Hari pertama sekolah, waktu diambil alih sepenuhnya dengan agenda MPLS (Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah). Pada kesempatan kali ini, Akalanka Dhefin Kavindra ingin membuat perubahan. Jika dahulu ia hanya sekadar berkenalan singkat, menyapa teman baru dengan sewajarnya, lalu sebagian besar waktunya sengaja ia selami sendirian; maka kali ini sosoknya tak ingin seperti dahulu lagi.
Sosoknya memang masih nyaman dan akan selalu nyaman dengan hal itu. Namun, tak selamanya ia ingin terus berada di zona kenyamanannya. Kali ini, ia tak hanya ingin fokus pada hal-hal akademik saja, tetapi juga merambah ke hal yang lain. Dan, bergabung sebagai pengurus salah satu organisasi sekolah kini ada dalam rencananya.
Organisasi sekolah? Hal itu membuat kedua pasang netranya mengarah pada sosok yang duduk di jarak yang paling jauh darinya dibandingkan yang lain. Afka, ya, ia sekelas dengan kakaknya. Posisinya, ia duduk persis di kursi paling depan sisi paling kanan berhadapan dengan meja guru. Sementara kakaknya duduk di kursi pojok paling belakang, sisi paling kiri. Ketika lehernya menengok ke sisi kanan belakang, maka di situ ia dapat melihat kakaknya dengan jelas.
Kelasnya tergolong istiwewa. Namanya saja kelas cerdas istimewa dengan karakteristik bahwa siswa yang memiliki IQ yang menempati kategori itulah yang berada di sana. Tak sampai di situ, perlu juga didukung dengan nilai akhir dan prestasi yang mumpuni untuk masuk ke dalamnya. Jika kelas lain berisi rata-rata tiga puluh dua siswa yang dalam sebangku akan duduk berdua berdampingan, maka tidak di kelasnya. Hanya sembilan belas siswa yang mengisi kelasnya, masing-masing diberi bangku dan kursi sendiri-sendiri. Ya, seperti itulah kebijakan di sana.
Kini, seorang guru paruh baya berjalan memasuki kelas dengan senyuman ramah di wajahnya. Semua perhatian siswa tertuju pada wanita itu. Singkatnya, guru wanita yang menjadi walinya itu memperkenalkan diri. Lantas, agenda selanjutnya sebelum aktivitas usai ialah pembentukan pengurus kelas. Tak perlu berlama-lama, sebab ketika ditanya siapa yang akan mencalonkan diri atau mengusulkan calon semuanya hanya diam saling pandang, sibuk sendiri, dan lain sebagainya; kecuali satu cowok yang duduk di belakang Alan yang anak itu ketahui bernama Candrakumara Putra Jati.
"Saya saja, Bu."
Wanita yang menjabat sebagai wali kelas itu tersenyum, memusatkan perhatiannya pada objek yang baru saja bersuara, membaca name tag dari kertas tempel yang sudah menjadi ketentuan akan dipakai seharian ini.
"Ibu bisa panggil siapa? Jati, Putra, atau Candra?"
"Jati saja, Bu. Biar sama seperti yang lain."
"Baik, ada yang mau jadi wakil buat nemenin Jati?"
Lagi, semuanya hanya diam. Ada yang menunduk, saling tatap, ataupun justru sibuk sendiri. Sungguh, Alan rasa kelasnya akan sangat berbeda dengan kelasnya dulu. Dari sembilan belas siswa hanya ada tujuh siswa yang merupakan laki-laki, sisanya perempuan. Hampir setengah dari mereka berkaca mata, dengan karakter yang kalau diamati sebagian besarnya terlihat sebagai introver.
"Kalau Ibu berkenan, mungkin saya bisa."
Itu suara Alan yang menghempaskan seluruh ketidakyakinannnya untuk mengajukan diri. Rasanya tak rela jika pertanyaan Bu Farah selaku wali kelas dianggurkan begiru saja, meski sejujurnya mungkin bukan menjadi maksud para siswa seperti itu. Terlebih ia berada di barisan depan yang keberadaannya nyata sekali.
Farah melangkah mendekati sosoknya, dengan senyum lembut yang masih menghiasi wajahnya. Kalau diamati, wanita itu merupakan sosok yang lembut dan tenang.
"Ibu panggilnya Lanka? Dhefin? Atau Vindra?"
"Alan saja, Bu."
"Oh, bukan salah satunya ya? Baik, terima kasih. Sekarang Ibu butuh empat orang lagi untuk sekretris dan bendahara 1&2. Ada yang mau mengajukan diri lagi?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Akalanka 2
General FictionMasalah tak sepenuhnya hilang begitu saja; meninggalkan satu luka yang masih tersisa. Niatnya pergi untuk menyembuhkan sisa luka. Namun, hal yang wajar bukan jika rencana seringkali tak sejalan dengan realita? Sisa lukanya memang sudah hilang sempur...