar."
Alfa yang muncul langsung menyentil dahi adiknya, membuat korbannya meringis seketika. Telapak tangan Alfa itu lebar, pun dengan jarinya yang panjang dan kokoh. Sangat mendukung dalam bermain basket.
Gelengan itu cukup menjawab. "Disuruh bunda tidur siang."
"Heh, terus? Kenapa malah di sini?"
"Ya karena tidurnya mau di sini. Mending abang ambilin bantal guling."
Alfa memejamkan netranya sejenak. Sedikit kesal tiap kali sifat manja adiknya kumat hingga memerintahnya seenak jidat. Tapi, juga ada rasa bangga sebab dirinya mungkin menjadi satu dari beberapa orang yang diperintah seperti itu oleh sang adik. Ralat. Sepertinya justru hanya satu-satunya. Sebab, Alfa pikir mau sedekat apapun adiknya itu dengan yang lain, pasti ada rasa tak ingin merepotkan yang mengendap pada diri anak itu.
"Nih, bantal guling buat pengeran. Semoga mimpi indah."
Alfa menjorokkan benda yang di bawanya ke dekapan sang adik. Anak itu tersenyum renyah membuat kedua bola matanya semakin berbinar.
"Loh, katanya mau pergi?" Tanya Alan ketika melihat abangnya justru ikut naik dan tiduran.
"Pergi bisa kapan aja. Kalau nemenin adeknya tidur cuma bisa sampe besok sore." Balas Alfa santai dengan pandangan yang mengarah ke layar ponsel.
"Jangan main hape sambil tiduran." Kalimat itu terdengar halus, justru pertanda jika adiknya tengah serius.
Alfa tak menggubris ucapan itu. Namun, tak berselang lama gawai itu ia jauhkan. Tangannya kini menarik lengan sosok yang masih diam memandanginya.
"Dah, sini tidur." Ajak Alfa agar adiknya merebahkan tubuh di sisinya.
Si bungsu menurut, menempatkan gulingnya sebagai bantal untuknya. Lantas, bantal itu justru ia berikan untuk abangnya. Jangan bayangkan jika akan ada silau sinar matahari. Sebab, taman belakang sangatlah teduh dengan berbagai macam pohon hias rindang, tembok tinggi yang melingkupi, dan atap gazebo yang terbuat dari genteng tanah liat.
"Biar ntar lebih nyenyak tidurnya, nih, abang kasih wejangan sekarang."
Tangan kanan yang lebih muda kini menutup mulutnya yang tengah tertawa.
"Eh, malah ketawa nih bocah." Alfa berdecak.
"Iya ini didengerin kok," ucap Alan yang kini miring ke samping menghadap tubuh abangnya, sedangkan Alfa sendiri tiduran telentang dengan dua telapak tangan di bawah kepala. Netranya menjelajah awang-awang, sementara bibirnya kini mulai berkata.
"Abang nggak akan suruh kamu buat jadi anak nurut karena kamu udah over nurutnya. Ya, kecuali sama Abang. Pasti ada aja yang dibantah."
"Itu waktu Abang bertentangan sama bunda doang, kok." Sahutnya membela diri.
"Iyain. Lanjut nggak, nih?" Tanyanya menoleh sejenak ke sisi adiknya. Anggukan itu membuat Alfa kembali bersuara.
"Makan yang banyak, minum susu biar tingginya bisa kek abang, dan yang jelas penting jangan lupa olahraga. Kebiasaan yang udah abang ajarin tetep dilakuin ye! Biar badannya kece badai bikin ciwi-ciwi melehoy!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Akalanka 2
General FictionMasalah tak sepenuhnya hilang begitu saja; meninggalkan satu luka yang masih tersisa. Niatnya pergi untuk menyembuhkan sisa luka. Namun, hal yang wajar bukan jika rencana seringkali tak sejalan dengan realita? Sisa lukanya memang sudah hilang sempur...