Pohon-pohon rindang yang tertanam penuh penataan tumbuh di tepian pagar yang tinggi menjulang. Saat gerbang di buka, tampaklah lebih jelas keindahan pelataran yang dipenuhi tanaman hias dan bunga mekar, pertanda jika dirawat dengan baik. Dua kolam ikan besar berbentuk lingkaran dengan air mancur di tengahnya menghiasi sisi kanan dan sisi kiri, terpisahkan oleh jalan yang hampir membentuk garis lurus yang menghubungkan pintu dekat gerbang dengan pintu utama rumah.
Empat sosok itu melangkah bersamaan. Dua sosok berjalan di depan diikuti dua sosok lain tepat di belakangnya. Sementara itu, di kejauhan juga tampak seorang satpam paruh baya yang membantu membawa bawaan.
Seorang asisten rumah tangga yang membukakan pintu utama tak lupa tersenyum sopan mempersilakan masuk. Afra yang sudah kenal dekat dengan wanita paruh baya itu menyapa, masuk pertamakali disusul sang putra yang hanya sedikit membungkuk. Entahlah, apakah bibir yang tertutup masker itu tersenyum atau tidak. Lantas di belakangnya, sosok berwajah manis tersenyum menyusul masuk, membungkuk dan menyapa wanita paruh baya itu. Terakhir, Praksa lah yang masuk mengambil alih sebuah koper berukuran besar milik Afra.
Afra masuk ke kamar yang sudah biasanya menjadi tempatnya singgah, mengambil alih koper yang dibawakan Praksa. Sementara pria itu kini menggiring dua sosok yang kini berjalan di depannya. Perihal hubungan keduanya yang memburuk, Praksa tahu, tapi tidak tahu secara persisnya. Ia hanya sebatas tahu jika keponakan istrinya dengan sifat yang cukup ia pahami tengah mendiamkan keponakannya. Terkait hal-hal yang terjadi dan menimpa akhir-akhir ini, pria itu benar-benar tak tahu. Tapi, jika boleh membandingkan, interaksi dua sosok di hadapannya sangat berbeda dengan saat keduanya bersama sebelum setahun ini.
"Mau kamar sendiri atau berdua?"
"Sendiri, Om." Jawaban itu Praksa dengar secepat kilat. Pria itu telah mendapatkan kesimpulan dari dugaannya. Terlebih, mengamati duplikat adiknya yang kini hanya diam mengalihkan pandangannya.
"Baik." Pria itu membuka sebuah pintu kamar, menyuruh sosok yang barusan menjawab masuk. Kini, pandangannya tertuju pada sosok manis yang juga tengah sedikit mendongak menatapnya.
"Tidur di kamar papa boleh?"
"Kenapa tidak? Om sudah pernah bilang kalau ini rumahmu, Boy!" Ujarnya mengacak pucuk rambut sosok di hadapannya.
Praksa benar-benar menyayangi sosoknya. Namun, masih ada rasa bersalah yang mengganjal di hatinya. Anak itu belum tahu perbuatan jahat yang ia lakukan. Bukan sebab ia tak mau mengakui, melainkan sebab Denara sendiri yang melarang. Wanita itu tak ingin putranya tersakiti lebih dalam, sebab ia tahu jika putranya menyayangi sosok yang berdarah dekat dengan sang papa. Putranya hanya tahu kesimpulan akhir, bahwa keluarga papa pada waktu itu membencinya, tidak dengan asal muasal kejadiannya. Biarlah Praksa terhukum sendiri dengan rasa bersalah yang terpendam entah sampai kapan.
"Om sudah menyiapkan kuncinya. Mau dibukain apa buka sendiri?"
"Sendiri aja." Balas sosoknya tersenyum tipis. Meski begitu, binar terang di manik matanya terlihat memancar. Ada rasa bahagia yang merekah dalam dadanya.
"Istirahat atau mandi air hangat. Setelah itu makan. Nanti ada Bibi yang bawain ke kamar."
Sosok yang diberi petuah mengangguk patuh. Sosoknya kini mulai menjalankan langkahnya kala kunci itu sudah ada di genggamannya.
"Boy!"
Panggilan lirih itu berhasil membuat sosoknya berbalik. Praksa tersenyum mendekat. Tangan kanannya terulur mengelus anak rambut sosoknya penuh kasih sayang.
"Om sangat menyayangimu. Jangan sungkan hanya karena kamu baru kenal sama Om. Meski wajah dan sifat Om sama papa mu berbeda, Om harap bisa bantu lepas rindumu ke papa."
KAMU SEDANG MEMBACA
Akalanka 2
Narrativa generaleMasalah tak sepenuhnya hilang begitu saja; meninggalkan satu luka yang masih tersisa. Niatnya pergi untuk menyembuhkan sisa luka. Namun, hal yang wajar bukan jika rencana seringkali tak sejalan dengan realita? Sisa lukanya memang sudah hilang sempur...